Takengen | Lintas Gayo : Dua Wisman Asal Australia dan German tiba di Takengen pada Tanggal 11 April 2011. Keduanya tergabung dalam komunitas atau jejaring social Couchsurfing, sebuah komunitas dunia bagi mereka yang suka berpergian atau traveling.
Duncan berasal dari Australia, mahasiswa yang juga hobi fotografer. Demikian halnya Joey yang asal Hamburg, German. Awalnya saya hanya berkomunikasi dengan Duncan yang menyatakan akan datang ke Takengon.
Namun belakangan, Duncan bertemu Joey di Medan , di Danau Toba. Keduanya sepakat akan ke Takengon, setelah menjambangi Aceh, khususnya Pulau Weh.
“Apakah anda suka kopi”, kata saya kepada kedua pengembara dunia ini. Keduanya menyatakan menyukai kopi.
Saat tiba di Takengon, hari sudah malam. Duncan dan Joey saya suguhi kopi arabika dari Bergendal kopi.
“Saya dengar kopi gayo adalah kopi terbaik dunia”, kata Duncan. “Kamu betul Duncan”, kata saya menimpali Duncan dan menambah sedikit bumbu untuk promosi kopi arabika gayo.
Dua gelas black coffee diseruput Duncan dan Joey. “Oh Man”, kata Duncan setelah menegak beberapa teguk arabika. Kedua bule ini meminum kopi tanpa gula seperti kebanyakan bule lainnya.
Mereka mengatakan bahwa kopi pahit yang diminum akan memunculkan rasa kopi yang sesungguhnya. Jika diminum pakai gula, maka rasa gulalah yang akan diminum. Begitu kata para bule ini. Sehingga bergelas-gelas kopi arabika gayo mengalir di tenggorokan kedua bule ini.
Malam dilalui kedua tamu ini dirumah sederhana dari papan seperti kebanyakan rumah penduduk Takengon yang rata-rata berbentuk empat persegi panjang dengan kasur buluk di pinggiran Takengon dengan blanket tebal.
Saat tiba dirumah, anak-anakku menyalami para bule ini dengan menaruh tangan Duncan dan Joey ke kepala mereka. Saat bersalaman dengan istriku, bule ini juga menaruh tangan istriku di kepala mereka.
Istriku sempat menahan tawa karena mendapat perlakuan seperti itu. Karena salaman seperti itu, jamak dilakukan anak-anak pada orang tua. Anak tertuaku, Shafa tak mampu menahan gelak tawanya melihat salaman tak biasa itu.
Pagi Senin, (12/4) Duncan dan Joey minum kopi didepan rumah. “Wow, tempat yang indah”, kata Duncan sambil melihat kerumunan anak-anak sekolah yang pergi menuju sekolah masing-masing. Di jalan Kampung yang pernah diaspal namun kini sudah babak belur karena dilewati alat berat dan dimakan waktu.
“Waktu untuk berangkat sekolah”, sebut Duncan sambil melambaikan tangannya pada anak-anak.
Saat tiga anakku berangkat sekolah, mereka kusuruh menyalami kedua bule ini. Sona dan Syarifah merengkuh tangan Duncan dan Joey. Anak-anakku menaruh tangan Duncan dan Joey ke kepalanya. Mereka tampak tersenyum dan tersipu. Seperti layaknya anak dan orang tuanya
Sebagai seorang muslim, meski Islam KTP, saya tentu punya misi. Saya ingin menunjukkan pada kedua tamu saya ini bahwa gambaran Islam bukanlah seperti yang mereka tonton di TV atau baca di berita. Islam itu keras dan radikal.
Tapi saya ingin menampilkan bagaimana Islam di pinggiran Takengon apa adanya. Ada Mersah Syafaat di depan rumah. Ada anak-anak SMP dan MTsN yang berjilbab.
Islam itu sebenarnya sangat bersahabat dan tidak memilih –milih suku ras dan golongan , termasuk warna kulit dan agama. Soal keyakinan, itu adalah hak pribadi. Termasuk hak kita memilih jalan menuju surga atau neraka. Saya ingin kedua bule ini melihat, warga di pinggiran Takengon ini menerima mereka apa adanya dengan senyuman yang ikhlas dan tidak dibuat-buat.
Keadaan alam ini dipadu dengan alam agraris yang masih belum diolah dengan intensif. Sehingga hasilnya belum maksimal. Ada kebun kopi , ada sawah, sapi bali dan aktipititas desa lainnya.
Lama kami berdiskusi secara terbuka dengan kedua bule ini. Duncan menyatakan jenuh berada di Kotanya di Australia dimana semua orang sibuk dan tidak peduli satu sama lainnya. “ I Hate my City”, sebut Duncan.
Sementara Joey juga berpikiran sama dengan Duncan. Coba mencari suasana yang berbeda dengan situasi di kotanya. “Saat di Thailand, saya diterima masyarakat setempat awalnya dengan senyum. Tapi dibalik itu, mereka ternyata berharap sesuatu”, ucap Joey.
“Disini saya masih menemukan senyuman dan keikhlasan tanpa embel-embel atau pamrih”, tambah Joey.
Menurut Joey, sebagai generasi terkini di German generasi muda di German pernah merasa risih akibat apa yang pernah dilakukan Hitler dahulu. Termasuk tuduhan serius holocoust.
“Tapi saya yang lahir setelah generasi Hitler tidak merasa bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan Hitler”, kata Joey. Dan menganggap semua itu bukan tanggungjawab generasi German sekarang.
Lepas berdiskusi, kami melihat sekeliling Kampung Paya Serngi . Duncan dan Joey terkagum-kagum melihat sulaman Kerawang Gayo yang dibuat Ida Kerawang. “Wow Amazing”, kata Duncan dan Joey sembari membolak-balikkan motif kerawang gayo yang penuh makna filosofi. Kerawang gayo menyimpan makna dibalik gambar motif yang harus diterjemahkan dengan akal dan budi.
Duncan dan Joey kemudian berangkat ke Ketambe guna melihat eksosistim Gunung Leuser. Ketambe menjadi tempat kunjungan utama bule yang direkomendasikan para wisatawan ini dari mulut ke mulut diantara Wisman.
Aku tentu saja berharap para bule yang datang ke Aceh juga mengunjungi Dataran Tinggi Gayo. Minimal makan dan minum dan berbelanja, menghabiskan sedikit uang mereka untuk pengelola hotel dan penjual makanan serta pembuat kerawang gayo. (Aman Shafa)
Siapa yang tulis laporan ini? Mohon cantumkan nama penulis