GAYO Lues itu kompak, jujur, toleransi dan lekat dengan dengan budaya. Itulah Gayo tempo dulu. Sekarang Gayo Lues sudah banyak kehilangan identitas seperti masalah bahasa contohnya. Coba saudara bayangkan 20 tahun yang akan datang, apakah bahasa bahasa Gayo masih utuh dan dapat di pahami dan di ucapkan secara fasih. Karena sekarang kita melihat banyak masyarakat Gayo yang sudah tidak bisa mengucapkan bahasa Gayo lagi. Itu salah satu penyebab zaman semakin maju (globalisasi) dan luasnya akses masyarakat. Sehingga Budaya sendiri tertinggal jauh dari apa yang kita harapkan.
Hari ini masyarakat Gayo sudah terjajah oleh budaya luar. Contoh dekatnya dapat kita ambil: Pertama, ketika orang Gayo menggunakan bahasa Gayo di anggap kampungan. Kedua, siswa, mahasiswa dan umum untuk daerah Gayo banyak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk alat komunikasi sehari-hari dan bersama mayarakat Gayo. Bahasa Gayo itu di anggap tidak keren, tidak ini dan tidak itu. Itulah kenyataanya saat ini, kalau seandainya ini akan berlanjut apakah mungkin 20 tahun yang akan datang masih utuh bahasa daerah kita ini. Mungkin ini yang perlu kita renungkan untuk masyarakat Gayo.
Tidak sedikit mahasiswa yang berbicara sesama anak Gayo yang menggunakan bahasa Indonesia. Ini kan salah satu contoh melemahkan identitas Gayo kita!
Nah, kalau seandaiya kita di tanya sama orang luar, bagaimana sih bahasa Gayo itu? kita akan menjawab dengan menggelengkan kepala atau menjawab langsung dengan ucapan tidak tahu. Jawaban ini kan sangat memalukan Gayo. Kalau sudah terjadi seperti ini ngapain lagi kita membuat nama daerah kita “Gayo” mending di ganti saja dengan kata-kata lain. Sekarang kita hanya membahas tentang bahasa yang terjadi saat ini, belum lagi masalah adat yang mulai di tinggalkan.
Bahasa ini yang paling penting untuk menunjukkan identitas kita dari daerah Gayo. Fenomena yang terjadi saat ini di bidang pendidikan mulai dari TK sampai pendidikan menengah atas di Gayo kurangnya bahkan tidak ada lagi yang mempelajari pendidikan bahasa Gayo. Seharusnya Muatan lokal itu yang mempelajari bahasa Gayo, tetapi sekarang apa, di asingkan dan di anggap tidak penting di pelajari.
Kemudian mahasiswa yang pulang ke daerah Gayo seperti lupa dengan Gayo itu bagaimana, yang terbawa-bawa dengan budaya yang mereka tempati. Sehingga ketika pulang ke tempatnya seperti berbeda dengan yang di harapkan, ini yang sangat tidak kita harapkan kedepannya. Mahasiswa itu harus cinta terhadap budayanya sendiri bukan mencintai budaya orang lain.
*Mahasiswa Muhammadiyah Malang, JurusanIlmu Pemerintahan