Catatan : Muhammad Syukri
“Manakala Sang Khalik berkehendak, hasil tabungan yang dikumpulkan selama dua puluh tahun bisa hilang dalam tempo sepuluh detik.” Begitulah kalimat filosofis yang tiba-tiba terungkap dari mulut Karimansyah (51), seorang pejabat penting di jajaran Pemkab Aceh Tengah ketika menyaksikan dua unit rumah tokonya (ruko) yang berganti menjadi puing. “Masih beruntung, hanya kehilangan dua pintu ruko, sedangkan orang lain sampai kehilangan anggota keluarganya,” sebut Karimansyah, Kamis (1/8/2013) di depan bekas rukonya, kawasan Lot Kala Kebayakan, Aceh Tengah.
Karimansyah terlihat begitu tabah menyaksikan propertinya yang hancur diterjang gempa. Memang, gempa dahsyat dengan kekuatan 6,2 SR tanggal 2 Juli 2013 pukul 14:37:03 WIB itu telah menghancurkan sepertiga wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Kerusakan yang ditimbulkan gempa berdurasi 10 detik itu sungguh diluar perhitungan banyak pihak. Pasalnya, warga Aceh Tengah sudah terbiasa diguncang gempa, namun gempa yang terjadi awal Juli itu sungguh berbeda dengan gempa-gempa sebelumnya. Hentakannya bukan diayun kekiri dan kekanan, tetapi diangkat keatas dan kebawah. Gempa dangkal tersebut memiliki daya rusak yang cukup tinggi sehingga 13 ribu lebih bangunan gedung dan sarana publik tidak bisa digunakan lagi.
Dari 13 ribu lebih bangunan yang rusak, salah satunya milik Karimansyah, Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemkab Aceh Tengah. Keperihan dan kepedihan terpancar dari wajahnya saat menyaksikan ruko yang belum setahun ditempati itu harus berakhir sebagai puing. Keperihan itu harus dikuburnya dalam-dalam ketika mengambil alih kendali evakuasi dan penyelamatan korban gempa. Disaat bersamaan, anak isterinya sedang berada dalam ketakutan (trauma) menghadapi gempa susulan yang datang silih berganti. “Itu resiko sumpah jabatan yang harus saya jalani. Keluarga memahaminya, dan mereka sudah mengungsi ke bangunan kayu untuk menghindari runtuhnya bangunan beton,” ungkapnya.
Heroiknya, alumni APDN Banda Aceh itu mampu menutupi keresahannya. Orang-orang yang sedang panik di posko penanggulangan bencana tidak pernah tahu jika mantan Camat Kebayakan itu juga salah seorang korban bencana gempa. Dia begitu tenang mengatur pengiriman bantuan ke lokasi bencana. Dia juga begitu telaten melakukan perintah proses evakuasi korban di Kecamatan Ketol dan Kute Panang. Kompasianer yang sejak sore itu mendampingi Pak Kariman (begitu dia dipanggil) di posko penanggulangan bencana, sedikitpun tidak menduga jika lelaki berputra tiga itu sedang menyimpan derita. Dia hanya menyatakan, keluarganya selamat dan sudah diungsikan ke bangunan kayu darurat yang terletak dibelakang rumahnya.
Merasa tidak ada masalah, kami terus bahu membahu mengendalikan pengiriman bantuan dan tenda ke Kecamatan Ketol dan Kute Panang. Sampai diperoleh informasi terbaru bahwa 90% bangunan di Kecamatan Ketol hancur, setengah dari Desa Serempah ambles serta sejumlah anak tertimbun reruntuhan masjid. Tanpa pikir panjang, Karimansyah mengumpulkan berbagai kebutuhan untuk membuka posko di Rejewali, ibukota Kecamatan Ketol. Ditengah kumandang azan Isya, berangkatlah kami menembus kegelapan malam menuju ke Rejewali yang jaraknya dari Takengon (ibukota kabupaten) sekitar 30 Km.
Menjelang memasuki perbatasan Kecamatan Ketol, tepatnya di Desa Kute Panang, tiba-tiba sebuah guncangan dahsyat mengejutkan kami. Jeritan histeris warga Desa Kute Panang menyadarkan kami bahwa gempa susulan yang sama kuatnya dengan gempa pertama sedang berlangsung. Mobil yang kami tumpangi sampai terpental mendekati bibir jurang. Batu dan tanah berjatuhan menghantam mobil kami. Dari kaca mobil terlihat pohon kopi menari-nari seperti ditiup angin putting beliung. Rasa takut mulai menjalari syaraf takut kami, sebaliknya Karimansyah masih terlihat tenang. Dia mencoba menelepon keluarganya, tetapi tidak ada sinyal. Dia memerintahkan sopir untuk melanjutkan perjalanan. Sayang, badan jalan menuju ke arah Kecamatan Ketol sudah tertimbun longsor. Sopir memutar mobil mencari jalur lain via Simpang Balik, Ternyata jalur jalan negara itupun sudah tertimbun longsor dan tiang listrik yang roboh. Akhirnya kami terjebak ditengah gelapnya malam, tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa listrik, tanpa bantuan.
Ditengah suasana mencekam itu, dia mencoba menghubungi pihak PLN setempat terkait dengan pemindahan tiang listrik yang jatuh ke badan jalan. Sinyal telepon ada tetapi sulit terhubung. Kemudian dikirimlah SMS yang berisi informasi tentang tiang listrik yang menghalangi jalan negara Bireuen-Takengon. Sementara itu pengguna jalan mulai tak sabar karena rasa takut terhadap gempa susulan. Tanpa aba-aba, mereka langsung menghancurkan tiang listrik itu dengan menggunakan martil 5 kg yang dipinjam dari warga Kampung Bukit Sama. Satu jam menunggu, sekitar pukul 22.15 WIB tiang listrik beton itupun hancur. Arus kenderaan ke arah Takengon kembali lancar, dan kami pun kembali ke posko kabupaten untuk melanjutkan koordinasi penanggulangan bencana.
Lima belas hari setelah gempa dahsyat itu berlalu, tiba-tiba Karimansyah mencari alat berat excavator. Kompasianer sampai terheran-heran, “untuk apa?” tanya kompasianer. “Untuk merobohkan ruko saya,” kata Karimansyah, singkat. Kaget bercampur bingung, kenapa tiba-tiba ingin merobohkan bangunan? Masalahnya, dia tidak pernah bercerita jika ruko yang ditempatinya juga mengalami kerusakan. Lelaki bertubuh langsing itu benar-benar pribadi yang unik. Ditengah kesibukan korban mempertanyakan bantuan karena rumahnya rusak, Karimansyah lebih banyak diam, gesturnya seperti tidak bermasalah. Malah, tanpa kenal lelah, dia memimpin upaya penyaluran bantuan dengan tenang.
Hari itulah kompasianer mengetahui persis bahwa struktur bangunan rukonya mengalami kerusakan yang cukup parah. Dia sendiri masih berani keluar masuk ruko itu, tetapi keluarganya tetap berada di lokasi pengungsian. Khawatir terjadi sesuatu terhadap suaminya jika datang gempa susulan maka mereka merelakan roko itu dirobohkan. Kata keluarganya, seperti dituturkan kembali oleh Karimansyah, nyawa lebih berharga daripada ruko. Kehilangan nyawa tidak bisa diganti, kalau ruko yang hilang masih bisa dibangun lagi.
Kompasianer terkesima mendengar filosofi yang disampaikannya. “Apakah sudah tersedia dana untuk membangun ruko yang baru?” tanya kompasianer. Karimansyah menggeleng, “pinjaman bank untuk membangun dua ruko itu saja belum lunas,” ungkapnya.
Gempa ini menjadi titik balik bagi Karimansyah. Gedung dan harta benda yang kita miliki hanyalah titipan, kapan saja bisa diambil kembali oleh Sang Khalik. Semua yang kita miliki tidak ada yang abadi. Sebagai orang yang sedang dicoba tentu harus sabar, tidak boleh panik. Dibalik cobaan itu, dia juga yakin ada hikmah tersembunyi yang belum diketahui. Hikmah yang mulai kelihatan adalah hasil kajian para ahli tentang potensi gempa di Aceh Tengah. Ternyata, tambah Karimansyah, tempat tinggal kita berada diatas patahan yang memiliki potensi kegempaan cukup tinggi. Kajian para ahli dari BPPT menyadarkan semua pihak tentang perlunya menjaga kualitas bangunan gedung yang tahan gempa.
Beruntung, tambah Karimansyah, dua hari lalu pihak Balitbang Kementerian PU telah melatih insinyur-insinyur dari daerah itu tentang model bangunan tahan gempa. Kedua hal itu merupakan hikmahnya yang nyata. Hikmah itu menyadarkan kita untuk tidak mendirikan bangunan disembarang tempat, tetapi harus mempelajari daya dukung tanah. Jangan mendirikan gedung diatas tebing yang material tanahnya terdiri dari pasir lepas hasil erupsi gunung berapi. Pilihlah lahan yang tepat. Paling penting lagi, konstruksi bangunan harus mengacu kepada Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBBI-1976), dan gunakan material bagunan terpilih. “Jangan cari murah, dan hindari hal-hal yang tidak standar,” pinta mantan Ketua Masjid Al Abrar Kebayakan tersebut.
Harapan itu perlu disampaikannya agar warga tidak mengalami derita seperti yang dihadapinya. Selain standar tadi, Karimansyah melihat bahwa mengasuransikan aset dan manusia menjadi sesuatu yang cukup penting terkait kondisi geologi Kabupaten Aceh Tengah. “Lebih baik rugi sedikit untuk membayar asuransi dari pada rugi besar setelah aset kita hancur,” jelasnya.
Sebab, tambah Asisten Pemerintahan dan Kesra itu, gempa susulan kapan saja bisa terjadi, bisa esok, lusa, sebulan, setahun atau beberapa tahun mendatang. Apalagi jika disimak penjelasan Dr Agustan dari BPPT (Antara, 10 Juli 2013) bahwa “gempa yang terjadi di Gayo tidak terletak pada patahan utama, melainkan pada cabang-cabangnya.”
Sulit membayangkan nasib warga dan bangunan gedung apabila gempa berikutnya terjadi pada patahan utama. Memang kita tidak bisa menghindari takdir, tetapi ikhtiar atau usaha adalah wajib. Sekali lagi, Karimansyah tidak berharap jika warga yang lain mengalami kesulitan seperti yang dihadapinya saat ini. Ingin membangun kembali rukonya, dana segar tidak tersedia. Apabila tidak dibangun, lalu keluarganya harus bertempat tinggal dimana? Selamanya didalam tenda, tentu kurang nyaman. Ujung-ujungnya harus ikat pinggang agar bisa menabung, entah sampai kapan dana itu bisa terkumpul. Ini juga merupakan hikmah dari gempa Aceh. Hikmah itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang meyakininya. (Sumber : Kompasiana)