Oleh: Vera Hastuti, M. Pd
Malam kian larut, jam berdendang sebanyak dua kali. Petanda saat ini tepat pukul dua malam. Udara dingin menembus pori-pori tubuhku. Tak tahu mengapa, malam ini aku sulit untuk memejamkan mata. Padahal tubuhku membutuhkan istirahat banyak setelah seharian beraktifitas. Aku menatap ruang tengah. Nampak lampu tengah menyala dengan terangnya. “ah, siapakan jam segini belum tidur?”pikirku.
Aku melihat ibu sedang menghafal sesuatu berulang-ulang. Mulutnya berkomat-kamit. Matanya tertutup menandakan begitu sungguhnya ibu menghayati hafalanya. Ditangan ibu, tampak olehku buku saku kecil panduan haji yang diberikan makcik Romlah, dua bulan lalu, saat kami mengunjungi makcik dan pakcik yang baru pulang menjalankan ibadah haji.
Sangat jelas diingatanku, ada bulir bening air mata disudut kelopak tua mata ibu saat menerima buku kecil panduan haji dari adik bungsunya itu. Buku yang berisi tentang arahan perjalanan selama berhaji beserta doa-doa apa yang dibacakan. Ibu menciumi dan memeluk buku itu, menandakan bahagia rasa hati yang tak terkira. “kakak pelajari saja dulu doa-doa rukun hajinya, InsyaAllah jika memang sudah sampai panggilanNya, dari manapun asal rejekinya pastilah kakak juga akan sampai disana”ucap makcik Romlah kala itu. Semenjak itulah semangat ibu seakan terpupuk untuk bisa berangkat menunaikan ibadah haji. Bahkan aku pernah mendapati ibu tidur sambil memeluk buku kecil itu.
Cut Siti Nakiyah namanya. Gadis berdarah Aceh yang kukenal saat kami sama -sama menimba ilmu di pesantren Al-Azhar, Bireun. Siti Nakiyah adalah gadis yang pintar. Kami sering bertemu lantaran kami sama-sama murid yang berprestasi di pesantren ini. Sehingga, dibeberapa pertandingan cerdas cermat antar kabupaten ataupun debat siswa, Siti Nakiah sering disandingkan denganku.
Sejak itulah perasaan cinta telah tumbuh diantara kami, akarnya perlahan tapi pasti telah tertanam kuat dihati kami masing-masing. Tutur kata yang sopan, tingkah laku yang santun membuatnya mendapat nilai lebih di hatiku. Hingga akhirnya, setelah kami sama-sama telah menamatkan pendidikan di pesantren Al-Azhar. Siti memilih melanjutkan pendidikan kedokteran di Jogja, sedangkan aku melanjutka pendidikan di Ibu kota provinsi. Dan semenjak itu kami tak pernah lagi berkomunikasi. Hingga disuatu hari, Takdir mempertemukan aku dan Siti di suatu acara seminar kesehatan. Perasaan cinta yang telah lama ada dihati kini muncul kembali kepermukaan dengan sendirinya.
Cut Siti Nakiyah adalah seorang putri dari keluarga terhormat. Ayahnya keturunan bangsawan, begitu juga ibunya. Orang tua Siti kurang menyetujui hubungan kami dikarenakan aku bukanlah keturunan ‘Teuku’. Sehingga, jikalau takdir menjodohkan kami. Sudah pastilah gelar ‘Cut’ atau ‘Teuku’ tidak bisa terwakilkan kepada cucu-cucu mereka.
Namun, keteguhan Siti untuk menjadi pendampingku membuat luluh hati kedua orang tuanya. Mereka, mengizinkan aku untuk menikahi putrinya dengan persyaratan memenuhi beberapa permintaan orang tuanya . Jumlah mahar yang telah ditentukan. Syarat ini sengaja dibuat oleh orang tua Siti, Untuk melihat seberapa besar perjuanganku untuk mempersunting Siti, anak semata wayang mereka.
“Bang, sanggupkah nantinya abang memenuhi persyaratan itu?”isak Siti di suatu sore.
“Taukah dinda? jika doa bisa meubah takdir? Nabi Muhammad pernah bersabda: Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa. Jadi selama kita tetap berusaha dan berdoa , InsyaAllah pasti akan dimudahkan” kataku meyakinkannya saat itu.
****
Hasil jerih payah ku menabung untuk mengumpulkan mahar guna mempersunting Siti kini telah hampir mencukupi. Jumlah nominal yang hampir mendekati biaya untuk memberangkatkan ibu ke tanah suci. Mengingat keinginan ibu untuk dapat segera menunaikan ibadah haji di umur yang telah mulai senja membuat hatiku terpanggil untuk segera mendaftarkan ibu sebagai bukti baktiku sebagai seorang anak. Tapi, mengingat Cut Siti Nakiah sang pujaan hati yang dengan tulus menantiku dan memperjuangku di hadapan orang tuanya sungguh sangat membuatku kian ragu menetapkan pikiran.
Malam ini, tepat di sepertiga malam kubasuh mukaku untuk berwudhu, tak ada tempat lain untukku mengadu selain kepadaNya. Dengan berharap petunjuk yang baik atas semua pilihan kulakukan shalat istikharah dengan khidmat .
ya Allah…
Benang ini begitu kusut dalam penglihatanku…
Sampai-sampai tak tahu dimana hujungnya…
hendak ku lerai, tapi gulungan bertambah tebal…
hendak ku putus, aku takut memendekkannya…
bilakah ada yg bisa kulakukan di antara ke 2 nya?
Setelah shalat selesai aku tidur sejenak berharap Tuhan akan menunjukan pilihan yang terbaik antara kedua pilihan berat ini, mendaftarkan ibu berangkat haji ataukah melamar pujaan hati Cut Siti Nakiyah.
*Alumni pasca sarjana Unsyiah tahun 2012