Oleh : Ghazali Abbas Adan *)
Melalui UUPA Pemerintah Pusat sudah memeberi peluang seluas-luasnya untuk Pemerintah dan rakyat Aceh mengatur dirinya. Dengan dana ini dan itu cukup banyak uang dikucur ke Aceh, tapi faktanya kehidupan sebagian besar rakyat Aceh masih morat marit, apoh apah lagee glang lam uroe tarek (gelisah, susah seperti cacing dalam terik matahari), kecuali beberapa gelintir dari pemegang kekuasaan dan/atau yang berada dalam lingkaran dan dekat dengan pusat kekuasaan.
Kita dapat menyaksikan siapa dan kelompok mana selama ini yang menguasai rupa-rupa proyek yang dananya dari anggaran daerah, baik tingkat Provinsi maupun kabubaten. Demikian pula pemungut pajak ini dan pajak itu berkaitan dengan pengerjaan suatu proyek. Yang terakhir sebagaimana diberitakan media massa berkaitan kasus ancaman dan intimidasi terhadap buruh galian kabel di Aceh Bireuen karena persoalan setoran pajak liar yang belum dilunasi pengawas proyek. Saya kira, kita harus jujur dengan kondisi faktual di Aceh dan introspeksi, jangan sedikit-sedikit tulunjuk tudingan diarahkan menyalahkan Pemerintah Pusat.
Demikia pula ihwal syariat Islam di Aceh. Isi UUPA tentang ini amat sangat jelas, bahwa pelaksanaannya secara mutlak di serahkan kepada Pemerintah dan rakyat Aceh. Tetapi faktanya, qanun jinayah dan hukum acara jinayah sampai saat masih belum jelas nasibnya. Sementara rakyat sudah cukup lama dan sudah meukuboh-kuboh ie abah (berbusa air liur) menuntut agar dua qanun tersebut sebagai instrumen penting pelaksanaan, penegakan syariat Islam di Aceh segera diwujudkan.
Dengan fakta ini, saya geli terhadap pernyataan bahwa syariat Islam tidak jalan di Aceh karena ulah Pemerintsh Pusat. Ini jelas orang yang sangat awam dengan isi UUPA, dan tidak objektif menilai kondisi faktual di Aceh yang menyebabkan syariat Islam di Aceh jalan di tempat, bahkan pendapat yang mengatakan semakin mundur.
Di sisi lain syariat Islam juga dengan pongah dikangkangi ketika memburu fulus dan kekuasaan. Faktanya antara lain kerap terjadi ancaman terhadap pimpro berkaitan dengan tender suatu proyek. Demikian pula intimidasi dan teror, bahkan pembunuhan berkaitan dengan pergumulan politik. Perilaku busuk dan brutalitas fasistik demikian jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Apa yang ulontuan kemukakan ini bukan ghibah, fitnah dan bukan meu-upat, tetapi realita dan fakta yang terjadi di Aceh. Dan apabila pengungkapan fakta dan realita ini dianggap ghibah, fitnah atau meu-upat berarti dia bagian dari orang menikmati dan ingin mempermanenkan perilaku busuk dan brutal fasistik itu di tanah Aceh.
Apapapun resikonya, ulontuan tetap mengatakan, bahwa perilaku demikian adalah munkaraat dan sayyi-aat, sehingga menjadi kewajiban setiap muslim yang mendambakan syariat Islam kaffah terlaksana dan tegak di Aceh harus terus berteriak dan melawan. Ini adalah wujud nyata kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Ulontuan ingatkan, bulan Ramadhan adalah bulan menggapai taqwa, dan salah bukti orang yang taqwa adalah dalam segala ruang dan waktu tegas, berani dan transpsran melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sekali lagi ulontuan nyatakan, janganlah kita selalu menyalahkan Pemerintah Pusat berkaitan dengan karut marutnya kondisi Aceh akhir-akhir ini. Tatapi sejatinya kita sarankan Pemerintah Aceh niscya menunjukkan kecerdasan dan profesionalitas dalam menjalankan roda pemerintahan Aceh, benar-benar menunjukkan sosoknya sebagai pemimpin, pengayom dan pelindung seluruh rakyat Aceh, apapun agama, suku dan etnisnya serta di zona Aceh manapun tinggal dan hidup. Jangan hanya menghabiskan energi untuk hal-hal yang tidak bersentuhan lansung dengan kehidupan seluruh rakyat. Juga harapan ulontuan kepada siapapun yang ingin tampil sebagai tokoh, niscaya memperluas wawasan, baik dalam konteks keislaman, keacehan dan wawasan nusantara.
Salah seorang rakyat jelata yang hidup dan tinggal di Aceh *)