Tekengen | Lintas Gayo – Memasuki bulan ketiga amukan gempa Gayo, janji yang disampaikan pemerintah belum juga terwujud. Para korban menunggu bantuan yang dijanjikan untuk memperbaiki tatanan hidupnya. Namun terlalu berharap kepada pemerintah, bukanlah sikap yang baik dan bijak. Apalagi sebagai urang Gayo yang sejak nenek moyangnya memiliki budaya dan falsafah yang mulia.
“Kalau pemerintah mampu mewujudkan janjinya, membantu para korban, kita bersyukur atas bantuan itu. Karena data para korban yang akan mendapatkan bantuan sudah ada ditangan pemerintah. Namun para korban jangan berpangku tangan hanya berharap bantuan pemerintah,” Sebut Bahtiar Gayo, salah seorang korban gempa, menjawab lintas gayo, Sabtu (5/10/2013) di kafe Batas Kota Paya Tumpi.
Orang Gayo itu memiliki budaya yang tinggi. Ratip musara anguk, nyawa musara peluk. Alang tolong berat berbantu. Ketika ada musibah besar seperti ini, kiranya warisan falsafah muyang datu, saat sekarang ini ditunjukkan, sebut Bahtiar Gayo.
“Orang Gayo itu harus mampu bangkit. Mampu berkarya walau serba minim. Saat sekarang ini persoalan gempa gaungnya melemah dan sepertinya kurang mendapat perhatian. Bagaimana nasib para korban gempa?,” tanya lelaki yang juga korban gempa walau kerusakan ringan, karena rumahnya terbuat dari papan.
Pendahulu kita, sebut Bahtiar Gayo, tanpa modal mampu “menebuk” wan huten rime ( Membuka hutan rimba untuk kebun). Jauh dari manusia, jauh dari sarana dan prasarana, namun mereka mampu mengolah hutan menjadi kebun dan mendidik generasi penerusnya yang cerdas dan berkualiatas.
Menurut insan Pers di Gayo ini, yang sering meliput dan melihat korban gempa, terbukti dari hutan belantara inilah Gayo bangkit. Hutan di bumi “ keramat kerajaan Linge ini” telah melahirkan generasi tangguh di Gayo.
Saat munebuk, tidak ada bantuan pemerintah, namun urang Gayo mampu. Ada satu falsafah di Gayo, “ bierpe hine morepte legih, ku jema si lebih gere ara mulangaken pumu ( Biarpun hidup miskin dan susah, tidak mau menjadi peminta-minta).
Bahtiar melontarkan pertanyaan yang menyentuh. Mengapa pendahulu kita mampu menunjukkan identitas. Mereka tahan uji dan sanggup bangkit? Mengapa kita tidak menunjukkan, bahwa orang Gayo generasi sekarang juga tidak cenggeng?
Musibah gempa mengajak kita untuk merenung apa yang sebenarnya ditunjukkan Allah. Apakah Allah menunjukkan kekuatannya? Apakah Allah sedang menguji rakyat Gayo untuk sebuah kebangkitan, ataukah Allah sedang memberikan hukuman kepada kita karena melakukan dosa dan lupa diri?
“Tanyakan pada nurani kita, karena kitalah yang mampu menjawabnya. Demikian dengan adanya janji dan bantuan pemerintah, jangan terlalu berharap. Kita harus memulai apa yang bisa kita lakukan dengan kemampuan yang ada,” sebutnya.
“ Bila nanti setelah diperbaiki, kemudian turun bantuan dari Pemerintah, Alhamdulillah. Berarti nge mulapang pora. Namun bila bantuan itu tidak juga sampai, rakyat Gayo sudah menunjukkan mental pejuangnya pendahulunya. Dia mampu bangkit,” sebut Bahtiar Gayo.
Hasil investgasi Lintas gayo di Lapangan, sudah terbukti, mayoritas korban gempa sudah mulai memperbaiki rumah, kebun, serta sarana lainnya yang rusak, sebatas kemampuan meraka. Apa yang bisa dimanfaatkan dari puing kehancuran itu, sudah dirubah menjadi awal kehidupan baru. Semangat dan petuah muyang datu sudah ditunjukkan para korban gempa.
Urang Gayo memiliki budaya, tidak ada istilah malas-malasan. Tuhan memberikan alam Gayo untuk bangkit. Alam yang menjanjikan kemakmuran dimana tidak ada dimuka bumi ini alam yang sama dengan Gayo. Di Gayo semuanya tersedia, tinggal kemampuan manusia mengolahnya.
“ Bagi saudara kita korban gempa, yang benar-benar tidak memiliki apa-apa. Semuanya hancur , di sinilah petuah pendahulu kita mengamalkan falsafah, “ Alat tulung berat berbantu”. Falsafah itu harus diamalkan dan ditunjukkan bahwa Gayo itu bersaudara. Kepada seluruh urang Gayo di manapun berada, lihatlah saudara mereka yang sekarang sedang tertimpa musibah,” sebut Bahtiar.
“Gere mehne suderete si kona musibah ini, lepas uwet dan munetah diri. Oya perlu kite morom, bersibantun. Kite torohen setia mate, gemasih papa. Kune carae pakat kite morom. Gayo sebagai penduduk tertua di Aceh memiliki budaya, memiliki nilai persaudaraan yang tinggi,” sebutnya. (Fazri Gayo)