Oleh : Joni MN Aman Rima*
ORANG Gayo adalah nama salah satu suku yang ada dari ratusan suku di Indonesia yang tepatnya terdapat di dataran tinggi Aceh yaitu yang bersuhu tropis. Masyarakat yang bersuku Gayo dimanapun berada, mereka memiliki prinsip yang kuat ketika menjalani proses kehidupan. Nilai-nilai budaya yang mereka miliki kemudian yang mereka terapkan di dalam memproses kehidupan mereka sudah merekat kuat di dalam batin masyarakat Gayo, seperti nilai-nilai yang ada dalam norma “edet” atau adat yaitu; “murib I kanung edet mate I kanung bumi – murib benar mate suci” – hal ini dapat dimaknai bahwa; orang Gayo selalu menjalani kehidupan mereka sesuai dengan aturan edet yang tidak menyimpang dari edet yang mereka pegang sebagai panutan menjalani hidup, karena mereka percaya bahwa aturan edet yang mereka yakini itu bersandarkan kepada aturan-aturan agama (dalam hal ini masyarakatnya mayoritas beragama Islam). Oleh sebab itu mereka percaya bahwa nilai-nilai edet tersebut tidak menyalahi aturan-aturan yang ada pada agama Islam. Kemudian, “mate I kanung bumi” bermakna bahwa segala sesuatu yang mereka kerjakan itu merupakan tidak melenceng dari aturan agama Islam – sehingga apabila mereka melaksanakan atau menjalani proses kehidupan yang sesuai dengan edet , apabila mereka meninggal yakin akan diterima oleh bumi, artinya, bumi tidak akan menolak atau bumi merasa senang untuk menerima mereka.
Orang Gayo atau masyarakat yang bersuku Gayo selalu berusaha menjalani proses kehidupan yang sesuai dengan edet, karena mereka meyakini apabila mereka menjalani kehidupan menurut edet kalau meninggalpun kelak mereka yakin dalam keadaan suci. Dalam kontek yang lain yang menguatkan bahwa edet bersandarkan agama adalah ada ungkapan dalam bahasa Gayo “syari’et berules, edet besebu” – syari’et di sini adalah agama yang mereka anut yaitu agama Islam, sedangkan “berules” maksudnya ‘ditutupi/ tertutupi’ artinya, agama dapat dipagari atau dilindungi, sedangkan “edet besebu” – maksudnya adalah terlindungi, jadi, implikasi makna dan daya (pragmatic force) yang terdapat di dalam ungkapan ini adalah ‘adat menjadi pagarnya agama’.
Menjalankan nilai-nilai agama di saat menempuh kehidupan haruslah beradat sehingga dapat melahirkan norma keberadabpan di dalam berinteraksi baik dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia atau lebih dikenal dengan sebutan Habluminallah dan habluminanas. Hal tersebut mengekspresikan kekukuhan dari prinsip masyarakat Gayo di dalam melaksanakan semua aspek kehidupan mereka. Selanjutnya, dapat diketahui dari budaya “mukemel” artinya; ‘lebih kurang ‘malu’. Dahulu dan bahkan sekarang juga masih ada pada masyarakat tersebut, bahwa; mereka sangat malu kalau anak-anak mereka tidak dapat menlanjutkan sekolah, baik ketingkat menengah, atas dan bahkan ke tingkat perguruan tinggi, mereka rela menjual harta bendanya, “mu-garal” ‘menggadaikan’ (kerbau, kuda, kebun atau sawah, dll) mereka demi anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan ketingkat selanjutnya.
Semua yang mereka terapkan di dalam menjalani kehidupan mereka tidak terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi norma adat yang sudah menjadi tonggak bagi kehidupan mereka. Di sisi lain, mereka juga memiliki nilai-nilai moral yang amat tinggi, hal ini dapat terlihat dari ungkapan-ungkapan yang mereka jadikan sebagai pedoman hidup, seperti yang ada pada ungkapan “pepongoten” – pepongoten di sini bukan bermakna ‘ratapan atau meratapi’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2008,hal.1270 ini bermakna ‘ menangis dengan mengucapkan kata-kata yang menyedihkan; dalam arti mengeluh dengan (menangis, menjerit, dsb) dalam makna meratap. Benar bahwa pepongoten itu dilakukan dengan menangis. Namun “pepongoten” menurut beberapa tokoh yang mengerti nilai-nilai adat Gayo, seperti Bapak Yusin Saleh , Bapak Arifin MR Banta Cut, dan Bapak Gecik Tue Mongal[1] dan yang lainnya berpendapat bahwa hal ini lebih kepada “sebuku” yang dapat digolongkan menjadi dua (2) jenis, 1). Sebuku muniro ma’af dan sebuku nasehat, hal ini biasa dilakukan ketika pernikahan, yaitu ketika anak meminta atau memohon ma’af kepada orang tuanya. Sedangkan sebuku nasehat ini juga disampaikan untuk menyampaikan nasehat di dalam menjalani atau menempuh kehidupan baru yang dituturkan oleh orang tua kepada anaknya dengan media tangisan,dan ada kata nasehat yang disampaikan dengan media nyanyian yang disebut dengan “pepongoten” ini juga disebut dengan sebuku namun hal ini dituturkan oleh “ceh” atau sesorang yang di dalam satu grup “didong” yang umumnya berisikan nesehat di dalam menempuh kehidupan baru dan silsilah keluarga, 2) “sebuku langis” – ini tidak harus dilakukan dengan menangis, namun hal umumnya berkaitan dengan harta (hak warisan) yang penuturnya adalah biasanya anak yang tidak mendapat bagian hak waris, ia membicarakan atau menyampaikan hal ini kepada saudara yang tertua atau “ama kul” pada masyarakat Gayo kata ini bermakna adalah ‘abang Bapak yang sulung’ dan isi dari “sebuku langis” ini lebih kepada mencari solusi yang baik, bukan ratapan.
Masih banyak prisnip-prinsip yang lain yang menggambarkan bahwa masyarakat yang bersuku Gayo bukanlah masyarakat yang cengeng dan bukanlah insan peratap. Bahasa Gayo memiliki makna secara harfiah tidak hanya berfungsi semata-mata kognitif, namun juga berfungsi sebagai emotif, imperative, dan bahkan dapat berfungsi sebagai seremonial. Oleh sebab itu makna yang berlapis tersebut untuk mengartikannya harus memahami konteks terlebih dahulu tidak boleh memaknainya hanya secara gamblang, karena bahasa adalah identitas dari komunitasnya. Contoh; pemakaian kata “Aku” pada dasarnya kata ini mengandung sifat yang umum, yaitu, mengacu pada diri si penutur pada situasi penggunaan yang manapun. Akan tetapi penggunaan kata “Aku” di dalam masyarakat Gayo dalam pembicaraan dengan orang yang lebih tua umurnya ataupun tingkatan sosialnya (societal) dari si penutur, mempunyai pengertian yang berbeda (menimbulkan kesan kurang santun pada diri si penutur atau kurang hormat terhadap pendengar yang lebih tua). Sedangkan penggunaan kata “Aku” dalam lingkup pembicaraan dengan teman sebaya atau kawan sepermainan mungkin tidak mendatangkan kesan kurang santun, bahkan justru lebih akrab, jelaslah dalam hal ini makna ungkapan bahasa Gayo tergantung penggunaannya. Masyarakat Gayo menyampaikan informasi, perintah, nasehat, larangan, dan lainnya umumnya melalui medium yang bervariasi (tidak langsung atau berupa kiasan, dll), karena Orang Gayo berprinsip “semakin tidak langsung ungkapan tersebut semakin tinggi nilai kadar kesantunannya[2]”. hal ini dibuktikan, seperti; ketika orang tua mendengar anaknya atau melihat anaknya berbuat salah, orang tua di Gayo hanya mengatakan “wo mutuah-mu win/ipak” yang kurang lebih dapat dimaknai “mutuah” adalah ‘beruntung’, dalam kontek ini si anak sudah berbuat salah, namun masih dido’akan oleh si Ibu dengan teguran ‘beruntung’ pada dasarnya ini adalah ekpresi kemarahan orang tua kepada anaknya, tetapi si Ibu tidak meratap, malah sebaliknya sang Ibu mendo’akan anaknya. Pada sisi lain juga dapat terlihat, seperti; ketika memerintah anaknya, para orang tua sering terdengar bertanya kepada anaknya, contoh; “win/ ipak isi sapu ne” yang berarti ‘win/ ipak [sebutan terhadap anak laki-laki/perempuan] dimana sapu tadi’ hal ini bermakna bahwa si orang tua tidak secara langsung menyuruh anaknya membersihkan lantai yang kotor untuk disapu, dan lain-lainnya.
—
=PUISI=
(tentang Pepongeten dari Generasi Muda yang Berdarah Gayo;
Suhaili, Mahasiswa PBI STAIN Gajah Putih Takengen Aceh, Aceh Tengah)
Pepongeten Nume Muratap
Pongote………….
Nume muratap pu amo amo
Tapi kune kene tuhen te
Gelah iklas ko heme munerrime
Sediken mupisah ruang orom ejep si mutimpe
Boh gelah mi terang
Munite jelen orom resam ni dunie
Pepongeten te nume muratap
Kune kati mugerak rasa ni kekire
Jangin ne alus .dele pedi manat
Nume pongot pusesepak
Gere iklas munerime ujien ni tuhen te
Urang gayo nume jema si lumang
Berat ke itimang juel pe murege
Cedik, lisik, bidik, mersik mu kasih sayang
Seber we mu pe timang sedingken ara pe bele
===
Pendapat dari Lapizan Ramadhan – tentang pepongoten (dari Generasi Muda yang Berdarah Gayo; Mahasiswa PBI STAIN Gajah Putih Takengen Aceh, Aceh Tengah)
Adapun sedikit isi daripada pepongeten yang ada di tanoh tinggi gayo yang bernilai dan makna tersendiri manakala itu sesui dengan kontek yang ada.dan juga pepongeten ini adalah sebuah ejer marah atau petuah petuah yang di sampaikan kepada putra putrid yang ingin menikah (berumah tangga) tujuannya adalah mencegah terjadinya hal hal yang tidak di inginkan di dalam rumah tangga makanya di hadirkan nasehat dan ejer marah tersebut . adapun sedikit contohnya;
“Wo….anakku ine eeee upuh ulesku bayak bajungku…. Ine, konotmu nge bernaru …kucakmu nge berkaul anakku…. Warusmu male I wajipen ringen mu male I bereten anakku..ine..
Ama…..inengquuuuuu,,,. Anak ku bayak bajungku , nge minah arul ku len pematang anaku,,. nge minah ruang nge len supu upuh bajungku. Ama ine si mu didik kite urum si metetah tentu anaku kati lepas ken tudung uren ken ampis ni ulu anakku, salah betegah benar perpapah anaku”.
Makna yang tersirat di dalam contoh singkat pepongoten di atas yakni merupakan sebuah nasihat dan ejer marah dari seseorang yang terpandang di dalam satu klen atau belah di suatu kampung itu,guna untuk putra putri meraka yang akan menikah dan yang akan menjalankan rumah tangga baru.hal ini dapat dipokuskan kepada pemuda pemudi bahwasanya mulai saat dia akad nikah di situlah mulai terpikulnya beban berat yang selama ini belum ia rasakan .dan juga sudah terlepasnya beban berat yang di emban oleh orang tua selama ini,dalam artian sudah merasa lega.di pada saat ini lah terciptanya “tene murip”,yaitu ”kasih enti laneh sayang enti lelang, karang reles gere tauhi uren aku gere rejen berpayung tetemi ike murerespe usi urum tulen aku gere rejen mu basahi bumi”, bahasa seperti ini merupakan bentuk dan jenis bahasa gayo yaitu bahasa pantun yang mempunyai makna dan bernilaikan filosofi yang sakral.
=======================
“Ma’af ku Tuhen, tabi ku tuah bahagiente – ike lut pasti mupasir – ke salah keta bertegah – ike benare keta I papahi”
<joniakuwoy[at]yahoo.co.id>
[1] Interview langsung secara mendalam dengan Aman Nurjenah [14 April 2008], Arifin MR Banta Cut, Baleatu, [26 Desember 2012], Yusin Saleh ,bale-bujang [24 Desember 2012])
[2] Joni, penelitian; Sosioprakmatik, tanggal 11 April 2011, dan telah diseminarkan di Ujian Qualifikasi Proposal Desertasi di UNS – Surakarta (Solo) 16 MAI 2012.