Kompleksitas Permasalahan Pendokumentasian Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

SALAH satu “masalah akut” masyarakat Gayo adalah lemahnya dokumentasi dan publikasi. Di sini, penulis hanya fokus pada pendokumentasian tertulis. Sejauh ini, perkiraan penulis, buku-buku Gayo baru ada (kurang dari) 300 buku. Ada beberapa persoalan yang mengakuti pendokumentasian tertulis Gayo ini. Pertama, kurangnya yang mengkaji dan menulis tentang Gayo baik dari luar maupun dari orang Gayo sendiri. Dampaknya, buku-buku Gayo jadi kurang.

Beberapa peneliti/penulis luar yang telah menghasilkan karya tentang Gayo adalah C. Snouck Hurgronje (1903),  G.A.J. Hazeu (1907), H.W Fischer (1911), Giulio Soravia (1984), John Richard Bowen (1991 & 1993), Domenyk Eades (2005), Mukhlis Paeni, Ketut Wiradnyana dan Taufiqurrahman (2011).

Sementara itu, orang Gayo yang paling banyak menulis Gayo adalah Prof. Dr. M. Junus Melalatoa. Karyanya terbilang ilmiah, bernas, mumpuni, dan tetap jadi rujukan utama sampai saat ini. Lalu, diikuti A.R.Hakim Aman Pinan. Terakhir, L.K. Ara yang banyak mengkompilasikan karya sastra Gayo. Orang Gayo sendiri yang pertama sekali membukukan karyanya adalah Abdurrahim Daudy atau Tengku Mude Kala dengan Tafsir Gayo-nya dan diterbitkan di Mesir, tahun 1930-an.

Kedua, kurangnya literatur Gayo. Kekurangan ini berhubungan dengan masalah pertama—kurangnya penulis. Rujukan ini “suhuf-suhuf Gayo” masih tersebar di banyak tempat dan tidak tepusat di satu tempat. Misalnya, di Perpustakaan dan Badan Arsip Daerah atau Museum Gayo. Akibatnya, orang akan mengalami kesulitan saat menelusuri Gayo. Karena, sulitnya mendapatkan referensi kegayoan. Keluhan tersebut termasuk datang dari orang Gayo sendiri. Penulis sendiri, hampir mengumpulkan seratus buku Gayo (sejak 2002). Itu pun bukan tanpa kendala. Ringit (dana) tetap jadi kendala pertama.

Kemungkinan, masih ada lagi pengumpul buku Gayo lainnya. Namun, perpustakaan pribadi mereka tidak diakses untuk publik. Setelah diakses, banyak buku-buku mereka yang rusak, dicoret/tandai/lipat, hilang, tidak dikembalikan, dan bahkan dicuri. Itu yang membuat pengumpul-pengumpul buku-buku Gayo enggan meminjamkan bukunya. Juga, ada kekhawatiran “takut tersaingi.” Kalau tesis terakhir, benar. Sungguh berbahaya. Pada prinsipnya, makin banyak yang mendalami Gayo, terutama dari orang Gayo sendiri, maka tambah baik. Dengan begitu, kaderisasi dan regenerasi “alih” kegayoan tetap berjalan. Alhasil, Gayo tidak serta merta punah seiring dengan kepergian pelakunnya (meninggal dunia—ilmu, pengalaman, dan wawasan personal ikut terkubur).

Ketiga, penerbit. Pada masa tahun 1980-an, buku Gayo “relatif banyak” diterbitkan. Karena, disertakan dalam kebijakan Departemen P dan K baik di pusat maupun propinsi. Saat kebijakan itu tidak lagi berjalan, penerbitan buku Gayo pun seperti ampung-ampung pulo (megap-megap). Karena, terkendala di penerbitan dan dana. Kalau penerbit sedang atau besar, pasti sudah bercerita untung-rugi. Apalagi, soal Gayo; pembeli dan pembacanya sangat terbatas. Pada akhirnya, kemungkinan terbit/naik cetak pun makin kecil.

Solusi?

Melihat pelbagai permasalahan dokumentasi Gayo di atas, ada beberapa solusi praktis yang bisa ditempuh. Pertama, “melahirkan” penulis-penulis Gayo, walaupun tidak menulis secara langsung tentang Gayo. Melalui mereka, nama Gayo akan ikut terangkat. “Melahirkan” seorang penulis pun bukan perkara yang mudah, melainkan perlu waktu, proses, komitmen, dan konsistensi di dalamnya. Terutama, dari penulis itu sendiri. Kalau tidak, sulit untuk mewujudkannya. Apalagi, dari sisi ekonomi. Sektor ini, masih “kurang menjanjikan” (sebatas kepuasan batin). Harus diakui pula, ada beberapa penulis Indonesia yang sudah berhasil dan menghasilkan secara ekonomi. Sebagai contoh, Goenawan Muhammad, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, dan Helvy Tiana Rosa.

Penulis sendiri, mulai belajar menulis (sejak tahun 2002) karena dorongan tanggung jawab personal, moral, dan sosial. Pasalnya, Gayo kurang ditulis. Orang Gayo pun jarang yang mau menulis. Apalagi, ada kekhawatiran akan kepunahan Gayo. Karenanya, mesti dimulai dari diri sendiri (tanpa berharap banyak ke orang lain). Apalagi, sampai menyalahkan orang lain. Kalau tidak, masalah ini tidak akan pernah selesai. Di lain sisi, penulis sendiri bukan lah penulis yang produktif. Karena, tidak fokus dan maksimal (ada kewajiban lain yang lebih prioritas).

Kedua, mengumpulkan sumber bacaan Gayo. Termasuk, rujukan-rujukan kegayoan yang ada di luar negeri. Khususnya, di Leiden Belanda dan Munich Jerman. Secara teknis, pekerjaan ini bisa dilakukan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah serta dinas terkait di Gayo. Akan tetapi, perlu kebijakan yang serius dengan dukungan anggaran yang memadai. Selain badan dan dinas terkait, masalah ini bisa dilakukan secara personal dan elemen “organisasi” sipil Gayo. Hanya saja, prosesnya agak lama dan kurang maksimal. Sebab, dalam prosesnya pasti dibenturkan dengan anggaran.

Ketiga, membuat penerbit “dari orang Gayo” sendiri. Hal ini pula yang mendasari lahirnya Mahara Publishing sebagai hasil pertapaan dokumentasi.  Termasuk, penerbit-penerbit Gayo lainnya.

Buntung

Masalah lain muncul setelah buku-buku Gayo ada dan penulis-penulis Gayo pun mulai lahir, yaitu rendahnya minat beli dan baca masyarakat Gayo. Oleh sebab itu, minat baca dan beli masyarakat Gayo perlu ditingkatkan. Kalau tidak, penulis-penulis Gayo terutama “yang baru lahir” tidak akan bergairah dalam berkarya. Bahkan, bisa berhenti. Pasalnya, untuk biaya cetak pun tidak tertutupi (malah buntung).

Memang, bercerita untung, rasanya Gayo bukanlah tempat untuk mencari untung “kaya” dari buku. Kecuali, diproyekkan. Itu pun hanya dinikmati segelintir orang. Paling tidak, orang Gayo sendiri “yang mesti” membeli buku-buku Gayo. Anggap saja sebagai pemenuh tanggung jawab personal, moral, dan sosial. Juga, untuk melangsungkan keetnikan Gayo itu sendiri. Tapi, masalah ini tidak bisa dipaksakan. Sebab, menyangkut hak dasar, pilihan, dan kebutuhan seseorang. Namun demikian, upaya menggugah dan menguatkan kesadaran “minat beli/baca buku” harus terus digalakkan.

Eksekutif dan Legislatif?

Untuk memaksimalkan upaya pendokumentasian Gayo ini; apa pun ceritanya, pemerintah kabupaten di Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah) harus berada di depan. Mereka yang semestinya berinisiatif. Soalnya, mereka yang menentukan kebijakan dan mengelola anggaran (pelayan bukan dilayani).

Kalau dari personal atau kolektivitas orang Gayo, bisa. Bahkan, tetap bisa berjalan. Namun, akan lama, kurang berdaya hasil, dan tidak maksimal. Karena, kemampuannya terbatas. Lebih-lebih, ada kekhawatiran akan kepunahan Gayo. Oleh karena itu, upaya ini mesti dimaksimalkan. Terutama, oleh pemerintah kabupaten dengan dorongan/pengawasan dari legislatif sebagai representasi rakyat. Akibatnya, alih kegayoan tetap berjalan di tengah krisis identitas orang Gayo itu sendiri.

Dilema

Dalam kaitan itu, jangan sampai pemerintah, legislatif, dan rakyat tidak seruh, senapas, dan sejalan (tidak bersinerji). Pemerintah menyusun kebijakan sendiri dan “semaunya.” Legilatif pun demikian. Apalagi, wakil-wakil rakyat yang haus akan proyek, fee, bisa mungemas (menabung dan mengembalikan modal), dan berpikir untuk bisa maju lagi. Sementara, rakyat mesti berjuang sendiri. Bila hal itu terjadi. Cukup disayangkan.

Disamping itu, tidak adanya bantuan materil terutama dan minimal moril dari pemerintah. Pada akhirnya, kegiatan pendokumentasian akan semakin lemah. Bahkan, berhenti di tengah jalan. Karena, tidak adanya napas dari pelaku-pelakunya. Kalau sudah seperti itu, maka Gayo tinggal menunggu waktu (makin cepat punah). Karena, masyarakat Gayo dan apalagi pemerintahnya tidak pernah belajar dari sejarah “pengalaman-pengalaman” yang sudah ada.(algayonie[at]yahoo.com)

*Direktur Research Center for Gayo/Penggiat Taman Baca “Perpustakaan Gayo” sejak tahun 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.