Cerpen : Fauraria Valentine*
TIMAH panas itu bermuntahan. Meletup-letup di udara. Memecahkan kesunyian malam. Ada parade di luar sana yang begitu dinikmati oleh pemainnya. Menjadi sebuah tontonan miris.
Lubang-lubang pekuburan tak lagi dibuat hanya untuk mereka yang mati, tapi juga bagi jiwa-jiwa yang diselimuti ketakutan. Malam begitu dingin, rintikan hujan menari mengiringi. Dalam lubang berukuran 3 x 2 m persegi yang ditutupi dedaunan ini kami bersembunyi. Kupandangi wajah-wajah dihadapanku, Amir adik bungsuku dan Ine. Wajah itu pucat, dipenuhi peluh dan ketakuktan. Ada tangis tanpa suara di sana. Tanganku dicengkeramnya begitu kuat, mengisyaratkan sesuatu. Ia menggigit bibirnya, “Ayahmu belum pulang”
Permainan di luar sana semakin riuh. Mempertontonkan kebiadaban. Para lelaki ditarik keluar rumah. Diintrogasi, ditandai satu persatu dengan timpukan senjata. Rintihan sesekali terdengar, begitu memilukan. Diikuti teriakan dan tangis. Kembali hening. Hanya mampu menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Prasangkaku menerawang jauh, mencoba melewati horizon langit, “Dimana Ayah?”
Teriakan nyaring kembali memecah keheningan. Kali ini bersahutan dan terus bersahutan. Dibalas dentuman senjata, membombardir apapun yang ada dihadapannya. Jangan keluarkan suara apapun. Aku memastikan itu. Wanita paruh baya dihadapanku semakin pucat. Memeluk erat adikku. Tangannya gemetar, mendekap lebih dalam. Amir menutup telinganya, gemetaran. Meringkuk dalam pelukan Ine. Berharap sosok yang mampu berikan ketenangan hatinya berada disini, “Ayah”
Tempat ini terasa semakin panas, sesak. Ternyata bukan hanya karena suara-suara di luar sana, melainkan kobaran api yang menyala menjilati rumah. Orang-orang berlarian. Aku menarik Ine, merangkul Amir dan ikut serta berlari. Memasuki semak menapaki jalan pekuburan. Langkah kami diiringi riuh tangis. Darah bertaburan di tanah, membasahi kakiku yang telanjang. Mayat-mayat bergeletakan. Cik Iwan, salah satu wajah yang kukenali. Mataku menatap matanya yang begitu dingin. Seakan meminta pertolongan. Maafkan aku, aku tak mampu berbuat. Dengan penerangan bulan kami terus berlari. Berlari sekeras mungkin meninggalkan tempat ini.
Jalan terus menanjak, melewati kebun-kebun kopi yang semakin jarang. Hingga hanya pinus memenuhi ruang. samarkan riuh pesta di bawah sana. Lelah rasanya berlarian. Kakiku dipenuhi sayatan ilalang, sakit. Kami terus berlari. Genggaman tanganku dingin mencengkeram Ine, berlari tak tentu arah. Teringat jilatan api yang melahap rumah kami, dentuman senjata dan teriakan pilu. Tangis, ketakutan, amarah memuncak. Terselip kembali sebuah kekhawatiran, “Dimana Ayah?”
Ku peluk erat Amir, berusaha membagi kehangatan. Sepertinya sudah sangat jauh kami berlari. Kudapati banyak orang di sini. Dalam diam, memandang satu sama lain. Saling menguatkan.
Ine masih mematung kaku. Butiran air mata membanjiri wajah pucatnya. Tatapannya kosong pada nyala api yang mulai padam. Tak percaya pada apa yang ia lihat. Lalu lunglai, terjatuh. “Dimana Ayahmu?”
Malam semakin larut, orang-orang masih meminang diam. Tubuh itu pun masih terus dipertanyakan.
–
*Mahasiswi Universitas Gajah Putih Takengon