Isma Arsyani*
SAAT membaca berita di Lintas Gayo tentang ungkapan Kepala Dinas Perhubungan Telekomunikasi dan Informatika Kabupaten Aceh Tengah, ada hal terbetik di ingatan saya tentang berita ini. Hal yang sebelumnya sudah pernah terbetik juga saat melihat pengumuman berjalan di papan elektronik di simpang Polres Aceh Tengah awal Juli 2012 lalu.
Pertama, awal Juli 2012, saya baru saja pulang dari Meulaboh dan kebetulan saat itu malam. Saya melihat pengumunan berjalan di papan elektronik (maaf, saya tak tahu nama khusus benda ini) yang mempunyai pesan agar tidak berbelok kiri di persimpangan Embun Pagi Terminal Takengon.
Teman-teman di Gayo Watch sempat mendokumentasikannya di link ini. Dengan kata lain, tak lah boleh lagi menuju jalan Pasar Inpres melalui arah utara, namun harus melalui arah selatan, atau dari simpang Bank Aceh. Saat membaca pengumuman ini ada yang terbetik di pikiran saya, bahwa masih ada upaya dari pihak pemerintah kabupaten untuk membenahi lalu lintas kota di Takengon.
Ya, saya sempat pesimis dengan keadaan lalu lintas di Takengon bila tak dikendalikan dengan segera akan menjadi bumerang sendiri. Apalagi saat itu saya baru pulang dari Meulaboh dan melihat keseriusan pemerintah kabupaten-nya untuk menjalankan amanah undang-undang nomor 22 tahun 2009. Salah satu indikasi yang saya lihat, keberadaan rambu-rambu lalu lintas sangat lengkap di titik-titik tertentu sesuai dengan keadaan kondisi medan dan kebutuhan di tiap-tiap lokasi. Dibandingkan dengan Takengon, rambu lalu lintas kota di Meulaboh selangkah lebih baik.
Hal kedua, tentu saja saat membaca ungkapan Kepala Dinas Perhubungan Telekomunikasi dan Informatika Kabupaten Aceh Tengah di Lintas Gayo tentang aktivitas lalu lintas di jalan Pasar Inpres. Walau peraturan yang dibuat sebelumnya terkesan tanpa ada perencanaan yang matang, paling tidak di kepala saya terbetik, masih ada kepedulian pemerintah kabupaten kita untuk segera meninjau ulang kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Dari pada tidak sama sekali. Karena secara pribadi saya sering sekali hampir bersitegang gara-gara sering terjadi konflik kendaraan di jalan Pasar Inpres.
Saya yang berusaha mematuhi peraturan lalu lintas, sering diomeli orang lain dari arah utara yang berlawanan dengan arah kendaraan saya. Untuk ini saya hanya sering garuk-garuk helm dan teringat jangan-jangan yang mengomeli saya itu pejabat. Khawatir terjadi kejadian yang tidak diingankan seperti insiden yang pernah diberitakan Lintas Gayo. Tak heran sejak enam bulan lalu di jalan Pasar Inpres sering terjadi konflik kendaraan, karena walau telah dibatasi oleh pembatas, pengendara tetap saja melintasi jalan Pasar Inpres dari sebelah utara. Dokumentasinya dapat dilihat di link ini.
Lalu lintas kota seperti ruang kota itu sendiri, akan selalu dinamis dan berkembang. Perlu sebuah kajian yang mendalam sehingga perencanaan dan perlaksanaan lalu lintas kota dapat diterapkan dengan baik. Takengon memang bukan Jakarta, (yang sedang menerapkan kebijakan unpopulis tentang lalu lintas), bila dibandingkan dengan Jakarta, Takengon sangatlah jauh berbeda. Namun untuk membandingkan prilaku pengendara dan gambaran akan kesemrawutan lalu lintas bukan tak mungkin masalah lalu lintas di kota besar juga akan terjadi di sini, walau dalam skala kecil sesuai dengan lingkup kota itu sendiri.
Bila saya melihat keadaan di Jalan Pasar Inpres, khususnya, hanya masalah prilaku pengendara dan tentu saja penegakan aturan itu sendiri. Memang, mereka yang berdomisili di timur, seperti Bom, Pasar Pagi, dan Tetunyung, “agak susah” bila ingin mengakses jalan Pasar Inpres. Mereka harus memutar dahulu ke Wariji, melewati Simpang Lima dan baru masuk jalan ini melalui samping Bank Aceh atau Kodim. Pun bila ingin melalui jalan di depan Kodim juga tidak bisa karena jalan tersebut hanya searah ke arah timur. Mengapa “agak susah”, karena semua yang ingin mengakses jalan Pasar Inpres, sebagian besar adalah pengendara kendaraan pribadi, yang notabene ingin langsung sekali ke tempat tujuan dengan pas tepat di depan tujuan masing-masing. Padahal, bila hanya ingin mengakses toko atau pun tempat belanja di jalan Pasar Inpres, masyarakat yang berada di permukiman Bom, Pasar Pagi, dan Tetunyung, bisa memarkirkan kendaraan mereka di jalan Sengeda. Dan akses ke jalan Pasar Inpres sangat lah mudah dari jalan Sengeda karena tersedia banyak lorong dan jalan lingkungan. Namun karena sarana dan prasarana parkir di kedua jalan ini belum taratur masyarakat juga urung untuk parkir di sana. Padahal untuk membuat sebuah kebijakan lalu lintas kota, pemerintah kabupaten harus juga siap mengantisipasi kemungkinan lainnya dengan penyediaan sarana dan prasarana penunjang. Plus penegakan aturan itu sendiri yang lemah.
Hal penting lainnya, masyarakat saat ini, termasuk saya sendiri, sudah dimanjakan dengan enaknya berkendara dengan kendaraan bermotor. Apalagi saat ini kendaraan jenis matic sudah merajai jalanan, membuat kita lupa bahwa jalan raya atau lalu lintas itu adalah ruang public yang harus dijaga dan dipatuhi aturannya walau bagaimana pun susahnya. Konon lagi saat ini dan di kemudian hari, harga kendaraan sangat lah murah dan juga sangat mudah cara mendapatkannya. Bisa dibayangkan pertumbuhan kendaraan di Takengon yang tinggi yang tak sebanding dengan pertumbuhan jalan itu sendiri. Di sini lah perlunya manajemen lalu lintas kota. Tak melulu hanya berpikir untuk menuntaskan lalu lintas kota adalah dengan melebarkan jalan. Ok, bila masih ada ruang, bila tidak, apa kah dengan penggusuran massif, tentu banyak biaya yang harus dikeluarkan.
Kepada pihak yang bersangkutan mengenai lalu lintas, apalagi sudah ada Forum LLAJ. Bila ingin mengubah kembali arah lalu lintas di Jalan Pasar Inpres, silahkan saja. Namun perhitungkan kembali variable yang muncul dan yang akan pasti muncul. Perbaiki sarana parkir, baik di jalan Pasar Inpres maupun di Jalan Sengeda, juga di jalan elak lainnya. Karena yang buat jalan menjadi sempit adalah parkir sembarangan. Kedua, hidupkan trotoar, agar yang berjalan kaki bisa nyaman dan itu adalah hak para pejalan kaki yang sudah mau mengurangi emisi dan polusi kendaraan. Tegas lah pada pedagang yang memakai trotoar sebagai lapak barang. Pada saat jam sibuk, peak hour, kerah kan petugas untuk menertibkan kendaraan agar laju lalu lintas menjadi lancar tentu dengan tunjangan yang pantas agar petugas juga merasa nyaman bekerja.
Untuk ke depan, tak hanya jalan Pasar Inpres, kepada pihak terkait dan forum LLAJ, juga masyarakat. Perencanaan lalu lintas, tak lah berorintasi pada kendaraan pribadi. Namun bagaimana orientasi kebijakan lebih memihak pada transportasi missal atau umum. Dan tentu saja berorientasi pada lingkungan yang dapat mengurangi emisi atau polusi. Saat ini isu pemanasan global dan perubahan iklim sangat seksi dibicarakan. Daerah kita adalah daerah dingin yang masih nyaman untuk saat ini. Jangan lah dengan kebijakan yang salah, Takengon tak lagi menjadi kota dingin. Kebijakan lalu lintas memang kebijakan unpopulis, tapi tak salah dilaksanakan, demi kita semua.
Saya sempat bermimpi, Jalan Pasar Inpres diubah menjadi ruang pedestrian. Ada trotoar dan pohon-pohon rindang di sana. Belanja tak perlu bersepeda motor, tapi cukup berjalan kaki. Seperti dulu, dua puluh tahun lalu.Ya,ya, ya…ini hanya mimpi. (isma.arsyani@gmail.com).
*Warga Takengon