Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
Pada tanggal 24 Mei 2004, seorang penyair besar yang pernah terlahir di bumi Gayo itu memenuhi janji-NYA. Janji yang tak bisa dielak oleh siapapun. Karena, janji itu sudah dipatri sejak masih didalam rahim sang ibu.
Ya… sewindu lalu. Penyair Gayo yang cukup terkenal itu bernama To’et. Sebuah nama perasin (panggilan akrab dikalangan masyarakat Gayo). Nama ini lebih popular dari nama aslinya yakni Abdul Kader. Mungkin saja, anak-anak Gayo saat ini tidak mengenalnya dengan nama Abdul Kader.
Seorang seniman dan budayawan nasional asal Gayo, LK Ara dalam tulisannya mengungkapkan, Nama To’et melekat padanya karena sebuah syair yang didendangkannya berjudul “Ret Ret Tum”. Dia adalah seorang penyair yang gigih dalam mempertahankan seni Tradisional Gayo yakni Didong yang merupakan seni berdendang mendengarkan syair-syair tentang alam sekitar.
Suaranya yang merdu serta penampilannya yang khas terutama pada gerak bahu, membuat To,et terkenal sejak usia muda dengan gelar “ceh kucak” (ceh kecil). Dalam perkembangan karirnya sebagai seniman didong, To’et bersama teman-temannya mendirikan grup seni didong dengan nama “Siner Pagi”, di desa Gelelungi, Kecamatan Pegasing Aceh Tengah.
Jujur saya akui, saya juga tidak mengenalnya secara dekat. Semasa dikampung halaman dulu, sayapun tidak banyak mencari tahu siapa To’et. Namun, seiring waktu yang berjalan, nama To’et ini begitu akrab diteliga, terlebih begitu banyak koleksi kaset lagu Gayo oleh berbagai seniman/pemusik Gayo yang menyanyikan karya Almarhum To’et ini dalam album mereka yang dirilis dan diarangsemen kembali dengan genre musik saat ini.
Lagu-lagu Gayo menjadi buluh perindu, akan kerinduan pada kampung halaman. Rasanya, sehari saja tak mendengarnya. Ada rasa yang hilang. Dari sekian banyak lagu-lagu Gayo tersebut, diantaranya lagu-lagu karya To’et yang akhir-akhir ini akrab ditelinga saya.
Kecanduan mendengar lagu To’et ini, sehubungan digelarnya peringatan sewindu meninggalnya, penyair yang dijuluki WS Rendra ebagai penyair surga firdaus dan penjaga gerbang terakhir seni tradisi di Gayo. Ia merupakan seniman pembawa perubahan pada seni panggung kesenian Didong.
Kalau mau jujur, memang selayaknya mengenang meninggalnya “pahlawan” sekaliber To’et ini bisa dilakukan setiap tahun oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah. Dan tentunya, ini bukan saja kepada To’et, namun juga kepada para “pahlawan” Gayo yang telah berjasa besar diberbagai bidang.
Agar jangan dianggab mengkultuskan seseorang, menghargai dan menghormati para seniman Gayo yang sudah meninggal ini, kiranya bisa dilakukan dengan membuat “Museum Seni Gayo” atau membuat penghargaan seni yang memakai nama seniman tersebut. Seperti lomba baca puisi nasional yang diberi nama Lomba Baca Puisi Piala HB Jasin dan banyak lagi contoh lainnya.
Pada sewindu kepergian “Orang terhormat” ini juga, kiranya nama To’et sudah dibisa ditambalkan untuk nama sebuah gedung seni, jalan atau apapun yang sesuai. Seperti halnya Gedung Olah Seni bisa diganti menjadi GOS To’et. Penambalan nama ini, bukan untuk gagah-gagahan. Namun, untuk terus mewariskan kepada anak cucu kita, bahwa di Gayo dulu ada penyair namanya To’et.
Jangan sampai pada masa akan datang, 15 atau 20 tahun kedepan, anak cucu kita tak kenal lagi generasi terdahulu, tak kenal lagi siapa “pahlawan seni” asal Gayo. Jangan sampai anak cucu kita tak kenal lagi siapa To’et, siapa AR Moese, siapa Lakiki dan sederetan seniman berjasa lainnya.
Negara saja, memberi penghargaan tinggi buat To’et. Dimana pada pada 11 November 2010 lalu, almarhum To’et yang bernama asli Abdul Kadir dianugerahi tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya (Nara: orang, aryya: terhormat) oleh Pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden nomor 55 TK/2010.
Bintang Sipil ini derajatnya setingkat di bawah Bintang Mahaputera, yang merupakan penghargaan dari pada jasa-jasa yang luar biasa dalam suatu bidang tertentu di luar bidang militer.
To’et termasuk sosok yang memberi perubahan pada pembacaan puisi di Indonesia. Ceh To’et juga banyak dikenal disejumlah daerah di Indonesia, berkat tangan dingin LK Ara yang meperkenalkannya pada masyarakat Indonesia dengan membawanya membaca puisi disejumlah kota besar di Indonesia seperti; Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan lain-lain, termasuk luar negeri.
Bahkan, penyair Indonesia seperti Rendra, Taufiq Ismail, Arifin C. Noor, Teguh Karya, dan Putu Widjaja, menilai karya-karya To’et merupakan sesuatu yang orisional, khas seni To’et yang selalu tampil dengan akar tradisi Gayo yakni didong Gayo.
‘
Namun, dibalik itu semua. Pujian, sanjungan yang kerab diterimanya, To’et hingga hayatnya hidup dalam kesederhaan. Bahkan, ironinya makamnya saat dikunjungi penyair nasional Gol A Gong dan LK Ara serta Khalisuddin, belum lama ini terlihat semak-belukar. Selayaknya, makamnya dirawat oleh Negara di Taman Makam Pahlawan.
Jika tidak kita menghargai jasa-jasa para pembuka majunya kesenian Gayo, siapa lagi. Berharap orang akan selalu memujinya, itu sudah pasti tidak akan terjadi. Bukankan Bung Karno, Presiden RI yang pertama pernah berpesan “Bangsa yang maju adalah bangsa yang selalu mengingat jasa para Pahlawannya”.
Semoga, sewindu kepergian sang Narariya bukan hanya serimoni belaka. Namun ada hikmah yang bisa dipetik. Bahwa Suku Bangsa Gayo, adalah suku yang selalu ingat akan sejarah dan tak pernah lupa, untuk terus berusaha lebih maju dari masa lalu dalam meneruskan, rintisan para sang pahlawan. Semoga…(aman.zaiza[at]yahoo.com)