Oleh : Ghazali Abbas Adan *)
Jangankan sebagai aktor utama, bahkan figuranpun bukan, kecuali sesuai kapasitas dan kemampuan, seperti halnya rakyat Aceh lainnya sayapun ikut mendorong dan mendukung penandatanganan MoU Helsinki yang merupakan instrumen politik bagi perdamain Aceh setelah sejak tahun 1976 hidup dalam suasana konflik. Dan sepenuhnya mendukung bahwa 15 Agustus ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Aceh dan diperingati setiap tahunnya.
Hanya yang saya tidak sependapat apabila ada klaim-klaiman dan monopoli-monopolian akurasi pemahaman serta peran/jasa sekaitan dengan MoU Helsinki itu. Menurut saya semua rakyat yang cinta damai, sesuai kapasitas, kemampuan dan cara masing-masing memiliki peran niscaya dapat hidup aman dan damai di Aceh, dan faktanya dengan kehendak dan izin Allah ‘Azza wa Jalla MoU Helsinki menjadi sebab musabab penghentian konflik panjang itu.
Inheren dengan kesimpulan ini, adalah anggota parlemen Indonesia yang legal formal reprensentasi rakyat Indonesia membuat Ketatapan MPR-RI yang menjadi landasan konstitusional bagi penghentian konflik bersenjata di Aceh, kecuali ada beberapa gelentir anggota parlemen kala itu yang bersuara sumbang.
Adapun Tap MPR dimaksud adalah Tap MPR-RI No IV/MPR/2OO2, antara lain mengamanahkan;”Meneruskan dialog dan perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan semua komponen masyarkat Aceh untuk mendapatkan kesamaan pandangan bagi penyelesaian konflik secara damai, berkeadilan, bermartabat, dan konstitusional dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perundingan dan dialog itu harus mencapai kesepakatan penghentian permusuhan untuk kemudian dengan sungguh-sungguh dan konsekuen dipatuhi dan dilaksanakan di semua tingkatan dan tempat”.
Ketika darurat militer diberlakukan di Aceh, Tap MPR ini menjadi landasan menentang dan menolaknya, dan dalam waktu yang bersamaan menyatakan dengan tegas dan transparan, bahwa darurat militer di Aceh adalah tindakan liar, karena ia bertentangan dengan Tap MPR tersebut, yang mengamanahkan konflik Aceh itu harus diselesaikan secara damai, berkeadilan dan bermartabat melalui dialog dan perundingan, bukan dengan mesin perang.
Saya masih ingat, ketika Jusuf Kalla Wakil Presiden kala itu begitu sungguh-sungguh mendorong dialog dan perundingan Helsinki antara representasi pemerintah RI dan GAM, segelintir anggota parlemen di Senayan mengeluarkan suara sumbang yang menentang dialog dan perundingan di Helsinki, serta merta Jusuf Kalla menyatakan bahwa dialog dan perundingan itu adalah amanah Ketetapan MPR-RI.
Betapa Tap MPR ini merupakan fakta sejarah keikutsertaan dan peran/jasa rakyat Indonesia mendorong dan mendukung perdamaian Aceh, sekaligus menafikan klaim-klaiman dan monopoli-monopolian peran/jasa sekaitan dengan perdamaian Aceh itu.
Dengan demikian, dari MoU Helsinki itu sejatinya seluruh stake-holder tersebut harus marasakan dan menikmatinya, wabilkhusus seluruh rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, apapun agama, suku dan etnisnya sebagai pihak yang memang berkepentingan dan bersentuhan langsung dengan MoU Helsinki itu, niscaya hidup damai dan sejahtera.
Aceh Damai
Aceh damai itu tidak hanya sekedar tertera di atas kertas dan jargon, tatapi seluruh rakyat harus dapat merasakannya, sekaligus bersama-sama dengan sungguh-sungguh menjaga dan merawat perdamaian itu. Dengan kata lain, tidak boleh terjadi kehidupan damai dinikmati oleh segelintir orang, sementara yang lainnya susah, apoh-apah dan terdlalimi (meu-elanya).
Sekaitan dengan perwujudan damai dan perdamaian di Aceh, saya sependapat dengan ungkapan,”tidak ada perdamaian tanpa keadilan (no peace whitout juctice, laa salaam biduun al-‘adaalah)”. Juga saya tambahkan,”Aceh tidak akan damai apabila interaksi antar personal dan komunitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak ada kebersamaan, kesetaraan dan toleransi, taat asas dan penegakan hukum (law enforcement). Faktanya, fondasi niscaya terwujudnya damai dan perdamaian tersebut masih belum terwujud.
Agar tidak dituding asal bunyi, fitnah, ghibah, meu-upat dan rupa-rupa tudingan lainnya dari anasir anti damai, berikut ini, saya menunjukkan fakta dan realita betapa apa yang saya sebut kebersamaan, kesetaraan dan toleransi, taat asas dan penegakan hukum itu belum terwujud di Aceh. Sekaitan dengan fakta dan realita ini pula saya tidak dapat menerima alasan, bahwa Aceh masih dalam masa transisi, kasuistis, salah prosedur,tidak ada perintah, bukan kebijakan, tanggungjawab oknum dan rupa-rupa alasan ala rezim orde baru (orba) lainnya. Janganlah kita yang pernah memusuhi dan melawan orde baru, tetapi dalam upaya membela dan melanggengkan kebobrokan dan kedlaliman dengan sadar dan sistemik masih mengikuti (muqallid) dan bermakmum pada rezim refresif dlalim itu.
Syahdan, pertama, ihwal persamaan, kesetaraan dan toleransi. Dalam interaksi sosial kemasyarakatan ada pengelompokan berdasarkan “kasta”, brahmana (first class) dan sudra (second class). Yakni ada komunitas “deelat tuanku” yang harus dihormati dan disanjungi. Perilakunya tidak boleh dikritik. Memiliki rupa-rupa keistimewaan dan keutamaan. Dipihak lain ada rakyat jelata, alias “siduek kubu” yang dipaksa harus tunduk dan patuh terhadap titah dan kehendak para “deelat tuanku” itu. Contoh paling terang benderang adalah penyusunan dan penetapan beberapa qanun yang menimbulkan kontrovesi dan penolakan dalam masyarkat, karena dalam proses penyusunannya dengan dalih ini dan itu tidak menunjukkan toleransi mengabaikan aspirasi kasta sudra, “the second class”.
Rasulullah Muhammad saw dalam salah satu hadisnya menegaskan;”Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada kelebihan, keistimewaan dan keutamaan Arab dari ‘ajam (non Arab), yang berkulit putih dari yang hitam, kecuali berdasarkan ketaatan kepada Allah (taqwa)”.
Kedua, taat asas berdasarkan sistem/herarkhi hukum dan perundang-undangan Indonesia, karena de jure dan dan de facto Aceh adalah bagian dari NKRI, sebagaimana juga diamanahkan dalam alinea kedua Mukadimah MoU Helsinki. Terhadap hal ini masih amat sangat jelas, dengan rupa-rupa dalih kaum brahmana mempertontonkan perilaku taat asas sesuai selera dan tebang pilih berdasarkan kalkulasi untung-rugi bagi diri dan kaumnya berkaitan dengan pelaksanaan materi hukum dan perundang-undangan itu. Lihat saja amanah MoU Helsinki dan UUPA ihwal Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat yang sudah sekian lama dituntut dan dibutuhkan berbagai pihak, tetapi sampai saat ini belum jelas nasibnya. Janji tinggal janji, namun faktanya masih meu-apam (tidak jelas). Demikian pula pembentukan sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Bersama Pemyelasaian Klaim. Qanun-qanun yang faktanya tidak diminta dan belum menjadi kebutuhan yang bersentuhah langsung dengan kesejahteraan rakyat justru sim salabim, apit-apit awe, lam seklep siklap sudah jadi, tidak peduli dengan kontroversi dan penolakan massif dalam masyarakat.
Adalah pula, berkaitan dengan perilaku politik dalam pasta demokrasi lima-tahunan, pemilukada dan pemilulegislatif masih ada yang mempertonton watak barbarian, kekerasan dan brutalitas, baik terhadap manusia maupun benda-benda pedukung. Hal ini disebabkan tidak taat asas tentang pesta demokrasi limatahunan itu. Lebih dari itu, tidak memiliki iman yang berdampak bagi tidak ada rasa malu serta ukuran halal- haram dalam upaya mendapat dan mempertahan kekuasaan. Fakta ini merupakan biang keladi bagi rusak dan kacau balaunya kehidupan yang aman dan damai dalam masyarkat, dan ia bertentangan dengan tujuan dan doktrin MoU Helsinki dan UUPA serta peradaban universal.
Ketiga, penegakan hukum dalam kaitannya, bahwa Indonesia negara hukum dan doktrin persamaan di depan hukum (equality before the law, al-musaawaat amam al-hukm). Betapa di tanoh Aceh ini masih terlihat perilaku melawan hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang secara terang-terangan dilakukan, dimana instrumen hukum tidak berdaya menghadapinya, sehingga muncul gerombolan fasis yang berada di atas hukum dan kebal hukum (the untouchable). Cukup banyak kasus tindakan melawan hukum dan HAM di Aceh, baik dalam kategori delik aduan, delik umum dan pelanggaran HAM, tetapi tidak ada proses hukum yang adil dan transparan dan berakhir dengan penjatuhah sanksi hukum bagi si pelanggar hukum dan HAM itu. Diantaranya kasus brutalitas dan kekerasan yang menimpa mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, proses hukumnya terkesan asal-asalan yang hanya menjerat dan menghukum seorang figuran (sibeureukaih gulam). Sinonim dengan kasus pembunuhan sadis yang kualitasnya dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat, dimana korbannya beberapa hamba Allah mustadh’afin etnis Jawa yang sedang mencari nafkah di Aceh dan Saiful “Cagee” di Keude Matang Glumpangdua Bireuen menjelang pilkada lalu. Lebih tragis lagi penegakan hukum terhadap kasus perilaku barbarian yang menimpa seorang khatib yang sedang berkhutbah di atas mimbar salah satu masjid di Keumala Kabupaten Pidie, sampai hari ini tidak jelas prosesnya. Akan halnya kasus pelanggaran HAM berat terakhir, yakni pembunuhan Cek Gu yang jenazahnya bersama mobil diguling ke sungai Tiro-Ie Leubeue Pidie, kita tunggu saja proses penegakan hukum yang transparan dan memenuhi rasa keadilan. Siapapun yang terlibat dalam tindakan pelanggaran HAM berat ini, aktor intelektual dan eksekutornya harus diseret ke depan mahkamah sebagai bukti nyata Indonesia ini negara hukum, dan semua warga negara sama di depan hukum, sekaligus upaya nyata mewujudkan kehidupan yang aman dan damai dalam masyarkat.
Aceh yang Sejahtera
Sejahtera, ialah selamat, tak kurang satu apapun, aman dan sentosa (Badudi-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994, hal 1241). Aceh yang sejahtera adalah rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, apapun agama, suku dan etnisnya niscya dapat merasakan keselamatan, tak kurang satu apapun, aman dan sentosa menempuh hari-hari dalam kehidupannya. Hal ini disamping usaha sendiri dengan tekun dan sungguh-sungguh serta taat asas, baik asas negara maupun syari’at Allah, juga bermodalkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) harus diusahakan oleh para pemimpin yang sudah mendapat mandat dari rakyat (ulul amri/pejabat publik) mengurus segala hal untuk tugas dan tujuan mensejahterakan rakyat. Dalam konteks MoU Helsinki khususnya, yang selama ini menjadi bahan “tadarusan” para elit politik dan pemimpin di Aceh ada “surah” dan “ayat-ayat” yang menjadi platform dah doktrin mensejahterakan rakyat.
Pertama, para kombatan dan korban konflik. Terdapat dalam “surah” Reintegrasi Kedalam Masyarakat. Dalam “ayat-ayat” dibawahnya antara lain disebutkan; “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh (3.2.4). Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut; a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja. b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja. c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja (3.2.5). Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan (3.2.6)”.
Kedua, kesejateraan bagi rakyat keseluruhan (lihat: “surah” Ekonomi, “ayat” 1.3.1 sampai 1.3.8).
Betapa indah isi MoU Helsinki berkaitan dengan konsep mensejahterakan rakyat. Insya Allah semua ini akan menjadi kenyataan apabila Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh secara nyata menunjukkan kemauan politik (political will) dan aksi politik (political action). Terutama yang paling berkewajiban dan berkepentingan adalah Pemerintah Aceh dengan karakter tidak sektarian, melindungi dan mengayomi seluruh rakyat, plus anggoga DPR-RI dan DPD-RI mewakili Aceh di Senayan serta DPRA. Sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya sejatinya menunjukkan senergisitas, bersama-sama, sungguh-sungguh dan pro-aktif terus menerus mendorong Pemerihtah Pusat niscaya membuat instrumet hukum yang diperlukan sebagai asas legalitas implementasi MoU Helsinki dan UUPA.
Menurut saya, tidak ada gunanya “dikandang” bertalu-talu dan sahut menyahut berteriak menumpah-ruah kesalahan pada Pemerintah Pusat sekaitan dengan urgenya instrumen hukum sebagai turunan MoU Helsinki dan UUPA. Tetapi semestinya melalui wakil-wakil Aceh di Senayan (DPR dan DPD-RI) yang harus menunjukkan kepiawaian retorika dan argumentasi sebagai wujud nyata upaya memperjuangkan semua aspirasi rakyat Aceh yang diwakilinya. Hal ini juga relevan dan sekaligus merespons semangat, dorongan dan keinginan cerdas Mendagri melalui statemetnnya; ” Jangan lagi (masalah bendera Aceh) yang ditonjol-tonjolkan. Penting betul bendera itu. Menurut saya lebih penting kesejahteraan. Akibat pembahasan politik soal bendera yang berkepanjangan, program kesejahteraan rakyat Aceh terabaikan. Ada rakyat Aceh yang memperhatikan persoalan bendera Aceh, namun lebih banyak yang menginginkan kesejahteraan” (Serambi, 13/08). Wallaahu ‘alamu bash-shawaab.
Ghazali Abbas Adan
Anggota MPR/DPR-RI 1992-2004, Anggota Majlis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh.