Oleh : Vera Hastuti, M.Pd
PAGI ini, seperti biasa setiap harinya. Kubersihkan lantai rumahku yang berlantaikan tanah, dengan sapu lidi yang diikat karet ban bekas. Kusapu perlahan sampai halaman, hingga bersih. Di sudut dapur, tungku perapian telah kuhidupkan pula untuk merebus sedikit air panas pengisi termos. Ah, pikirku mungkin nanti si bujang kecilku meminta susu. Maka aku tak perlu lagi memanaskan air. Ya, campuran air bening dan gula itu kukatakan susu padanya. Walau sungguh, minuman itu bukanlah susu. Tapi minuman itulah yang menjadi saksi, tumbuh kembangnya bujang kecilku sejak umurnya tiga bulan. Kuletakkan sapu lidi di samping pintu dapur, sapu yang menurutku sebenarnya tak pantas lagi dipakai untuk menyapu. Untaian lidinya telah tumpul dan pendek. Ah, jadilah! pikirku yang penting gubuk tua ini tetap telah tersapu. Walau terkadang, sapu itu lah yang sebenarnya menambah kotor lantai ini. Sebab tak jarang lidi-lidi yang telah kuikat tersebut, akan terlepas kembali. Meski begitu, ia lidi peninggalan mendiang suamiku.
Kugoreng nasi sisa semalam, untuk sajian sarapan ketiga anak-anakku. Jadilah, untuk penganjal rasa lapar di kala aku pergi ke sawah nanti. Ya, karena kini hanya berladang mengerjakan sawah orang lah yang aku bisa lakukan, sebagai seorang ibu tamatan SMP dan mempunyai tiga anak. Aku malu pada almarhum ayahku, ayah saja sanggup menyekolahkanku hingga SMP tapi tidak denganku. Menyekolahkan anakku hingga taman sekolah dasar pun, aku tak sanggup. Jangankan berkhayal sejauh itu, makan sekali sehari pun sungguh suatu perjuangan yang sangat panjang.
Andai Bang Subhan masih ada, dia tak akan pernah rela melihat aku bekerja di sawah. Mengerjakan sawah juragan-juragan kaya di kampung ini. Ia pasti hanya menyuruhku untuk tetap tinggal di rumah, mengurus rumah dan juga menyiapkan kebutuhan anak-anak kami. Menyambutnya dengan manis, ketika dia pulang di senja hari. Ah, Bang Subhan. Suamiku, sosok lelaki yang begitu gigih. Hampir tak mengenal lelah mencari uang, demi aku dan anak-anakku. Apapun akan dikerjakannya, yang penting aku dan anakku tidak akan merasa kekurangan.
“Ine, lapar!” Aku terkejut. Suara kecil anak sulungku, membuyarkan lamunanku. Saat kusadari, dia telah ada di sampingku.
“Ya Nak! Sebentar Ine ambilkan, sekarang abang cuci muka dulu.” Jawabku, sambil bangkit dari samping tungku perapian.
Oh, anakku! Makanan yang kubuat ini, sangat jauh dikatakan bergizi untukmu. Gorengan nasi bekas yang telah keras, dicampur kecap dan sedikit garam. Tetap menjadi menu spesial yang dapat ine sajikan di gubuk kita, tapi tetap saja mulut kecilmu dengan lahap menikmatinya. Dengan perih, kupandangi tangan kecil anakku menyuapkan sedikit demi sedikit makanan itu ke mulutnya. Sejak pertama, aku sudah mengajarkan hidup mandiri kepada ketiga anak-anakku. Karena bisa saja aku harus meninggalkan mereka, untuk menjadi buruh upah di kebun – kebun tetanggaku atau sekadar ke danau untuk mencuci selimut-selimut tetangga yang telah kotor. Pasti mereka berpikir lebih baik aku yang mencucikan selimut itu, daripada harus mengunakan jasa doorsmer. Ah, andai saja Bang Subhan masih ada disini. Sudah tentu, kami tidak akan hidup semenderita ini. Bang Subhan tidak akan pernah membiarkan kami lapar, apapun akan diusahakannya asalkan kami tetap makan 3x sehari. Masih jelas di ingatanku saat itu, saat musim terang ulen. Tak satupun ada ikan yang sudi masuk ke serue Bang Subhan, tapi tak mematahkan semangat Bang Subhan untuk tetap membuat dapur kami tetap mengepul. Dengan semangat, ia rela di terik matahari menjadi kuli bangunan, tiada lain semua demi aku dan ketiga buah hati kami.
Suamiku, mengenangnya sama saja dengan membuka lembar-lembar luka di hatiku. Menyibak kembali, kesalahanku yang telah kucoba untuk kutanamkan di hati yang paling dalam. Andai saja, aku tidak mengingat ketiga anakku. Sudah pasti aku lebih memilih mati bersamanya, serta dapat dimakamkan di sampingnya sehingga di alam kubur sana aku bisa memohon maaf atas semua kesalahanku padanya. Tapi alam sadarku mengatakan jangan, siapakah yang akan mengasuh ketiga anakku kalau bukan aku? Bukankah mereka darah daging Bang Subhan? Mungkin dengan mendidik dan membesarkan mereka dengan sepenuh jiwa ragaku, bisa mengurangi sedikit rasa bersalahku padanya. Aku yakin, walau alam kami telah berbeda dia pasti tahu bagaimana besar perjuanganku untuk anak-anak kami.
Bang Subhan, seorang yang cerdas. Dengan bermodal pengalamananya sebagai nelayan, ia membuat pakan ikan sendiri. Rumah kecil kami ini, menjadi saksi bagaimana dengan lihainya Bang Subhan mengaduk sampah tahu, nasi, dan dedak menjadi pakan yang diminati ikan-ikan. Tak heran, jika setiap pagi ikan-ikan akan berlimpah masuk ke dalam perangkap ikan Bang Subhan. Tak hanya itu, di waktu senggangnya dengan lembut Bang Subhan menganyam bambu untuk dijadikan perangkap ikan (serue) yang telah dimodifikasikannya. Sehingga ikan dengan mudah terpedaya, terjerat ke dalam perangkap yang telah dipasang olehnya.
Saat itu, tak seperti biasanya. Suamiku berpamitan padaku untuk pergi mencari ikan di danau, biasanya Bang Subhan berangkat menjelang isya tiba. Tapi akhir-akhir ini, Bang Subhan selalu berangkat pagi dan pulang hampir menjelang Shubuh. Sungguh, tak sedikitpun aku menaruh curiga padanya. Andai saja Ani, tetangga sebelah rumahku tak membisikkan berita bohong itu padaku. Ya, saat itu aku terpedaya oleh hasutannya yang mengatakan suamiku telah bermain hati dengan Rini. Janda yang ditinggal mati suaminya, sebulan yang lalu.
Entah karena cemburu atau sakit hati, merasa telah dikhianati. Tanpa sadar dengan linangan air mata, aku bersujud memohon kepada Allah. Jikalau benar isu itu, biarlah Bang Subhan mati saja di Danau Laut Tawar! Sungguh aku tak menyangka, jika akhinya itu menjadi nyata. Tiga hari, setelah doa itu kuucapkan. Bang Subhan, ditemukan nelayan telah kaku tak bernyawa di tengah Danau Laut Tawar karena kapal yang ditupanginya oleng dan terbalik.
Cerita ini sungguh sangat menyiksaku, mungkin sampai akhir aku menutup mata. Betapa tidak, aku merasa doaku telah membuatnya tiada. Walau isu itu, sampai detik ini tak bisa kubuktikan. Berhati-hatilah dengan doa! Ya, masih terngiang jelas di ingatanku pesan anan dulu waktu aku masih kecil. Doa akan terkabul. jika malaikat mengaminkan dan pintu langit sedang terbuka. Mungkin saat, ketika tak sengaja berdoa dengan linangan air mata saat itu, dengan segera malaikat pun mengaminkan doaku. Mungkin!
Ah, kini aku hanya bisa hidup dengan kenangan. Kenangan akan indahnya sekejap kebersamaan kami. Kenangan akan susahnya bangkit, setelah kepergian Bang Subhan. Juga kenangan, akan kesalahan yang telah kulakukan padanya. Kuresapi dalam hati, doa itu kesalahan yang teramat kusesalkan di dalam hidupku. Paling tidak, aku berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang serupa pada anak-anakku kelak.
—
Vera Hastuti, M.Pd. Bekerja sebagai guru di SMA N 4 Takengon.