Lintas Gayo – Cerpen
Oleh : Muhammad zhahri arigayo*
Lelaki tua itu berjalan melewati sawah dan pekebunan kopi, terus menerobos dan menyeberangi jalan setapak. Dengan kaki yang mulai lemah dan bantuan sepotong kayu, ia memikul cangkul di sebelah kanan dan kantong peralatan di sebelah kiri. Isi kantong itu Terdiri dari berbagai macam alat untuk persiapan, parang , gunting pemotong, gergaji, dilengkapi ’sebotol minuman’ tapi mungkin bukan minuman botol yang dijual melainkan berisi air putih, bisa jadi itu adalah air pelepas dahaga. Lelaki tua itu tampaknya seorang pekerja keras dan tak mengenal lelah. Seperti hari-hari lain, beliau akan beranjak pulang bila waktu sore tiba. Ritual yang sama dari hari ke hari, mulai Senin sampai kamis dan disambung hari saptu dan seterusnya. Setidaknya beliau masih memiliki hari jum’at untuk sekadar menarik napas atau pun bercanda ria dengan cucu-cucunya. Dugaanku, dengan usia sekitar 50-60 tahun itu, pastinya banyak cucu di rumahnya. Dengan balutan baju sederhana dan alas kaki sendal jepit, serta melihat lebih dalam tentang beliau maka akan terasa beratnya hidup yang masih harus beliau tanggung. Jika beliau masih memiliki istri, mungkin beratnya beban ini masih bisa dibagi. Entah dengan bercerita atau sekadar mendapatkan hangatnya cium tangan dari isteri tercinta. Jika wanita itu sudah tidak ada, setidaknya ia memiliki cucu. Mungkin beliau memiliki anak dan telah menikah. Dilihat dari latar belakang kehidupan beliau, bisa jadi anak beserta menantu-nya tinggal bersama beliau dan cucu-cucunya bisa memberikan kehangatan dan canda tawa. Pilihan untuk tetap menggeluti pekerjaan beliau itu, tampaknya sangat berat jika dibandingkan dengan usia yang ditandai dengan jumlah rambut putih beliau. Pastinya ada hal yang sangat besar yang masih harus beliau tanggung, entah apa itu. Padahal dengan kondisi seperti itu seharusnya hidup beliau sudah ditanggung oleh anaknya. Dengan berjalannya waktu dan umur yang terus habis, seharusnya beliau memiliki lebih banyak waktu untuk beribadah, beristirahat dan ’memperbaiki’ hidupnya. entah apa dalam pikiranya, beliau salah satu contoh orang pribumi yang sadar akan anak cucunya ingin memperjuangkan hak mereka memperjuangkan tanah dan peninggalan leluhur, Sehingga tidak ada pilihan lain bagi lelaki tua itu selain menjadi petani kopi. Semangatnya untuk terus berjuang membara meski secara kasat mata terlihat bahwa ia telah letih. Keberanian untuk memilih jalan hidup sebagai petani kopi menunjukkan bahwa beliau ingin dapat terus memberi, setidaknya untuk keluarganya. Meski di saat yang lain telah terhenti, beliau masih melaju dengan gagah menyusuri persawahan dan perkebunan melawan hujan dan teriknya matahari. Namun, teriknya matahari telah menjadi sahabat beliau, lelah telah menjadi rumah di hatinya, memori dan kerinduan atas senyuman hangat isteri telah menjadi gelora di sanubarinya dan membisikkan kata semangat setiap detiknya. Wajah teduhnya menunjukkan bahwa seakan kehidupan desa ini selalu indah di mata beliau. Dan bahwa ia tak akan terhenti melaju untuk selamanya, hingga jiwa dipanggil oleh Sang Khalik. Beliau telah menyadarkan banyak pihak bahwa hanya bagi mereka yang tak pernah berhenti-lah Allah menyiapkan balasan yang setimpal, Semoga Allah meridhoi hidupmu, Pak… Gayo, senin 04/03/2011
*Mahasiswa Harapan Medan |