Pengantar Redaksi, tulisan ini sudah dimuat di Harian Waspada, edisi Januari 2008. Walau tulisan ini sudah lama terbitnya, namun sangat menarik untuk dibaca sebagai khanazah, khususnya bagi urang Gayo.
SENTRAL Aceh (baca Gayo) sepertinya tidak memiliki pejuang yang pantas dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Nama Teuku Umar, T. Nyak Arif, Hasan Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Panglima Malahayati, atau sejumlah pejuang lainnya telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Mereka semua berasal dari Aceh Pesisir.
Tetapi mengapa nama-nama pahlawan dari Dataran Tinggi Gayo, gaungnya redup, hanya dikonsumsi oleh masyarakat lokal? Fakta sejarah telah tercatat dengan tinta emas, karena Gayolah Aceh tetap berkibar. Indonesia diakui kemerdekaan, karena bumi Gayo mampu menggetarkan dunia dengan suara Radio Rimba Rayanya.
Putra Gayo-lah yang melahirkan dan mengibarkan kerajaan Aceh Darussalam, hingga namanya harum di Asia. Meurah Johan, putra asal Linge, sebuah kawasan terpencil di Aceh Tengah inilah yang menyatukan Aceh, hingga nama kerajaan Darussalam, sampai sekarang disebut-sebut.
Ketika terjadi peperangan Aceh dengan Belanda, bumi Gayo merupakan “benteng” strategis untuk mengamankan diri. Pejuang-pejuang Aceh, mengungsikan diri ke kawasan pedalaman hutan ini, untuk melanjutkan perjuangan gerilya melawan imprialis.
Saat Sumatera Utara terdesak dari gempuran Belanda, pejuang-pejuang Gayo bahu membahu memberikan bantuan. Bukan hanya logistik yang dikirim, namun manusia-manusia tangguh dari pinggiran Danau Laut Tawar ini, dengan Bismillah berangkat ke Medan Area.
Mereka siap gugur sebagai kesuma bangsa. Banyak diantara mereka yang tidak dikenal. Namun ada salah seorang pejuang Gayo yang gugur di Medan Area, namanya sampai sekarang harum di masyarakat lokal. Aman Dimot, begitu nama yang tidak asing di telinga rakyat.
Kini pahlawan ini bersemanyam di makam pahlawan Tanah Karo, Sumatera Utara. Pemda Aceh Tengah sedang berjuang memindahkan makam pahlawan ini ke Takengon, tempat dia dibesarkan dan dilahirkan.
Demikian dengan nama Empu Beru, yang menjadi salah seorang menteri di Kerajaan Darussalam, namanya hanya harum di tingkat lokal, dengan sebuah monument kuburan di Kampung Tunyang, Timah Gajah, Bener Meriah.
Masih dalam catatan sejarah, ketika memasuki saat kritis kemerdekaan Bumi Pertiwi, Dataran Tinggi Gayo memegang kunci. Dari bumi subur ini, dunia digegerkan. Suara radio Rimba Raya berkumandang. Indonesia merdeka dan diakui dunia, karena andil Rimba Raya.
Sayang, negeri yang telah melahirkan sebuah kerajaan megah di Asia, negeri yang telah memerdekaan Indonesia ini, nama pejuangnya satupun belum muncul sebagai pahlawan nasional.
“ Kita belum memiliki seorang pejuangpun yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Kita akan upayakan, nama dari Gayo muncul sebagai kesuma bangsa,” sebut Ir. H. Nasaruddin, MM, Bupati Aceh Tengah, ketika diakan pertemuan antara Danrem 011 Lilawangsa dengan mahasiswa dan pemuda di pendopo, Takengon.
Khusus untuk pahlawan Aman Dimot, sebut Nas, sambil menceritakan kronologis sejarah heroiknya pejuang ini, pihak Pemda Aceh Tengah sedang mengurus administrasi dengan Pemerintah Tanah Karo, agar makam pahlawan ini dapat dipindahkan.
Menanggapi sebutan pahlawan nasional, Danrem 011 Lilawangsa Kol Inf. Erwin. S, dalam pertemuan itu menjelaskan, untuk mendapatkan gelar sebutan pahlawan nasional memang berat.
“Banyak kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam menobatkan pahlawan nasional. Dinas sosial berperan penting dalam mengajukan pahlawan nasional, tentunya dengan memenuhi sejumlah persyaratan,” jelas Danrem.
Prosesnya lama dan memerlukan kesabaran, sebut Erwin, yang kebetulan dalam pertemuan itu turut hadir Sukurdi, salah seorang keturunan Aman Dimot sang pahlawan dari Gayo.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Tidak ada bangsa yang megah, maju, bila mengkhianati dan melupakan pahlawannya. “Saya sedih dengan seorang pahlawan nasional dari Aceh, makamnya memprihatinkan,” sebut Erwin.
Makam Cut Nyak Dien, berbeda dengan makam Cut Mutie yang berada di Sumedang, Jawa Barat. Makam Cut Nyakdein di Aceh berada di tengah hutan semak belukar dan tidak pernah diketahui publik.
“Kita harus berjalan kaki sepanjang 5 kilometer dengan kondisi jalan hutan. Menyedihkan sekali, di rumah tua di tengah hutan ini, berserakan buku catatan perjuangan beliau,” sebut Erwin, sembari menambahkan pihaknya merasa bertanggungjawab atas keadaan itu.
Setelah diusulkan kepada Pemerintah Aceh Utara untuk dipugar makam pahlawan ini, dibuat jalan dan dijadikan sebagai kawasan memontum perjuangan Aceh, Pemda Aceh Utara mendukung.
“Dananya mencapai Rp 500 juta, namun pemda Aceh Utara menyebutkan, jangankan lima Ratus, satu milyar untuk pejuang ini mereka akan sediakan dana,” sebut Erwin surprise dan penuh semangat.
Belajar dari pengalaman ini, kurangnya etika anak negeri dalam menghargai sejarah perjuangan para pahlawan, wajar bila Dataran Tinggi Gayo belum memiliki seorangpun pahlawan nasional.
Walau Aceh Tengah dalam sejarah Aceh tidak dapat dipisahkan, karena Gayolah negeri ini berkibar, namun Gayo masih menjadi anak tiri di Aceh. Segi bahasa dan budaya, Aceh memang beda dengan Gayo. Namun perbedaan ini, telah membuktikan bahwa Gayo bahagian dari Aceh, sejarah telah mencatat apa yang telah dilakukan pejuang Gayo untuk Aceh.
Kawasan pedalaman NAD ini, sampai sekarang pembangunannya masih tertinggal dan dimarginalkan. Jangankan untuk membangun, untuk menghargai pahlawan yang sudah berjasa, Gayo belum memiliki seorang pahlawan nasional. Walau sejarah telah mencatatnya, karena Gayolah negeri ini berkibar. (Bahtiar Gayo)