Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
SEMBILAN Februari 2013, merupakan hari yang bersejarah bagi insan pers di seluruh Indonesia. Pada tanggal tersebut lahirnya sebuah organisasi kewartawan yang diberinama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Seiring perkembangan zaman, hari lahir PWI pada tahun 1946 tersebut dijadikan hari pers secara nasional.
Sehubungan dengan itu, maka saya pikir layaklah jika peringatan hari pers ini dipilih dalam catatan akhir pekan, Minggu ke 2 bulan Februari 2013 ini. Lagi pula peran pers saat ini sangat dibutuhkan masyarakat secara umum, dan masyarakat Gayo khususnya.
Mengambil acuan dari liputan wartawati Lintas Gayo, Zuhra Rahmi yang mengikuti Diskusi Aktual Bulanan PWI Aceh Seri II Tentang Kebebasan Pers di Aceh, kiranya ada beberapa catatan menarik yang didapat.
Mengutip pernyataan Ketua AJI Banda Aceh Maimun Saleh yang mengatakan dunia tanpa pers lebih parah dari pada dunia tanpa listrik, karena tanpa pers dunia akan terasa gelap dan menutup kecerdasan.
Pernyataan ini, jika kita runut kebelakang tentang kondisi di Gayo, khususnya di Takengon sangatlah tepat. Pasalnya, waktu saya masih kecil-kecil sekira tahun 1980-an, di sebuah desa di Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah, saya rasakan petani disana terkesan dibodoh-bodohi oleh para tengkulak atau rentenir.
Mengapa? Para tengkulak atau rentenir yang datang umumnya dari kawasan pesisir Aceh selalu membeli hasil pertanian masyarakat dengan sangat rendah, sedangkan harga jual dipesisir sangatlah mahal. Otomatis ini sangat merugikan para petani kita, sedangkan para tengkulak dan rentenis mengambil keuntungan yang besar.
Bukan saja soal hasil tanaman holtikultura, kopi yang menjadi andalan dan kebanggaan Aceh Tengah juga mengalami hal yang sama. Para petani juga tak mampu berbuat banyak dan mereka hanya puas dengan harga yang diatur para toke-toke Medan, melalui kaki tangannya yang ada di Takengon.
Intinya, petani tak pernah tersejahterakan. Mereka akan mengantongi uang bila panen tiba saja, pascapanen merekapun layaknya petani buruh lainnya seakan-akan tak memiliki lahan yang bisa diandalkan untuk keberlangsungan hidup.
Disisi lain, Aceh Tengah yang memiliki potensi alam yang indah dan asri, hanya diketahui dikalangan masyarakat lokal saja. Jikapun ada yang tahun bahwa Aceh Tengah memiliki potensi wisata yang indah, hanya segelintir saja orang-orang di luar Aceh Tengah, itupun dari kalangan mahasiswa Aceh Tengah yang kuliah di sejumlah wilayah di Indonesia.
Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya yakni Aceh Tengah tak ada media dan warganya saat itu belum media. Jikapun ada media massa, hanya kalanga tertentu saja yang baca sedangkan masyarakat sama sekali tak tahu atau tak mau tahu.
Kondisi terbelengu tanpa media ini berlangsung lama, hingga akhirnya dari amatan saya pasca tahun 2004, setelah gempa dan tsunami memporak-porandakan sejumlah besar wilayah Aceh. Pascagempa dan tsunami itu, era keterbukaan makin menguak, apalagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh masuk ke semua daerah di Aceh untuk membangun daerah tersebut.
Di tengah era keterbukaan ini dengan banyaknya orang luar Aceh yang masuk, maka mediapun mulai terasa berperan. Maka tak mengherankan banyak kawan-kawan dari luar Aceh yang berkata kepada saya, “luar biasa kampung mu, alamnya cukup indah, kopinya mantap” dan banyak pujian lainnya.
Kondisi ini juga semakin membuka mata “Urang Gayo” untuk melihat daerahnya sendiri dan kini berlomba-lomba untuk bisa berupaya dan berusaha bagaimana ikut membantu Aceh Tengah, meski kebajikan yang ditanam itu hanya sebesar biji zarah. Hal terkecil seperti menyebarkan informasi kepada dunia luar, bahwa di pedalaman Aceh ada sebuah negeri yang “kaya raya” akan potensi alam, pertanian dan seni budaya yang kental.
Informasi itu dipublis lewat Facebook, dan berbagai sarana jejaring sosial lainnya, termasuk lewat informasi media massa. Sehubungan dengan itu pasang surut kehadiran mediapun di Aceh Tengah terus berdenyut, baik cetak, online, radio dan jaringan publik lainnya.
Salah satu media yang konsen soal itu yakni media yang sedang anda baca saat ini Lintas Gayo. Media onlie Lintas Gayo yang lahir dari “kegilaan” para pendirinya akan cintanya pada Tanoh Gayo, sehingga pasang surut media inipun terus saja terjadi. Mungkin saja ada juga yang tidak suka hadirnya Lintas Gayo ini, karena merasa bisa memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat. Satu yang paling dahsyad saya amati, kehadiran Lintas Gayo ini menjadi perekat persaudaraan sesama masyarakat Gayo, karena lewat media ini bisa saling berbagai informasi tentang keberadaan Urang Gayo dimanapun berada di belahan dunia ini.
Dengan hadirnya Lintas Gayo yang notabene salah satu media yang terbit di Aceh Tengah ini, disamping media lainnya seperti saat ini hadir “Suara Lauser Antara”, ada juga Gayo Land dan media lainnya. Hanya saja ini masih sebatas online, kita (Gayo-red) belum memiliki media cetak yang kuat yang bisa mengakar ditengah masyarakat.
Karenanya, derap pembangunan di Aceh Tengah ini, kiranya tidak cukup Lintas Gayo saja, kita masih butuh banyak media lain, baik online, cetak, elektronik (TV dan Radio) hingga mampu mencerdaskan masyarakat kita, sehingga bisa lebih melek media lagi yang akhirnya petani kita tidak ditipu oleh kawan dari pesisir dan toke-toke Medan.
Tentunya, dengan melek media ini para petani kita bisa menentukan harga sayur mayur sendiri, buah-buahan sendiri, termasuk harga kopi yang terus mengikuti harga kopi dunia, bukan harga kopi kaki tangan toke Medan.
Bila nanti perkembangan media juga semakin maju dan mejemuk di Aceh Tengah, atau Gayo secara umum, kiranya peran masyarakat dan semua pihak juga harus bisa mengontrolnya, sehingga tidak merugikan masyarakat itu sendiri. Dan media yang hadir dan tumbuh di Aceh Tengah “wajib” menjadi penopang untuk menjadikan Aceh Tengah daerah yang besar.
Apapun medianya, siapapu pemiliknya, setiap media yang ada di Aceh Tengah harus bisa bersanding untuk membangun daerah, bukan bertanding saling menjatuhkan. Sebab, dengan bersanding kita bisa besar. Besar bersama, bukan besar sendiri-sendiri.
Kiranya, jika diawal cerita tadi saya mengutip komentar Ketua AJI Banda Aceh, Maimun Saleh, diakhir catatan ini kiranya perlu saya kutip komentarnya yang lain. Dimana menurut Maimun, harusnya untuk mengontrol kinerja wartawan dan media, perlu ada pakar khusus untuk mengkritisi suatu media, agar kualitasnya semakin meningkat.
Sekali lagi, tidak atau cukup Lintas Gayo saja. Kita butuh banyak media yang bisa membesarkan Gayo. Selamat hari pers kawan-kawan wartawan di Gayo, dhama bhakti mu ditunggu masyarakat.(aman.zaiza[at]yahoo.com)