Kamar 901 (Bag.2)

Cuap-cuap Eksplorasi OPSI 2012

Catatan:Pati Kemala dan Rengga Pamungkas*

MERASAKAN pesawat, melihat gedung-gedung besar dan melihat profil negara di ibukota membuatku merasa senang bercampur sedih. Andaikan sahabat-sahabatku di Aceh dapat merasakan apa yang kami rasakan sekarang. peluh keringat yang membasahi pelipis Rengga kembali menyadarkan aku dari khayalan yang memporak-porandakan otak ku. Sebuah kekuatan datang merasuk jiwa ku terus mengatakan bahwa mereka disana menunggu hasil usahanya. Sudah sejauh ini, kami masih harus semangat. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kutekadkan ‘Kami akan membawa yang terbaik demi mereka’.

Setibanya di ibukota, kamipun berusaha menyesuaikan diri dengan sekitar. Walaupun masih terasa janggal dan norak. Kami tetap PD dengan apa yang kami punya. Kami check in di Hotel Twin Plaza dan beristirahat sejenak. Memandang keindahan Jakarta dari kamar di lantai 9 sepertinya hal sangat menyenangkan. Seperti memandang panorama yang menghancurkan batasan pandangan di otak, menabrak keseimbangan tentang pola pikir turun-temurun, menghancurkan paradigma-paradigma pikiran yang salah, membunuh rasa takut untuk hari esok dan menegur sistem kerja otak yang selalu berpikir pendek.

Pemandangan dari kamar 901 di lantai 9 menjelaskan betapa luasnya dunia ini, tak ada batasan berkarya. Andaikan semua teman di Aceh Tengah dapat melihat pemandangan yang berharga ini, pemandangan yang tidak dibatasi oleh gunung-gunung hijau dan besar di Tanah Gayo, tidak pula dibatasi dengan gundukan-gundukan tanah pertanian. Bukan Pemandangan tentang kerja keras dengan otot akan tetapi Pemandangan ini tentang kerja keras dengan kinerja otak. Kulihat sekarang, betapa luasnya jalan, jalan tol yang berlipat-lipat, kendaraan yang sibuk kesana-kemari mengejar waktu, dan orang-orang yang terus memegangi telepon selulernya dan mengotak-atik sambil menunggu jemputan.

Masih dengan khayalan di depan jendela di kamar No.901, musik yang terus menemani imajinasiku tiba-tiba berhenti. Ku ambil HP ku dan kulihat, sebuah SMS masuk dari Rengga. Rengga mengajak makan malam. Kulirik jam dinding, Jam 19.30 memang sudah waktunya. Akupun bersiap-siap dan langsung menuju kamar Rengga di lantai 4. Dengan sebuah lift yang belum pernah ada di Takengon, kami turun ke lantai pertama. Menikmati lift saja kami sudah sangat bersyukur.

Makanan yang begitu elit kami cicipi dengan senang hati. Setelah itu kami dengarkan rangkaian kegiatan yang dibacakan panitia. Setelah Technical meeting kami kembali ke kamar masing-masing. Sambil membicarakan ini-itu dan bercanda ria, kami dihadapkan kembali dengan sebuah kendala. Makalah yang kami revisi ternyata memiliki banyak kesalahan penulisan. Aku sampai tak mengerti mengapa sampai seteledor ini saat di Takengon. Setelah menghubungi beberapa teman-teman akhirnya kami perbaiki kesalahan pada makalah kami.

Pagi menyapa, waktunya persiapan pameran di Kementrian Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan. Setelah mempersiapkan semuanya, kamipun berangkat ke tempat yang diarahkan panitia. Panitia menyiapkan 6 bus dan kami menaiki bus ke 4. Sesampainya disana, kamipun menyelesaikan stan pameran kami sebagaimana yang telah kami rencanakan dengan sahabat-sahabat di Takengon. Koneksi HP yang tak pernah putus dan terus menghubungkan kami semua ternyata membuahkan hasil yang menakjubkan. Kami sangat puas dengan stand kami, apalagi setelah mendapat ide-ide baru dari stand-stand tetangga. Setelah selesai mengerjakan stand, kamipun kembali ke hotel untuk beristirahat. Setelah makan malam, Tuhan kembali mengirimkan bantuan dan petunjuk. Salah satu Staf Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Provinsi Aceh ternyata memperhatikan perjalanan kami dan memberikan berbagai masukan untuk penelitian kami. Kami melakukan simulasi bagaimana meramaikan stand dan metode presentasi via telfon dengan Pak Yusradi Usman al-Gayoni. Hingga pada saat pameran kami tingkatkan semangat dan tak berani berharap akan apapun. Kami lalukan apa yang menurut kami baik, kami jawab pertanyaan dengan seramah mungkin, dan terus berdoa dalam hati.

Juri-juri mulai patroli, mereka mengunjungi stand satu persatu dan bertanya ini-itu. Mengajak debat dan memutar-mutar pertanyaan. Kami terus dalam posisi siap, akan tetapi kami merasa bingung. Setiap juri yang singgah di stan kami begitu terasa biasa. Mereka semua hanya bertanya seadanya dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan umum tentang penelitian kami. Akibatnya, juri hanya sebentar singgah di stand kami dan akhirnya berlalu begitu saja. kami merasa ada yang tidak beres. Dugaan-dugaan berbaris rapi. Rengga berkali-kali mengecek stand dan gaya kami dalam menjelaskan penelitian. Tidak ada yang aneh atau terasa janggal, semua normal. Ya, akhirnya kami lanjutkan acara ini seperti kami apa adanya. Acara pameran selesai, kami kemasi barang-barang yang berharga dan menunggu intruksi selanjutnya.

Panitia tidak mengumumkan peringkat 10 besar yang diberikan kesempatan presentasi untuk esok hari. Sehingga semua peserta harus mempersiapkan presentasi walaupun kesempatan itu entah ada atau tidak. Malam itu aku sangat mengantuk, letih mengurusi stand seharian penuh. Akan tetapi muka Rengga yang bersemangat dan memaksaku mencoba berusaha untuk berdiri tegak. Aku benar-benar sangat mengantuk. Membuka mata saja aku tak sanggup lagi. Rengga terlalu sabar menghadapi gadis manja sepertiku. Ia terus memaksaku untuk berlatih presentasi dan bertanya-tanya layaknya juri. Aku menjawab seadanya. dia terus menegurku dan akhirnya aku diijinkannya untuk menutup mata, tapi tidak boleh tidur. Aku masih harus berbicara layaknya orang yang sedang presentasi dengan menutup mata.

“Energi yang kakak gunakan untuk membuka mata, biarkan menjadi energi untuk berpikir apa yang kakak ucapkan,” katanya aneh. Saat itu aku tak sanggup menelaah maksud kalimatnya. Aku hanya mengikuti kata-katanya saja.

Aku semakin ngawur menjawab pertanyaan Rengga, Pak Irwansyah menyarankan aku untuk menelfon Pak Yusradi untuk simulasi lebih lanjut. Aku mengiyakan saja, setuju untuk menghargai mereka. Hal buruk terjadi, entah mengapa rasa kantuk yang teramat sangat mengekangku untuk berpikir dan beraktivitas. Aku mendengarkan arahan Pak Yusradi, tapi entah apa yang masuk ke dalam otak ku. Kesabaran Rengga habis, ia menyuruhku menutup telfon dan beranjak tidur. Aku tak berani berkata apapun, kuikuti semua perkataanya dan kembali ke kamar 901. Kulirik jam dinding kamar, pukul  11.56 WIB. Kurebahkan tubuhku di samping Irvin, teman sekamarku yang berasal dari Semarang.

Dengan kalahnya Pati melawan rasa kantuk, apakah yang terjadi esoknya…?(bersambung)

* Peraih mendali Emas Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia 2012.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.