Oleh : Anifatul Jannah*
Aku sendiri dalam kehampaan, banyak teman tapi tetap saja sepi. Pekerjaanku setiap hari hanya internetan, kadang membaca buku juga menulis. “Ya Tuhan, kenapa hidupku terasa hampa?”, keluhku sendiri. Kehidupanku memang seperti ini, selalu sendiri. Punya sahabat terasa tidak punya, punya keluarga sibuknya luar biasa. Kerja, kerja dan kerja. Di rumah tinggal lelah. Lagi-lagi aku harus melakukan aktifitas di kamar seusai kegiatan kampus yang berjibun. Malam ini terasa aneh, teman facebookku menyarankan teman. Memang aku tidak kenal dia sepenuhnya, hanya teman facebook saja dan pacarnya kakak kelas di kampus. Awalnya aku biasa saja, lama kelamaan menjadi suka dengan pria itu. Entahlah kenapa secepat itu, aku baru mengenalnya melalui akun facebook. Apakah benar cinta itu semudah jari telunjuk menyentuh akun facebook?
Malam ini begitu melelahkan. Seperti biasa, aku refreshing dengan membuka facebook untuk bertegur sapa dengan teman-teman. Entah kenapa aku merindukanmu, sosok pria yang aku kenal di dunia maya. Ya, dia bernama Rendi. Malam ini aku chat dia. Rendi sangat baik, atau mungkin bisa jadi aku berlebihan menyikapinya.. Lagi lagi aku tidak tau. Hingga betapa bodohnya aku langsung mengambil sikap untuk menolak pria yang telah lama mencintaiku. Hmmm!
“Kamu galau ya?”, tanya Haqi padaku melalui chat facebook.
“Gak kok, orang udah punya pacar kok. Ngapain juga galau”, jawabku sekenanya. “Punya pacar? kalau boleh tau siapa dik?”, tanya Haqi lagi penasaran. Dengan entengnya aku menjawab penuh sandiwara
“ Anak ITS”.
”ITS itu apa?”, tanya Haqi lagi yang ternyata tidak tau ITS itu apa
Ya memang Haqi adalah orang desa, masih memiliki nashab priayai. Tapi entah kenapa cintanya masih aku ragukan dan tidak aku izinkan untuk singgah di hatiku. Ya memang ceritanya panjang. Dulu aku sempat menyukai Haqi, tapi Haqi tidak menyukaiku, dan kini Haqi menyukai tapi aku ragu akan perasaanku sendiri. Sehingga aku tak bisa menerima Haqi menyandarkan hatinya.
“ITS itu nama salah satu kampus di Surabaya”, terangku pada Haqi,
“Ow, ya sudah, semoga kamu bahagia dik”, ucap Haqi kecewa.
“Amin, tapi aku mohon padamu, jangan menantiku lagi.
Aku tidak ingin seseorang menanti sesuatu yang tidak jelas adanya. Dan mungkin kisahku dan kisahmu seperti novel yang aku tulis, pada akhirnya aku tidak bisa menerima cintamu.
Maaf!”, terangku panjang dengan nada lemah.
“Ya aku tau, aku sudah membaca novelmu, aku memang diam dan tidak mengungkapkan rasaku secara langsung, karena hanya ingin memastikan, apakah aku benar-benar mencintaimu atau tidak. Dan jika berakhir seperti ini. Ya tidak apa-apa. Kamu tidak salah”, ucap Haqi tampak pasrah.
“Maafkan aku, kamu sudah terlambat, kini hatiku sudah memilih yang lain. Maafkan aku. Jika berjodoh, pasti tidak akan kemana. Maafkan aku”, terangku lagi yang merasa bersalah karena lagi-lagi menyakiti hati pria. Kemudian kita sudahi chat malam itu.
“Ya Allah, Maafkan hamba. Entah kenapa hati hamba hingga kini masih ragu akan cinta Haqi, padahal dia sudah sempurna. Aku menolaknya karena seseorang yang baru aku kenal melalui dunia maya. Akankah dia lebih baik? atau sebaliknya? Entahlah, aku tidak tau. Yang jelas saat ini aku memiliki rasa untuknya”, gumamku dalam batin lalu tidur.
Setelah kejadian itu aku sedikit merasa bersalah, takut karena telah berbohong. Tanpa seizin Rendi aku menjadikannya pacar. Ya, aku memang belum pernah pacaran. Aku tidak perduli jika dikatai ndeso atau lainnya. Bagiku pacar itu hanya status, yang jelas aku suka pada Rendi. Aku lihat akun facebooknya Rendi, ternyata lumayan banyak mantannya. Tiba-tiba dalam benakku terbesit fikiran negatif “jangan-jangan Rendi playboy?”, pikirku.
Tapi anehnya aku tetap suka. Hari hariku menjadi sangat rindu setelah chat sebentar malam itu. Imajinasiku dan sikapku bertambah aneh dengan edit fotonya dengan fotoku, iseng gambar anime dan coret-coret gambar dia dengan aku meski gak mirip.
“Ya Allah, dosakah aku atas rasa ini?”, tanyaku pada langit.
“Aku khawatir jika Rendi tau. Dia akan marah dan ill feel denganku, lalu dia ngak mau berteman lagi denganku. Tapi, inilah aku. Aku tidak suka membohongi perasaanku. Aku memang suka dengannya. Terkesan terlalu cepat rasa ini tumbuh, tapi, ketika aku sudah mencitai satu hati. Maka aku akan berusaha untuk amanah menjaganya. Sebab bagiku cinta itu adalah amanah yang harus dijaga. Aku tidak ingin menjadi insan yang munafik. Aku hanya ingin kamu tau cintaku ini sederhana. Dan aku mencintaimu dengan sederhana. Aku memang tidak cantik, tidak kaya juga memiliki otak pas-pasan. Tapi, aku masih punya keinginan untuk menjadi sesosok perempuan yang lebih baik yang mampu membuat Ibu dan Abiku tersenyum“, celotehku dalam diri.
Hari ini aku ingin berkata padamu “jangan tertawakan cintaku, jangan kau hina diriku. Jika aku memang tak pantas untukmu atau memang teralu cepat rasa ini untukmu, Simpan baik-baik. Anggap saja semua ini mimpi yang indah untukku dan angin yang belalu untukkmu”, celotehku lagi di temani sunyi sembari memandangi cicin yang aku jadikan leotin kalung, yang sederhana ini dengan ukiran nama.
Aku meyakini akan fitrah sebuah cinta dari Allah itu ada. Aku sampaikan senyum untukmu yang memberi warna indah dalam hidupku.
“Jadilah temanku yang baik. Tanpa kata aku berbicara, dengan goresan tinta ini aku bersua dengan fakta. Bahwa hati ini masih tetap mencintaimu dengan nyata. Lancangkah? aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana dalam do’a. Pangeran kota hujan, karenamulah aku merasakan bahagianya menjadi perempuan”. Lagi-lagi aku berceloteh, karena kau tak pernah hadir di sini. (Kurator: LG-007)
—
*Mahasiswi Public Relatios Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis Novel Sepenggal Kisah Tentang Kita dan Ternyata Cinta Itu Indah Penerbit Leutikaprio Yogyakarta 2012.