HARI kedua aku bertemu Hugo di sebuah warung makan, ia tidak sendirian, ada wanita paruh baya bersamanya, ia baru tiba dari Banda Aceh. Umur wanita ini sekitar 40an, berambut pirang keriting, Jo Brierley dari Inggris. Aku mengira Jo adalah kerabat Hugo, namun ternyata hanya rekan seperjalanan, bertemu ketika mereka sedang melakukan perjalanan di Sabang.
Melihat sosok Jo, mengingatkanku pada Profesor Minerva Mcgonagall di film Harry Potter, seorang guru di sekolah sihir Hogwarts, lengkap dengan aura keibuan dan aksen English Britishnya yang kuat. Hanya saja, Jo memiliki mata berwarna cokelat, tidak seperti Prof. Mcgonagall yang bermata biru.
Sudah lama aku berkeinginan bertemu dan berbincang dengan seseorang yang memiliki aksen English British, dan ya, sulit sekali menangkap perkataannya, apalagi jika Jo berbicara dengan sangat cepat. Aku hanya mampu terdiam, menatapnya dengan kening berkerut meminta ia mengulang perkataannya secara perlahan. Syukurnya Jo cukup sabar menghadapiku.
Hari ini kami mengunjungi Kecamatan Bintang, kecamatan yang berada di sisi timur Danau Lut Tawar. Mukhlis, Duta Wisata Aceh 2011 yang saat ini menjabat sebagai Pamong Budaya mengundang kami ke pernikahan adiknya. Hugo dan Jo merasa sangat beruntung mendapat undangan tersebut, karena berkesempatan melihat tradisi pernikahan Masyarakat Gayo.
Rumah Mukhlis berada di dekat tapal batas antara Kampung Kuwala I dan Linung Bulen, Kecamatan Bintang. Jika mengunjungi Kecamatan Bintang berarti sudah setengah perjalanan mengelilingi Danau Lut Tawar. Mengelilingi Danau Lut Tawar membutuhkan waktu sekitar 2 jam tanpa berhenti dengan menggunakan sepeda motor.
Sudah hampir satu jam kami berada di perjalanan, selain aku, Hugo dan Jo di dalam mobil, ada 3 orang lagi yaitu Munawardi, Darwin dan Ihwan. Perjalanan kali ini baik Hugo maupun Jo lebih banyak diam, aku tidak tahu alasannya, aku larut oleh cerita Munawardi dan Ihwan sang pengemudi. Ketika kami sampai di tempat pesta pernikahan, Mukhlis langsung menyambut kami dengan ramah. Kendali menjelaskan tentang Budaya Gayo langsung kuserahkan pada Mukhlis.
Semula Jo ragu untuk datang ke pernikahan tersebut karena ia tidak mengenakan baju pesta, namun aku mengatakan padanya untuk tidak perlu khawatir akan hal tersebut. Ia juga bertanya padaku, “apa yang dilakukan para tamu ketika menghadiri sebuah pesta pernikahan, apakah makan kemudian berbincang-bincang?” Aku mengangguk mengiyakan. Dari film-film Hollywood yang kutonton, jelas pernikahan di kampung seperti ini sangat berbeda dengan yang biasa ia lihat. Walau pada dasarnya inti dari kedatangan tamu tersebut adalah untuk makan dan berbincang-bincang.
Pesta pernikahan di sebuah kampung, menggunakan azas gotong royong diantara kerabat dan tetangga. Bantuan tidak melulu materi, bisa saja peminjaman barang, tenaga untuk memasak dan mencuci piring. Tidak seperti di kota-kota besar yang mulai mengadopsi pesta pernikahan ala western. Calon pengantin dan keluarga terima beres, cukup menyewa event organizer untuk mengkoordinasi kebutuhan pesta pernikahan, apakah itu penyewaan gedung, catering, dan kebutuhan lainnya.
Selain mengambil foto pengantin dan para tamu yang menyumbangkan lagu di panggung hiburan, Jo dan Hugo juga menyambangi tempat memasak serta mencuci piring. Bahkan Hugo mencoba mengaduk masakan yang dimasak menggunakan kayu, sesekali ia menyeka matanya akibat asap yang berasal dari kayu bakar.
Ibu-ibu yang sedang berkumpul di tempat masak tersebut kerap bermulawi ahoi wiw. Mulawi adalah sorakan khas Gayo tanda gembira. Hugo dan Jo mencoba mengikutinya, sontak mengundang gelak tawa kendati mereka saling tidak mengerti bahasa masing-masing. Aku yang ditugaskan untuk menjadi penerjemah, membiarkan mereka mencoba saling berkomunikasi, memperhatikan dari kejauhan.
Sepulang dari tempat pesta pernikahan, kami berencana ke Pante Menye, sebuah kawasan wisata di dekat Danau Lut Tawar yang terletak di Kecamatan Bintang. Di tengah jalan kami mendengar suara canang bertalu-talu. Canang adalah salah satu alat musik tradisional Gayo yang terbuat dari kuningan, bentuknya seperti gong namun berukuran kecil.
Karena penasaran, Hugo segera mendekati asal suara canang tersebut, dari sebuah cafe, ternyata sedang ada latihan atraksi musik tradisional untuk memperingati Hari Kartini esok hari. Atraksi tersebut digawangi oleh ibu-ibu dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW). Jo dan Hugo mencoba memainkan canang, namun kurang berhasil. Akhirnya Rahmawati Djauhar Ali, selaku ketua GOW mengajak mereka menari diiringi alunan suara canang. Mereka benar-benar menikmatinya.
Lelah menari, kami melanjutkan menikmati danau dari Pante Menye. Senja mulai menampakkan dirinya walau masih enggan. Selesai membantu Jo membersihkan tumbuhan engap (rumput kering berwarna hitam yang bentuknya seperti jarum kecil) yang melekat di celananya, aku dan yang lainnya mengambil beberapa foto. Sesekali meminta Munawardi mengambil fotoku bersama Ihwan dalam bentuk siluet, berpose layaknya foto preweeding, Darwin sampai tergelak melihat tingkat kami. Hugo tak mau ketinggalan, ia mengeluarkan tripodnya, dan mengambil foto danau dari beberapa spot.
Kendati Hugo tidak dapat menuntaskan keinginannya untuk berenang di danau, namun ia sangat senang dapat menikmati senja dari Pante Menye serta mengelilingi danau. Kami bersyukur dapat menikmati atraksi langit pada sore itu. Perpaduan warna jingga, kuning, merah muda, birunya langit, barisan gunung yang menjelma berwarna abu-abu, serta iringan awan yang berwarna putih membawa kehangatan tersendiri saat menikmatinya, kendati angin dingin menelusuk hingga ke tulang-tulang. Sungguh, senja di pinggir Danau Lut Tawar tidak kalah indahnya dengan senja di pinggir pantai. (Ria Devitariska)