Keberangkatan kami ke Malaysia dalam rangka konferensi ICLGK-I mendapat sejuta pengetahuan dan pengalaman. Akan tetapi kepulangan kami ke tanah air ternyata menuai sejumlah pro dan kontra, baik yang disampaikan melalui sms maupun dalam perdebatan dunia maya. Sebuah indikasi bahwa keberangkatan kami dengan biaya pribadi untuk menghadiri acara tersebut mendapat perhatian dari sejumlah kalangan di Gayo maupun Aceh secara keseluruhan.
Untuk menghindari kesalahpahaman, Ketua Rombongan Abza Karanesa berinisiatif membuat acara diskusi dan sosialisasi hasil International Confrens Linge Gayo Kindom-I (ICLGK-I) Malaysia, 7-9 Oktober yang lalu. Acara ini juga mendapat persetujuan dari seluruh alumni confrensi karena keberangkatan kami murni untuk membahas, menggali dan mempromosikan Gayo. Untuk itu acara ini sekaligus bertujuan untuk menjaring pendapat publik tentang hasil konferensi kepada rekan-rekan yang tidak sempat datang ke seminar yang diselenggarakan di negara tetangga tersebut.
Tanpa diduga, antusias rekan-rekan mahasiswa baik dari wilayah Gayo maupun dari wilayah lain ternyata sangat besar. Acara yang kami persiapkan untuk belasan orang ternyata dihadiri oleh puluhan orang dan segenap elemen oraganisasi kemahasiswaa. Tak ketinggalan juga turut dihadiri langsung oleh para ketua-ketua organisasi atau paguyuban asal Gayo. Tanpa menunggu lama, pemateri tunggal Salman Yoga S langsung menjelaskan secara singkat apa-apa saja pembahasan konferensi yang dilaksanakan, mulai dari sejarah, potensi, sumber daya, keadaan masyarakat Gayo, langkah-langkah strategis yang harus ditempuh untuk mencapai Gayo masa kedepan yang lebih baik dalam segala segi kehidupan.
Ketika penjelasan beliau berakhir dan moderator mempersilakan audiens untuk bertanya, keadaan menjadi sedikit riuh. Banyak sekali peserta yang mengacungkan tangan pertanda ingin menanyakan langsung beberapa hal menyangkut fikiran mereka. Beberapa pertanyaan yang saya catat adalah, mengapa International Conference on Linge Gayo Kingdom (ICLGK-I) harus diadakan di Malaysia, padahal jika diadakan di Indonesia apalagi di Gayo pasti akan dihadiri oleh lebih banyak orang.
Apa yang kami khawatirkan ternyata benar, banyak orang yang menginginkan acara itu diselenggarakan di Gayo karena akan dihadiri oleh banyak peserta bahkan ada yang menyinggung bahwa acara itu memberikan devisa untuk Malaysia. “hmmm jauh sekali apa yang anda pikirkan”. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu, akan tetapi di Malaysia ataupun di Gayo kegiatan itu mempunyai manfaat sekaligus mempunyai kelemahan tersendiri. Sedangkan yang tidak bermanfaat adalah yang tidak berupaya sedikitpun untuk kebaikan Tanoh Gayo seperti yang di utarakan oleh Salman Yoga S tidak perduli dia lahir di kebun kopi atau di puncak masjid, yang terpenting adalah apakah Gayo telah berbuat dan berkarya untuk dirinya?.
Dengan terselenggaranya kegiatan tersebut, minimal orang luar tau bahwa Gayo itu di Dataran Tinggi di Indonesia, dan saya lihat acara yang diselenggarakan di luar negeri relatif mendapat perhatian khusus dari masyarakat kita. Setidaknya itu yang saya lihat.
Selanjutnya, pertanyaan lebih kepada keingintahuan masyarakat Gayo akan sejarahnya sendiri. Salman Yoga S seperti sedang dikeroyok mahasiswa, sementara malam semakin larut dan acara semakin menarik. Yang membuat acara itu semakin special adalah kehadiran beberapa orang pemuda dari Kluet yang bertanya tentang hubungannya dengan Gayo, dia yakin dengan kemiripan-kemiripan yang ada pasti punya hubungan dekat dengan Gayo. Untuk menjawabnya perlu pengkajian yang lebih serius lagi, akan tetapi pemateri sudah menawarkan diri untuk berdiskusi tentang hal tersebut dan memberikan beberapa judul buku yang bisa menjadi rujukan.
Pertanyaan terakhir yang saya catat adalah, jika nanti sejarah Gayo telah terbukti dan keberadaan Gayo telah “diamini” oleh seluruh dunia apa yang akan terjadi? Pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Setidaknya dengan mencintai dengan mengkaji sejarah Gayo dengan segala peradabannya, Gayo tidak hilang, dan yang pasti tidak menjadi dongeng sebelum tidur. Seperti pepatah Gayo ‘Tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene’. Jika nanti anak cucu kita kehilangan sejarah, dia akan tau harus ke ‘bide’ mana dia akan kembali, dan ke ‘dene’ mana dia harus ulak.
Pesan yang saya tangkap dari acara diskusi dan sosialisasi ICLGK-I pada 17 Oktober 2012 malam di cafee Q&L tersebut adalah: sekecil apapun sejarah itu mari kita tuliskan karena tanpa dokumentasi, sejarah pasti akan hilang. Dan sekecil apapun kesempatan kita untuk mengabarkan mari kita kabarkan, bahwa Gayo itu ada dengan kekayaan alam, parawisata dan peradabannya. So yang perlu dicatat adalah bahwa sejarah panjang Indonesia tidak akan lengkap tanpa sejarah Gayo, apalagi sejarah Aceh. Hemmm!(hafizulfurqan35[at]yahoo.com)
*Alumni ICLGK-I Kedah Darulaman, Malaysia/Mahasiwa IAIN Ar-Raniry Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Fisika, asal Tingkem, Bener Meriah.