Dapil Aceh yang Berkeadilan?

Yusradi Usman al-Gayoni
Yusradi Usman al-Gayoni

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

SALAH satu masalah Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif di Aceh yang diabaikan selama ini adalah persoalan Daerah Pemilihan (Dapil). Untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, misalnya, Dapil Aceh dibagi jadi dua, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) I dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) II. NAD I terdiri atas Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Kabupaten Simelue dengan jatah 7 kursi. Sementara itu, NAD II terdiri dari Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang dengan total 6 kursi. Dalam hal ini, termasuk Dapil untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Persoalannya, apakah komposisi tersebut sudah mereflesikan Dapil Aceh yang berkeadilan? Kalau dilihat sepintas, Dapil itu “sudah adil.” Bahkan, tidak menimbulkan persoalan. Namun, bila diselami, ternyata banyak menyisakan persoalan. Masalah Dapil pastinya bukan sebatas menggabungkan kota satu dengan kota lainnya atau kabupaten satu dengan kabupaten yang lain, melainkan banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Terutama, soal integritas wilayah, kohesivitas sosio-kultural (persamaan suku, bahasa, dan budaya), sejarah, dan kesamaan sejarah administratif masa lalu yang sama.

Pertimbangan itulah yang masih jauh dari penetapan Dapil yang ada (NAD I dan NAD II). Tanoh Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah), katakanlah, semestinya digabungkan ke dalam satu Dapil yang sama. Kenyataannya, tanoh Gayo dipisahkan ke dalam dua Dapil yang berbeda. Dampaknya, daerah tersebut tidak memiliki keterwakilan penuh di Senayan. Juga, di DPRA. Pada akhirnya, persoalan dan aspirasi dari daerah ini tidak terakomodir dengan baik. Soalnya, wakil-wakil mereka sudah dikalahkan sebelum bertanding.

Padahal, keempat daerah tersebut (tanoh Gayo) memiliki sejarah yang sama baik secara integritas wilayah, sosio-kultural, sejarah, maupun secara administratif. Pada awalnya, keempat daerah ini (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) tergabung dalam satu kabupaten yang sama, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (sebelum pemekaran). Demikian halnya soal integritas wilayah, daerah ini dikenal dengan tanoh Gayo. Sudah barang tentu, saling berdekatan satu sama lain. Di sisi lain, secara sosio-kultural dan sejarah; daerah ini didiami mayoritas oleh orang Gayo. Dengan begitu, dari sisi sejarah, bahasa, adat istiadat, dan budaya sangat berbeda dengan masyarakat yang mendiami pesisir Aceh.

Babak Baru

Oleh karena itu, pelbagai elemen sipil terutama dari daerah pedalaman Aceh mencoba memperjuangkan perubahan Dapil tersebut. Sebetulnya, upaya ini sudah dimulai dari tahun 2010. Kemudian, Forum Masyarakat Tengah dan Tenggara Aceh yang didampingi Senator Indonesia asal Aceh sempat merekomendasikan perubahan Dapil ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Termasuk, ke Komisi II DPR (20/10/2011). Hal yang sama dilakukan pula oleh Forum Masyarakat Tengah-Tenggara dan  Barat Selatan Aceh di Jakarta (13/3/2012) usai Diskusi Publik “Menyoal Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh” di Gedung Parlemen Senayan. Namun, belum menunjukkan hasil yang berarti.

Pada akhirnya, sembilan penduduk  Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues (Ir Mursyid, Anwar, Nazri Adlani, Erry Sofyan, Selamat, Ali Muammar, Kasmawati, Syaddam Natuah, dan Mulyadi) melakukan uji materi terhadap pasal 22 ayat (5) dan lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar 1945ke MK. Lebih khusus, terkait Dapil. Alhasil, tanggal 28 Januari 2013 lalu, Dapil Aceh ini pun mulai disidangkan. Kalau uji materi ini berhasil, KPU dan KIP Aceh otomatis mesti menjalankan ketetapan MK tersebut.

Dapil Ideal?

Melihat jumlah penduduk dan kuota kursi ke DPR RI, seperti yang sudah diusulkan, idealnya Aceh terdiri dari tiga Dapil, yaitu NAD I (Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan kabupaten Pidie Jaya), NAD II (Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Jaya), dan NAD III (Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang)

Kalaupun tidak memungkinkan tiga Dapil dan tetap dua Dapil, misalnya, dengan memperhatikan aspek  integritas wilayah, sosio-kultural, sejarah, dan secara administratif, Dapil yang ada mesti diformulasi ulang, menjadi NAD I yang terdiri dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Jaya). Sebaliknya, NAD II yang terdiri atas Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang.

Dengan formulasi itu, Dapil Aceh lebih merefleksikan keadilan. Disamping itu, menunjukkan proporsionalitas dari masing-masing wilayah, suku, dan budaya yang ada di Aceh. Pada akhirnya, akan ada keterwakilan penuh yang mewakili masing-masing daerah baik di DPRA maupun di Senayan.(algayonie[at]yahoo.com)

*Koordinator Forum Masyarakat Tengah Tenggara dan Barat Daya Selatan Aceh-Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.