Oleh: Ghazali Abbas Adan
Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan top leader jabatan publik di tingkat Provinsi dalam struktur pemerintahan eksekutif di Indonesia. Dan ia merupakan jabatan politik, karena didapatkan melalui pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dengan rangkaian mata rantai tahapannya. Termasuk tahapan kampanye sebagai kesempatan menyampaikan janji dan program pembangunan dalam berbagai aspeknya untuk mensejahterakan rakyat ketika terpilih. Karenanya adalah konsekuensi yang harus disadari dan diterima setiap top leader pejabat publik ini niscaya mewujudkannya.
Tentu ia tidak cuma-cuma, tetapi berkaitan dengan fungsinya itu seluruh keperluannya dengan rupa-rupa nama dan jenis diambil dari uang publik/rakyat. Dalam waktu yang bersamaan publik menilai dan mengevaluasi kenerjanya itu. Sudah pasti dari penilaian dan evaluasi melahirkan beragam kesimpulan dan persepsi publik, berupa apresiasi dan kritik, dan dengan lapang dada harus diterima sang top leader pejabat publik itu. Jangan ketika mendapat apresiasi hatinya berbunga-bunga dan sumringah (rumeh teuseuh’eh-seuh’eh), tetapi giliran dikritik serta merta mengamuk, marah dan murka (su-uem sireutouh, apoh-apah), menuding sebagai ureueng bang di lua seumeujid (azan di luar masjid), jamok di lua keuleumhu (nyamuk di luar kelambu), dan/atau langsung mencari “kambing hitam”, telunjuknya di arahkan ke kiri, ke kanan dan ke bawah, salah si ini dan si itu. Baginya the leader can do no wrong, (pemimpin (abu/tgk/bapak) tidak pernah salah dan tidak boleh disalahkan).
Tulisan ini merupakan deskripsi secara khusus penilaian serta evaluasi terhadap sosok dan/atau kinerja Jokowi-Ahok yang dilantik pada 15 Oktober 2012 sebagai sebagai top leadar pejabat publik, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta serta Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) untuk jabatan yang sama di Aceh yang dilantik pada 25 Juni 2012 . Evaluasi dan penilaian dimaksud berkaitan dengan program/janji-janji politik yang dikesankan pro-rakyat ketika berkampanye dalam tahapan pemilukada masing-masing. Penilaian dan evaluasi ini berdasarkan fakta empirik dan/atau hasil dari pantauan melalui laporan berita media massa cetak, elektronik dan online.
Jokowi-Ahok
Setelah diumumkan pemenang dan secara resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok mendapat apresiasi dari berbagai pihak disertai harapan niscaya program/janji populis (pro-rakyat) nya dapat diwujudkan. Bahkan kandidat incombent Fauzi Bowo yang dikalahkan, dengan jiwa besar juga memberi apresiasi dan mengucapkan tahniah kepada tokoh pendatang dari Solo dan Bangka Belitung itu. Jokowi diundang ke Gedung Balaikota, dipertemu dan diperkenalkan dengan para pejabat Pemerintah DKI Jakarta. Memang sangat wajar Jokowi-Ahok menerima penghormatan demikian, karena melalui persaingan yang ketat dengan berbagai dinamikanya dalam pemilukada DKI Jakarta mendapat kemenangan dengan cara-cara terhormat.
Betapa tidak, dalam proses pilkada DKI Jakarta tersebut, sejauh pantauan melalui media massa tidak dilaporkan adanya perilaku “5-P” oleh kandidat, tim sukses, loyalis dan pendukungnya. Yakni, pertama “PEU-YO”, menakut-nakuti, melakukan teror dan intimidasi terhadap sesama kampetitor, pendukung dan rakyat pemilih, juga terhadap saksi sehingga tidak merasa takut menjadi saksi di TPS.Tidak ada ungkapan-ungkapan seram dan menakutkan dalam masyarakat, seperti kalau begitu dan tidak begini akan dimasukkan dalam karung goni (pasoe lam guni), potong leher (koh takue), bakar rumah (toet rumoh), serta berbagai ungkapan primitif dan traumatik lainnya.
Kedua, “PEUREULOH”, yakni pengrusakan baliho, spanduk, kendaraan bermotor, rumah, kantor dan sebagainya. Ketiga, “PEUNGEUT”, ialah melakukan manipulasi suara di TPS, baik saat perhitungan, maupun pencoblosan. Demikian pula mencoblos kertas suara lebih karena pemilih sah tidak mendapat undangan dan/atau tidak datang ke TPS. Untuk hal “peungeut” ini akan lebih leluasa apabila ada saksi kempetitor tidak berani hadir. Sementara kendati ada saksi di TPS, bahkah di tingkat kecamatan tidak akan berani berkutik karena berada di bawah ancaman, teror dan intimidasi.
Keempat, “PENG”, yakni dengan rupa-rupa dalih dan modus operandi menebar fulus (uang) dan lain-lain niscaya mendapat dukungan rakyat. Kelima, “POH-MUPOH”, yakni niscaya mendapat peluang dan memuluskan menjadi kandidat serta memperoleh kemenangan, langsung atau tidak langsung, menganiaya, menumpah darah atau membunuh manusia.
Kemenangan tanpa “5-P” adalah kemenangan yang beradab, mulia, terhormat dan bermartabat. Pemenangnya pantas dimuliakan, diberi tahniah, diapresiasi dan dihormati.
Tidaklah berlebihan dan mengada-ada apabila saya katakan demikianlah kemenangan yang didapatkan Jokowi-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Bagaimana dengan program dan janji politik populis (pro-rakyat) nya kini sebagai top leader di DKI Jakarta ?
Berdasarkan sumber media massa online (DETIKCOM dan Republika Online (ROL), 13/10/2013), saya deskripsikan beberapa macam saja janji politik pro-rakyat yang telah dan terus diupayakan untuk diwujudkan Jokowi-Ahok, ialah:
1. Meluncurkan Program KJP dan KJS
Sesuai dengan janji kampanyenya, Jokowi langsung meluncurkan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk seluruh warga Jakarta. Kedua kartu sakti tersebut dilaunching sebulan setelah dia resmi dilantik.
Dengan menggunakan KJP, warga ekonomi rendah tidak hanya mendapat fasilitas gratis biaya sekolah saja. Namun juga mendapat uang operasional yang meliputi ongkos pulang pergi sekolah, sepatu dan seragam, serta buku sekolah.
Sementara dengan KJS, warga Jakrta yang tidak mampu dapat menikmati fasilitas kesehatan gratis di kelas tiga.
2. Kampung Deret
Penataan kawasan kumuh menjadi salah satu sasaran kerja utama Jokowi-Ahok. Di masa kampanye menjanjikan untuk membangun kampung deret. Di masa jabatannya janji itu diwujudkan. Kawasan kumuh menjadi tertata dan bersih. Sejak Jokowi-Ahok sebagai top leader Jakarta, “menyulap” kawasan kumuh menjadi kampung deret. Rumah-rumah di kampung deret ini diberikan secara gratis kepada warga sesuai dengan tapak rumah mereka yang telah habis akibat kebakaran yang terjadi pada Maret lalu.
3. Rusun
Jokowi-Ahok tidak asal menggusur tempat tinggal warga jika melakukan penertiban. Jokowi menyebut aksinya bukan menggusur, tetapi menggeser.
Tempat warga digesera adalah ke rumah susun (rusun). Jokowi-Ahok terus mempersiapkan rusun-rusun untuk dihuni warga yang akan digeser. Untuk menghindari sepi penghuni, di rusun itu sudah diisi kulkas dan televisi untuk menarik minat warga agar digeser secara sukarela.
4. Relokasi PKL
Salah satu hal yang membuat Jokowi tenar adalah keberhasilannya merelokasi pedagang kaki lima (PKL) yang ada di kota Solo. Relokasi pula yang dijanjikannya kepada warga DKI dalam masa kampanye. Setelah menjabat, Jokowi mencoba mewujudkan janjinya itu. PKL-PKL yang tak berjualan pada tempatnya direlokasi. Salah satu yang paling mencolok adalah relokasi PKL di pasar Tanah Abang, sehingga arus lalu lintas menjadi lebih lancar. Selain merelokasi PKL yang berada di jalanan, pemprov juga menyediakan ruang bagi mereka untuk mengaktualisasi diri melalui Kaki Lima Night Market yang digelar tiap akhir pekan.
5. Birokrasi Bersih dan Profesional
Perbaikan birokrasi DKI Jakarta juga sangat diutamakan. Yaitu pelayanan publik yang ada di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan. Perbaikan birokrasi merupakan salah satu janji Jokowi-Ahok, niscaya urusan publik menjadi lebih cepat.
ZIKIR
25 Juni 2012, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) secara resmi dilantik Mendagri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Ucapan tahniah datang dari berbagai pihak, baik melalui media massa maupun dalam bentuk papan bunga berjejer sepanjang jalan tempat Gedung DPRA yang menjadi arena pelantikan tersebut. Prosesinya cukup meriah dan dihadiri tamu-tamu undangan ternama dan terhormat dari dalam dan luar negeri. Namun kala itu terjadi insiden yang memalukan sekaligus memuakkan di halaman Gedung terhormat karena ulah gerombolan fasis yang dengan pongah mempertontonkan karakter dan perilaku brutalitas barbarian. Korbannya adalah Irwandi Yusuf mantan Gubernur Aceh yang menghadiri undangan acara sakral tersebut (Hasanuddin Yusuf Adan-Said Azhar: editor, Konsistensi Ghazali Abbas Adan Untuk Hak Asasi Manusia, Demokrasi & “Kemerdekaan” Aceh, 2012).
Menurut saya, terhadap insiden brutalitas dan barbarian itu adalah episode lanjutan dari action yang pernah dipertontonkan anasir fasisme pra dan dalam proses pemilukada Aceh 2012, sebagaimana dilansir media massa cetak, elektronik dan online. Betapa kala itu media massa memberitakan rupa-rupa perilaku fasistik, diantaranya seperti “pengeroyokan dan penganiyaaan hingga babak belur dan berdarah-darah atas tim sukses kandidat, teror dan intimidasi terhadap pendukung kandidat serta masyarakat pemilih. Pengrusakan dan pembakaran kendaraan bermotor dan alat-alat peraga pemilukada. Saksi-saksi diancam dan dilarang masuk ka arena TPS, serta rupa-rupa perilaku fasistik lainnya. Bahkan berkaitan dengan pemilukada Aceh itu terjadi pembunuhan sadis terhadap beberapa hamba Allah mustadh’afin etnis Jawa yang mencari nafkah di Aceh dan mantan kombatan GAM Saiful “Cagee” (Ibid).
Berdasar fakta dan realita demikian, adalah suasana pemilukada DKI Jakarta berbanding terbalik dengan pemilukada Aceh. Dan bagaimana pula nasib janji-janji politik yang diumbar ZIKIR dalam kampanyenya, terutama yang bernuansa populis dan pro-rakyat ? Sebut saja beberapa hal yang amat dinantikan dan dituntut perwujudannnya oleh rakyat jelata di Aceh, seperti; naik haji gratis bagi anak Aceh yang sudah akil balig, dan pemberangkatan jemaah haji dengan kapal pesiar. Menjadikah Aceh layaknya Brunei Darussalam dan Singapura. Mewujudkan pelayanan kesehatan gratis yang lebih bagus, dan mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri. Pendidikan gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Memberikan Rp 1 juta/kk/bulan dari dana hasil migas.
Ini juga berbanding terbalik dengan Jokowi-Ahok, karena fakta dan realitanya janji-janji politik ZIKIR tersebut belum diwujudkan. Dengan demikian, kendati dituding dan digonggong (didroih) sebagai ureueng bang di lua seumeujid, jamok di lua keuleumhu, dan entah apa lagi, kita seluruh rakyat jelata di Aceh boleh mengatakan, sesungguhnya janji-janji politik ZIKIR ketika kampanye dalam rangka memburu dan mendapatkan kekuasaan hanya asal bunyi dan asal mangap, alias asai ka meujungkat keueng, cet langet. Implementasinya sampai saat ini masih nol besar (t’em soh). Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, JKA adalah program warisan rezim Irwandi Yusuf.
Dalam waktu yang bersamaan kita rakyat jelata harus terus berteriak, menuntut niscaya janji-janji politik itu segera diwujudkan. Kita juga mengingatkan, bahwa jabatan publik itu tidak boleh dengan sesukanya (kiban nyang h’eut) dijadikan tempat bagi-bagi tampouk (kekuasaan/jabatan/kedudukan) dan tumpouk (harta/kekayaan) antara sesamanya. Tetapi tempat bertugas mewujudkan apa yang menjadi kehendak dan kebutuhan asasi seluruh rakyat, apapun agama, etnis dan sukunya, serta afiliasi/aspirasi politiknya, yakni niscaya tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan. Nashrum minallaahi wa fathun qariib.
Wassalam
*Abang Jakarta 1979, anggota MPR/DPR-RI 1992-2004, anggota Majlis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh.