Mengonsep Pendidikan Gayo

Bagian Pertama

Oleh: Johansyah*

ARTIKEL ini merupakan pengembangan dari bincang-bincang penulis beberapa waktu yang lalu dengan Drs. Arifin Banta Cut, seorang pemerhati dan parktisi pendidikan Aceh Tengah. Penulis bertanya kepada beliau, apakah Aceh Tengah saat ini memiliki grand desain pendidikan dan pernahkah diselenggarakan lokakarya, seminar, dan sejenisnya yang membahas tentang rencana strategis pendidikan Aceh Tengah?

Lalu beliau menjawab, bahwa dulu memang ada beberapa kali seminar yang membahas hal tersebut dan telah disusun beberapa program pendidikan. Namun di lapangan implementasinya sangat lemah. Bahkan menurut beliau, sekarang ini tidak ada rancangan strategis pendidikan Aceh Tengah sama sekali, sementara yang sebelumnya tidak jelas lagi.

Sementara dapat disimpulkan, tampaknya pendidikan Gayo (khususnya di Aceh Tengah maupun Bener Meriah) tidak memiliki rancangan strategis berbasis kebutuhan lokal dalam menyelenggarakan pendidikan, kecuali sekedar melaksanakan pendidikan yang bersifat instruksional dan rutinitas sebagai perpanjangan tangan pemerintah Pusan maupun Provinsi. Sejatinya pada era desentralisasi dan otonomi pendidikan saat ini, pendidikan di Gayo memiliki visi dan misi serta orientasi yang jelas tentang bagaimana format pendidikan ideal untuk wilayah ini.

Untuk itu, artikel lepas ini akan memaparkan beberapa gagasan sederhana yang diharapkan menjadi bahan diskusi bersama tentang pendidikan di Gayo. Untuk tujuan dimaksud, tulisan ini akan dibagi kepada beberapa bagian; bagian pertama dan kedua adalah pemetaan tentang permasalahan pendidikan Gayo.

Adapun bagian ketiga akan membahas perubahan sosial masyarakat Gayo dan tuntutan dunia global dalam kaitannya dengan pendidikan. Bagian akhir akan menguraikan rancangan formulasiĀ  pendidikan Gayo dalam rangka menjawab tantangan dunia global, sekaligus di sisi lain berupaya mempertahankan etnisitas dan identitas Gayo.

Menyangkut permasalahan pendidikan di Gayo, penulis akan menyoroti dari dua dimensi, yakni dimensi struktural dan kultural. Dimensi pertama dimaksudkan untuk melihat persoalan pendidikan dalam lingkup pemerintahan, terutama tentang kebijakan dan perannya dalam menyelenggarakan pendidikan. Adapun yang kedua menyoroti tentang persoalan yang ada di masyarakat terutama semangat dan orientasi pendidikan yang telah terbangun dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Gayo.

Terkait dengan masalah struktural pendidikan, ada beberapa persoalan mendasar yang menurut penulis berpengaruh terhadap laju perkembangan pendidikan Gayo. Pertama adalah kepemimpinan di Gayo yang belum berorientasi pada penguatan dan pengembangan pendidikan, atau kurang berorientasi kepada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), serta tidak memiliki terobosan monumental dalam membangun pendidikan Gayo. Paling tidak ada satu fakta yang menguatkan anggapan ini, bahwa jumlah mahasiswa Gayo yang melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 dan S3 dengan dukungan pemerintah masih kalah jumlahnya jika dibandingakan dengan beberapa wilayah lain di Aceh seperti Aceh Utara, Aceh Timur, dan beberapa wilayah lainnya.

Untuk membuktikan asumsi ini, penulis mengajak para mahasiswa dan peminat penelitian pendidikan dalam lingkup perguruan tinggi Aceh Tengah maupun di luar daerah untuk dapat meneliti masalah ini. Setidaknya ada penelitian melalui studi komparatif tentang kontribusi para bupati yang pernah menjabat dalam pengembangan pendidikan di Gayo sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang kontribusi mereka dalam pengembangan pendidikan di Gayo.

Masalah kedua adalah tidak terbangunnya komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dengan publik, terutama para tokoh pendidikan Gayo seputar Aceh Tengan dan Bener Meriah, maupun di luar daerah. Padahal komunikasi dengan para tokoh pendidikan ini sangat penting dalam upaya menggali berbagai permasalahan pendidikan dan bentuk gagasan pendidikan sebagai solusi alternatifnya.

Masalah ketiga adalah pasifisme para administrator pendidikan (terutama Dinas Pendidikan dan Kementerian agama Kabupaten) dalam menyikapi dan merespon multiproblem pendidikan di wilayah Gayo. Atau pasifisme mereka dalam merespon kebutuhan pendidikan Gayo ke depan. Aktifitas pendidikan yang diselenggarakan selama ini cenderung masih berkutat pada pendidikan yang bersifat instruksional (miskin gagasan dan inovasi).

Para administrator hanya menyelenggarakan sertifikasi guru, mengadakan pengawasan, menyelenggarakan Ujian Nasional (UN), dan aktifitas kekomandoan lainnya sesuai instruksi. Kondisi semacam ini digambarkan Everett Hagen (dalam Tilaar, 2012: 390), sebagai gaya kepemimpinan pendidikan yang kaku dan otoriter; menuntut ekspektasi tinggi dari bawahan dan memberi sanksi yang berat apabila bawahan melakukan kesalahan. Maka kepemimpinan pendidikan model ini menurut Hagen tidak memiliki kreatifitas dan hampa inovasi.

Masalah ketiga adalah tumpulnya daya kritis para guru dalam menyikapi perubahan sosial dan perkembangan praksis pendidikan. Sebagian besar guru di Gayo, bahkan di Indonesia pada umumnya bersifat ā€™dinginā€™ terhadap perubahan sosial. Mereka kurang termotivasi untuk meningkatkan profesionalismenya guna menghadapi gempuran perubahan dan persaingan global. Contohnya adalah banyaknya para guru senior angakatan 80-an dan 90-an yang kikuk berhadapan dengan teknologi dan cenderung menghindarinya. Mereka terserang virus ā€™gatekā€™ (gagap teknologi). Ini merupakan akibat nyata dari keterlambatan guru dalam beradaptasi dengan perubahan.

Begitu pula dengan sikap mereka yang lamban mengikuti arus perkembangan teori dan praktik (praksis) pendidikan yang tidak jarang membuat guru kelimpungan ketika menghadapi perubahan kurikulum, misalnya dari 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dari KBK ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan dari KTSP ke kurikulum 2013 berbasis tematis integratif (terutama untuk sekolah dasar) yang rencananya diterapkan pada juni 2013 mendatang. Sebabnya tidak lain karena mandulnya semangat membaca para guru pasca mereka menjadi sarjana dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Namun demikian, secara berimbang harus diakui bahwa tumpulnya daya kritis guru ini juga terkait dengan berbagai kebijakan pendidikan yang kerap kali terkesan menekan para guru. Bahkan disinyalir bahwa diantara penyebab utama tumpulnya daya kritis dan kreatifitas guru, disebabkan oleh gaya kepemimpinan pendidikan yang kaku dan otoriter tadi. Itulah beberapa permasalahan struktural pendidikan Gayo yang barangkali masih belum teridentifikasi semuanya. Untuk permasalahan kultural pendidikan Gayo akan diuraikan pada bagian kedua.(johansyahmude[at]yahoo.co.id)

*Mahasiswa Program Doktor (S3) PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.