PASCA disahkan Qanun Lembag Wali Nanggroe oleh DPRA terus menurus mendapat kritik dan tantangan dari banyak pihak, terutama dari masyarakat pantai barat dan bahagian tengah Aceh. Mereka dengan tegas menolaknya.
Menurut pemahaman saya, penolakan dan penentangan itu bukan karena tidak tahu bahwa pembentukan LWN merupakan amanah konstitusi, tetapi apa urgensinya, dan manfaat apa yang dapat diraskan oleh rakyat dari LWN, sementara di Aceh sebagai bagian dari NKRI sudah ada lembaga trias politika, dengan tupoksi yang sudah jelas.
Di sisi lain, kehadirannya juga sudah pasti membebani anggaran daerah yang tidak sedikit. Lihat saja sosok istana yang sedang di bangun, konon anggaran pembangunannya mencapak Rp40 miliar. Ini baru gedung, belum lagi perabotan yang mesti diisi kelak. Coba dikonversi, dengan anggaran sebanyak itu berapa rumah kaum dhu’afa yang dapat dibangun di Aceh.
Berikutnya, setelah LWN di isi oleh sekian banyak tokoh, berapa anggaran yang perlu disediakan. Pasti cukup banyak. Biaya ini dan biaya itu. Mungkin termasuk biaya rutin ke Kuala Lumpur atau Penang, apabila Wali Nanggroe dan lain-lain paduka yang mulia, almukarramun walmuhtaramun secara berkala harus kontrol kesehatan. Sementara menurut konstitusi, LWN ini hanya sebatas lembaga adat, dan sekarang lembaga itu sudah ada, yakni Lembaga Adat dan Kebudyayaan Aceh (LAKA) dan selama ini sudah menjalankan tupoksinya dengan baik.
Memang benar, seperti pernyataan Gubernur (7/12/2012), bahwa pembentukan LWN ini amanah konstitusi, dan pernyataan seperti ini sudah teramat sering disenandungkan oleh anggota parlemen Aceh dan pihak yang amat sangat ngebet kepadanya. Tetapi, kendati benar ia amanah konstitusi, namun kan tidak mesti simsalabim. Seperti pemahaman saya ihwal penolakan dan penentangan banyak pihak tersebut, bahwa ia tidak urgen saat ini, dan apabila sekedar lembaga adat sudah ada LAKA. Mengapa banyak qanun lain yang mestinya harus segera diwujudkan dan sangat dibutuhkan oleh rakyat, tetapi belum ada tanda-tanda yang kongkrit muwujudkannya. Seperti qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), qanun jinayat/hukum acara jinayat, peradilan HAM Ad-hoc, dan lain-lain juga amanah konstitusi.
Semestinya, apabila kita konsekuen melaksanakan amanah konstitusi, maka semua yang diamanahkan itu harus kita wujudkan, dan tentu tidak bisa sekaligus. Tetapi sesuai skala prioritas yang dibutuhkan dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Apabila demikian pola pikir kita, bukan bertendensi bagi-bagi kekuasaan dengan rupa-rupa fasilitas ikutannya, maka menurut sayapun LWN belum diperlukan di Aceh. Lagi pula dalam konstitusi tidak dengan tegas diamanahkan LWN harus segera diqaunukan, kecuali apabila Teungku Hasan Tiro masih hidup, menurut saya, sangat pantas dan mustahak memang di sinilah maqam beliau dan segera diwujudkan. Karena memang sosok, ketokohan, dan kualitas beliau secara nasional dan internasional sudah ma’ruf belaka.
Karena Allaahuyarhamuh Teungku Hasan Tiro telah tiada, ka neuwoe bak Allah, maka apabila ada wacana revisi/amandemen UUPA, maka menurut saya substansi yang berkaitan dengan LWN harus dihilangkan, karena selain sudah pasti amat sangat membebani anggoran daerah, juga tidak ada manfaat untuk rakyat. Saya kira dengan cara dan gaya masing-masing, selain masyarakat pantai barat dan bagian tengah Aceh yang dengan tagas dan transparan menunjukkan sikapnya, manyoritas rakyat pantai timur Aceh juga demikian sikapnya, termasuk saya sendiri.
Dengan pendapat dan sikap seperti ini, jangan pula serta merta dituduh anti MoU Helsinki, UUPA, pengkhianat, cuak dan sebagainya. Karena menurut perasaan dan seingat saya, bahwa saya tidak anti MoU Helsinki dan UUPA, sejak sebagai anggota parlemen Indonesia mewakili Aceh sampai kembali ke asal mula menjadi rakyat jelata tidak pernah berkhianat kepada rakyat Aceh. Tidak pernah meneror, mengintimidasi, apa lagi membunuh rakyat. Demikian pula tidak pernah memeras dan merampok harta rakyat.
Terlalu mahal apabila lantaran LWN yang tidak jelas manfaatnya, kita korbankan ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah insaniyah dan ukhuwwah wathaniyah, persatuan dan kesatuan rakyat di Aceh yang heterogen. Apabila hal ini terjadi, inilah sejatinya wujud pengkhianatan yang nyata terhadap endatu. Endatu rakyat di bagian tengah, pantai barat dan pantai timur Aceh, yang talah mewariskan tanah, budaya, dan adat istiadat yang berwarna warni kepada kita sekarang ini.
Insya Allah, dengan kebersamaan, kesetaraan, toleransi dan saling menghargai, di bawah panji-panji syariat Islam rahmatan lil’alamin, tanpa LWN-pun Aceh senantiasa bersatu, aman, damai, bermartabat, adil dan sejahtera.Nashrum minallahi wa fathun qarib.(ghazali.adan[at]gmail.com)
*Mantan Anggota DPR/MPR RI asal Aceh