Yusra Habib Abdul Gani
Pemerintah pusat RI telah mengistikharkan ultimatum kepada Aceh dengan “… memberi waktu 15 hari bagi pemprov Aceh untuk merevisi Qanun soal bendera dan lambang daerah berstatus istimewa tersebut.” (Dirjen Otda, Dhohermansyah Djohan, Detik.com, 03/04/2013). Qanun yang dimaksud ialahqanun Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang disahkan DPRA pada 25 Maret 2013 dan diundangkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor 49.
Sementara menunggu batas waktu; kita telusuri sepintas perjalanan sejarah bendera Aceh. “Setidak-tidaknya terdapat 60 model bendera Aceh dan hanya sebagian yang berhasil dilacak model ornamennya…” (Whitney Smith, PhD. The flags bulletin. September –October 2001. no. 201, volume xl, no. 5. Flags in The News, p. 198. Valley force flag co,. Inc. 1700 Conrad Welser Pkwy. Womelsdorf, PA 19567.)Bendera perang dikibarkan di atas geladak kapal-kapal perang, sementara bendera sipil berkibar di Pelabuhan, kantor Ulèëbalang, kantor pemerintah tingkat negeri/daerah, tempat-tempat umum, Istana Sultan dan di Istana kerajaan kecil, seperti kerajaan Linge dan kerajaan Trumon beraneka ragam modelnya. Sebagian daripada model/bentuk bendera tersebut terdapat dalam buku Status Acheh Dalam NKRI.
Sejak meletus perang Aceh jilid ke-2 tahun 1874, semua bendera ini tidak bebas berkibar lagi; hingga tahun 1875, muncul idé dari saudagar-saudagar Aceh yang berniaga di lintas dagang Aceh-Pulau Pinang (Malaysia) mengusulkan agar Aceh menjadi negara protectorate saja daripada perang berkelanjutan. Karena ketidak-jelasan mengenai –bendera Aceh atau bendera Belanda– yang akan dikibarkan di Aceh; idé kelompok konglemerat Aceh ini Belanda tolak mentah-mentah. Dalam perkembangan selanjutnya –terutama (priode: 1903-1942)– Bendera Belanda berkibar di tempat-tempat tertentu di Aceh, tapi rakyat Aceh tidak dipaksa mengibarkan pada hari-hari besar Belanda; karena situasi keamanan tidak pernah stabil. Berbeda semasa Jepang (priode:1942-45) yang memaksa rakyat Aceh “Saikire” (gaya tabik Jepang) kepada bendera Jepang, bila tidak kena tempèlèng. Di era DI (Darul Islam) Aceh (1953-1962), NII tidak punya bendera khusus untuk dikibarkan di Aceh, walaupun Aceh Utara dan Aceh Tengah sempat berstatus wilayah berdaulat penuh di bawah kuasa DI Aceh selama 4 bulan.
Berbeda dengan perjuangan AM (Aceh Merdeka), punya logo dan bendera. Bendera ini mulai berkibar di kantor GAM di Sweden sejak tahun 1982, di kèm militer Tajura, Lybia tahun 1987-1990 dan di Aceh tahun 1989-2005. Bendera yang pada bagian tengah terdapat gambar bulan bintang, dibubuh garis hitam pada tepi atas-bawah, diapit garis warna putih, dikibarkan dengan iringan suara azan ini, tidak pernah dipersoalkan atau digugat oleh pihak manapun, sebab ianya hak preogatif ASNLF (organisasi perjuangan kemerdekaan Aceh) memakainya. Lambang buraq adalah kop surat ANLF resmi yang dipakai dalam surat-menyurat diplomatik (diplomatic correspondence) yang di-adreskan kepada kepala negara atau perwakilan negara asing seluruh dunia, termasuk PBB. Bendera ini bebas berkibar di setiap Sidang HAM di Geneva yang dihadiri perwakilan ASNLF. Bahkan pada mesium terbuka di Rotterdam, Belanda; bendera ini tertampang bersama bendera negara merdeka dan puluhan bendera oraganisasi kemerdekaan yang tergabung dalam UNPO. Di Amsterdam, bendera Aceh ini turut dijual di sebuah toko accessories. Semua ini boleh berlaku karena kehendak revolusi kemerdekaan Aceh, dihargai dan dihormati dalam peradaban masyarakat dunia internsional. Rakyat Aceh, pemerintah Indonesia tidak berani menyampaikan protes kepada pihah ASNLF untuk merubah modelnya atas alasan tidak sesuai dengan kultur Islam dan bendera separatis. Bendera tersebut adalah legal menurut hukum nasional Aceh dan hukum internasional.
Pandangan Terhadap Bendera Bulan Bintang Berubah.
Saat GAM-RI berunding di Geneva dan Tokyo, isu bendera dan logo ini tidak mengemuka, hingga kemudian dalam putaran rundingan di Helsinki tahun 2005, barulah muncul isu bendera, logo dan Wali Nanggroë. Konsekuensi logis dari suatu perundingan adalah: menang atau kalah dan ianya sangat tergantung kepada kecakapan masing-masing juru runding untuk memainkan bahasa politik hukum dalam rumusan suatu Traktat, Treaty, Agreement, Charter dan Memorandum of Understanding (MoU).
Dalam MoU Helsinki misalnya, GAM-RI menyepakati point 1.1.5. menyebut: “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.” Pada pandangan juru runding GAM, butir ini suatu kemenangan, tanpa menyebut secara detail bahwa yang dimaksud dengan bendera dan logo tersebut adalah atribut sebelum ini yang dipakai oleh GAM. Juru runding GAM terkècoh dan tertipu dengan trick kalimat ‘mutasyabihat’ (rangkaian kalimat yang melahirkan pelbagai tafsiran). Butir-butir ini kemudian dijabarkan semula dalam ayat 246 UUPA dalam kalimat ‘mutasyabihat’ pula. Kesalahan fatal dari juru runding menyerahkan kunci politik Aceh –khususnya dalam hal logo dan bendera– kepada pemerintah RI lewat PDR pusat untuk merumuskannya. Lagi-lagi juru runding GAM merasa bahwa target politiknya sudah berhasil. Setelah lahir UUPA muncul claim dan tafsiran yang berbeda. Kalaulah status hukum bendera bulan-bintang dan logo Buraq dinyatakan secara tegas dalam MoU Helsinki dan UUPA, sudah tentu tdak akan begini jadinya. Adalah benar qanun no.3/2013 telah mempertegasnya, tetapi para pakar hukm dan pemerintah pusat menilai qanun ini berlawanan dengan UUPA dan PP 77/2007 (peraturan perundang-undangan yang hiearchnya lebih tinggi) daripada qanun. Perbedaan tafsir ini telah memicu konflik yuridis antara pemprov Aceh versus pemerintah pusat yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang akan merugikan dan mengorbankan rakyat.
Selama pemerintahan daulah Irwandi Yusuf, qanun bendera dan lambang ini pernah dibahas, namun tidak tuntas. Pada masa pemerintahan daulah Zaini Abdullah, qanun ini disetujui DPRA dan disahkan oleh Gunernur. MoU Helsinki point 1.1.5 dan pasal 246 UUPA, dipakai sebagai alasan pembenar (justification) untuk merumuskan qanun No. 3/2013 dan jika gagal, akan mempertahankan dengan harga mahal, rela ‘dicincang’ sekali pun’. Edrian (Kepala Biro Hukum Setda Aceh) merasa yakin qanun tersebut sesuai dengan MoU Helsinki. Rasa euphoria pun diutarakan oleh Zaini Abdullah: “Per 25 Maret 2013 bendera tersebut berkibar di setiap instansi pemerintahan di seluruh Aceh.” Selanjutnya dikatakan bahwa qanun ini sesuai dengan UU No. 11/2006, yang merupakan penjabaran dari MoU Helsinki, dalam Pasal 246, ayat 2. menyebut: “Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.” Pada ayat (3), dinyatakan: “Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.” Sementara itu, ayat (4) berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”
Peraturan perundang-undangan yang memerlukan penjelasan ini, ternyata diabaikan. Dalam konteks ini sudah kami utarakan dalam bedah buku Self-government (Studi Banding Tentang desain Administrasi Negara) dan dalam beberapa forum diskusi di Aceh, bahwa rumusan point 1.1.5. MoU Helsinki maupun pasal 246 UUPA berpotensi melahirkan konflik yuridis, karena bunyi ayatnya tidak ‘muhkamah’ (pasti-pasti dan menutup celah timbulnya perbedaan pendapat). Analisa dan prediksi ini terbukti sekarang!
Sewaktu di Helsinki, juru runding GAM kecolongan melalui point 4.2. menyebut: “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.” Sebenarnya, dalam pandangan hukum, point inipun masih kontroversial. Artinya: jika “Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer” berarti orang Aceh yang bukan anggota GAM boleh dipakai dalam situasi lain.
Namu, terlepas dari semua itu, lupakan saja rasa euphoria dengan kelahiran qanun No.3/2013, yang ternyata tidak berarti apa-apa, dibanding dengan bahaya PP No. 77/2007 (turunan daripada UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang siap menyekat, merebahkan, mengkafani dan mengubur qanun bendera dan logo yang bersandarkan MoU Helsinki dan UUPA.
Diakui bahwa baru-baru ini telah ditempuh upaya dan menawarkan bendera alternative (warna merah di tengah terletak bulan bintang, di bagian bawah gambar terdapat Pedang) dalam rapat dengar pendapat dan konsultasi antara pemerintah Aceh dengan pejabat dan tokoh di Jakarta. M Jusuf Kalla; mantan juru runding dalam MOU Helsinki Hamid Awaluddin; pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra; Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid; Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso; pengamat politik Fachry Aly; serta perwakilan Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, dan Staf Khusus Presiden adalah diantara tokoh yang hadir. Semetara dari Pemerintah Aceh diwakili Gubernur Zaini Abdullah dan utusan DPR Aceh. ”Semua tokoh tak setuju dengan pemakaian bendera dan lambang GAM itu,” (Testomoni Amiruddin Usman, Ketua Forum Komunikasi dan Konsultasi Desk Aceh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, (27/3/2013). Alasan penolakan tersebut adalah poin 4.2 yang menyebut: ”…dilarang menggunakan simbol-simbol GAM....” Selain itu, dalam “konsultasi yang dilakukan pada 17 Desember 2012 saat itu gubernur Aceh berkomitmen tidak akan menggunakan simbol GAM tapi menggunakan simbol kerajaan Aceh lama sehingga kita izinkan,” (Testimony Arif Wibowo, Wakil Ketua Komisi II DPR, kepada wartawan di Gedung DPR. 3/4/2013.
Nasib MoU dan Qanun Dalam Dilema.
Sebenarnya, mekanisme dalam perundingan internasional, ada forum khusus untuk penyelesaian konflik. Dalam konteks MoU Helsinki misalnya, juru runding GAM: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Nurdin Abdurrahman dan Nur Juli; punya hak meng-claim dan membincangkan semula bersama juru runding Indonesia di depan mediator CMI, sekiranya muncul masalah dalam implementasi MoU; bukan meminta pendapat dari pihak-pihak luar yang tidak terlibat dalam rundingan Helsinki.
Hanya saja, dalam kasus GAM-RI duduk perkaranya agak rumit, sebab Malik Mahmud (warganegara Singapura), Zaini Abdullah (warganegara Swedia), Nurdin Abdurrahman (warganegara Australia), masing-masing sudah menukar kewarganegaraan kepada warganegara Indonesia ber-KTP Aceh. Bahkan, Zaini Abdullah (Gubernur) adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di Aceh. Malik Mahmud (pemangku Wali Nanggroë) yang dapat dipastikan akan menimbulkan perbedaan pendapat yang ektreem antara Aceh-pemerintah pusat), Nur Juli (pemegang ID Merah Malaysia, pasport Indonesia) dan Bakhtiar Abdullah (warganegara Swedia) tidak ada lagi koordinasi di antara mereka. Lantas, siapa berkompeten untuk meng-claim bila muncul masalah dalam implementasi MoU Helsinki? Apakah relevan Zaini Abdullah dalam status sebagai gubernur Aceh –perpanjangan tangan pemerintah pusat– berkata: “Jika masalah ini tidak selesai kita akan minta Martti Ahtisaari untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini. Karena dia dulu mediator perjanjian damai, secara tidak langsung Martti masih punya tanggung jawab menyelesaikan masalah ini.” (Atjehpost.com, 4 April 2013.) Bahkan, “PP Nomor 77 tahun 2007 tentang Bendera dan Lambang Daerah dinilainya sebagai upaya pengaburan pusat atas pengakuan kekhususan Aceh. PP tersebut inkonstitusional. Jika dilihat dari aturan di atasnya yaitu UUPA, maka aturan tersebut telah melanggar aturan yang lebih tinggi,” Ibid. Zaini Abdullah mengaku tengah mengalami gejolak jiwa ambivalence, seperti dikatakannya: “dirinya ibarat satu badan dua kepala, dimana di satu sisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat yang menginginkan bendera alternatif yaitu bulan bintang dengan alam peudang di bawahnya dan di sisi lainnya sebagai pendengar aspirasi rakyat Aceh yang mana beliau menyebutkan bahwa rakyat Aceh menginginkan “bendera GAM” sebagai benderanya.” (Rafli Hasan. Ketika Gubernur Aceh Terbata-bata… (DPR Aceh pun Tergagap), Kompasiana, 5 April 2013.) Sementara itu, Malik Mahmud menyerahkan kunci politik Aceh kepada Sunarko dalam urusan bendera dan lambang. Katanya: “Sunarko selaku Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra sudah dianggap sebagai anak Aceh dan untuk memperjuangkan lambang dan bendera di tingkat pusat sudah sangat layak berada di tangan Sunarko. Itu tugas Pak Sunarko untuk melobi pihak pusat yang belum mengerti arti sejarah.” (Atjehlink.com. 28 maret 2013.)
Konflik yuridis ini semakin kusut, karena pemerintah Aceh bukan saja berhadapan denganpolicy pemerinah pusat, seperti dkatakan SBY: “Yang jelas merah putih harus berkibar di seluruh tanah air, itu bendera kita dan daerah bisa saja memiliki lambang tetapi sesuai ketentuan yang berlaku, ketentuan Undang-undang, semangat serta jiwa bahwa hanya ada satu bendera kedaulatan kita, yaitu sang merah putih.” (Suara Leuser.com, 6 April 2013); tetapi juga muncul penolakan terhadap kehadiran bendera bulan bintang dari sejumlah komponen masyarakat. Ini suatu indikasi bahwa pemerintah Aceh tidak peka dan tidak membaca tanda-tanda zaman yang sudah berubah secara ektreem –yang dahulu 2. Juta orang mengusung bendera bulan bintang– sekarang malah membakarnya. Bendera yang diharap sebagai symbol pemersatu ternyata mencetuskan perseteruan yang mengarah kepada konflik horizontal. Semoga tidak terjadi dan cukup sudah peristiwa Tjumbok sebagai lembaran sejarah hitam yang memalukan dan menjèngkèlkan itu. (desember 1945-februari 1946).
Trick Politik Indonesia Cantik dan Licik
Pada saat Aceh sedang meluap-luap rasa euphoria kepada bendera Bulan-Bintang dan lambang Buraq yang disepakati dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan dijabarkan dalam UUPA tahun 2006; pemerintah Indonsia dengan gerak cepat mengeluarkan PP No. 77/2007 yang pada pasal 6 menyebut: “desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/ gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Tegasnya, pasal 4, 5 dan itu menegaskan: “Lambang daerah tidak boleh bertentangan. Tidak menyerupai misalnya di Papua melambangkan burung Mambruk yang merupakan lambang dari gerakan separatis (OPM), ada juga juga di Maluku Selatan (RMS), juga dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak boleh meyerupai dan mengispirasikan. Dengan dasar itu kalau kita klarifikasi bisa kita koreksi.” PP No. 77/2007 ini merupakan penjelasan/jabaran daripada UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Inilah senjata ampuh yang dipakai pemerintah RI untuk menyekat validitas qanun No. 3/2013, sebab secara yuridis qanun ini bertentangan dengan UU. No.32/2004, UUPA dan PP 77/2007 yang hiearchi-nya lebih tinggi daripada qanun (Perda). Bahkan, “Jika tidak diindahkan Presiden punya kewenangan untuk mencabutnya.“
Qanun/Perda hanyalah produk hukum yang validitasnya bersifat lokal dalam wilayah administrasi suatu daerah saja, bukan berlaku secara nasional. Inilah hiearch perundang-undangan yang berlaku secara nasional:
1. UUD-1945 (Konstitusi)
2. Undang-undang/Perpu
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Inpres
5. Kepres
6. Intruksi Menteri
7. Keputusan Menteri
8. Dll.
Oleh sebab itu, pernyataan Malik Mahmud: “sesuai dengan UUPA dan MoU Helsinki, bendera dan lambang Aceh saat ini sudah sah berlaku. Pemerintah Pusat harus memahami itu. Namun, masih ada sedikit ganjalan karena adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2007. PP tersebut tidak berlaku di Aceh karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu UUPA.” (Atjehpost.com. 4 April 2013),membingungkan kalangan teoritis dan praktisi hukum.
Sebenarnya, bendera dan lambang berciri Aceh pada akhirnya boleh wujud di Aceh, berdasarkan MoU Helsinki dan ayat 246 UUPA; tetapi bukan bendera dan lambang yang disetujui DPRA dan disahkan pemerintah Aceh. Sehubungan dengan tersedia beberapa altenatif penyelesaian:
1. Kalau pemerintah Aceh tetap bertahan dengan argumentasinya, maka Gubernur Aceh mesti berani mengibarkan bendera bulan bintang di Kantor Gubenur Aceh dan DPRA, memerintahkan supaya semua kantor dalam jajaran pemerintahan Aceh mengibarkan bendera bulan bintang dan seiring dengannya, memutuskan semua hubungan politik antara poros Banda Aceh-Jakarta serta tidak menerima semua bentuk arahan dari pemerintah Indonesia. Untuk itu, siap dengan segala resiko yang ditimbulkan.
2. Setelah lewat masa ultimatum –sambil menemukan keputusan final– maka demi keselamatan jiwa raga rakyat Aceh, kibarkan dahulu “bendera putih” sebagai symbol masa transisi, perdamaian, perlidungan dan keselamatan. Situasi demikian dijamin oleh ‘The Hague Convention’, yang berlaku pada 18 Oktober 1907. Pada bab III, ayat 32 menyebut: ”A person is regarded as a parlementaire who has been authorized by one of the belligerents to enter into communication with the other, and who advances bearing a white flag. He has a right to inviolability, as well as the trumpeter, bugler or drummer, the flag-bearer and interpreter who may accompany him.” Dalam rentang masa yang ditetapkan, kedua belah pihak terus berusaha mencari solusi terbaik yang diterima oleh kedua belah pihak, tanpa mengorbankan rakyat. Jika perlu, hadirkan pihak ketiga untuk menengahi konflik yuridis ini.
3. Terima saran ini “lebih baik menggunakan lambang yang merefleksikan kejayaan Aceh di masa lalu yang ada gambar pedangnya dan menghimbau agar pemerintah pusat bersikap tegas sekaligus memberikan alternatif terhadap persoalan gambar dan lambang daerah tersebut. “Persetujuan ada di tangan pusat.” (Detik.com. JK Minta Qanun Bendera Aceh Direvisi. 28/03/2013.) Intinya: “…bukan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena itu sudah dilarang.” Ibid. Sebab,”Apabila tetap tidak diubah, Presiden dibolehkan membatalkan qanun tersebut. Qanun tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.” (Detik.com. 26 Maret 2013 )
4. Komitmen dengan teks ijab-qabul MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang pada preamble-nya antara lain menyebut: “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.” Artinya, patuh kepada ketentuan hukum yang berlaku dalam NKRI.
Semoga Allah memberi perlidungan dan keselamatan kepada seluruh rakyat Aceh.
–
*Yusra Habib Abdul Gani, Penulis buku Self-government (Studi Banding Tentang Disain Admintrasi Negara)
aceh kekurangan lidercip.ada apa dgn muo.
fakta sejarah…..”jika kalah, semoga kalah secara terhormat”