Banda Aceh | Lintas Gayo – Kehidupan sekarang cenderung bersifat materialistik yang lebih mementingkan hal yang tampak dari pada yang tidak kasat mata.
Demikian dinyatakan Ketua Darma Wanita Kemenkominfo Republik Indonesia, Sri Rahayu Purwita Ningsih pada acara Grand Launching Sekolah Perempuan dan Seminar Nasional dengan tema “Stop Human Trafficking” yang berlangsung di aula kantor Pemko Banda Aceh, Minggu (24/03/2013) kemarin.
Sri Rahayu juga menyatakan saat ini jabatan lebih diutamakan daripada Softpower seperti keimanan dan akhlak. “Secara psikologis, manusia sendiri belum mampu mengelola materi yang ia miliki dan kualitas keimanan juga menurun,” kata dia.
Adapun dampak dari kehidupan materialistis ini, menurut Sri Rahayu, adalah kemiskinan struktural dengan makna menghilangkan pemberdayaan sehingga menghasilkan konflik antar komunitas, penurunan moral dan degradasi kondisi sosial.
Degradasi kondisi sosial akan menghasilkan masyarakat yang individual, apatis atau tidak peduli terhadap lingkungannya dan atheis yaitu tidak percaya lagi kepada Tuhan seolah-olah semua yang ia usahakan adalah hasil keringatnya sendiri tanpa campur tangan Allah didalamnya. inilah yang akan menyebabkan trafficking. Paparnya dihadapan peserta seminar tersebut.
“Penanganannya, hendaknya kita lakukan tidak hanya dari hilir tapi juga dari hulu. dengan cara memulainya dari keluarga, jadikan keluarga menjadi keluarga yang berkualitas karena keluarga adalah tumpuan sistem perbaikan bangsa dan tempat individu mengembangkan ideologi,” ujar dia menawarkan solusi.
Sementara, Illiza Sa’adduddin Djamal yang juga narasumber pada acara tersebut mengatakan satu sisi kita bangga sebagai masyarakat Aceh dengan Syari’at Islam namun satu sisi lagi kita geram dengan perilaku sebagian oknum dari orang Aceh itu sendiri.
“Pemko Banda Aceh membentuk tim amar ma’ruf nahi mungkar untuk mengatasi hal tersebut. namun demikian kita juga belum memperoleh dukungan penuh dari masyarakat,” kata Illiza.
Sebagai contoh, lanjut Illiza, ketika Pemko melakukan pengamanan terhadap anak punk di kota Banda Aceh.
“Kami melakukan pengamanan secara manusiawi dan berdasarkan undang-undang mengatakan bahwa anak terlantar dipelihara oleh negara. namun ketika pengamanan secara manisuawi telah dilakukan tapi malah dianggap sebagai pelanggaran HAM,” ungkap Wakil Wali Kota ini.
(Zuhra Ruhmi/Red.03)