Pentalun di Gayo Lues

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Tutur merupakan gambaran jiwa, nilai, dan budaya masyarakat Gayo. Melalatoa (1982: 406) mendefinisikan tutur sebagai sebuah sistem atau istilah kekerabatan. Selanjutnya, Pulungan dalam Syukri (2009: 165) menyebutkan bahwa tutur merupakan jalur penghubung untuk menguatkan ikatan kekerabatan. Selain itu, Saleh  menyebut bahwa tutur adalah panggilan atau sebutan terhadap seseorang yang terikat karena pertalian darah, keluarga, umur, penghormatan, sahabat, teman akrab atau teman biasa (2009: 1). Tutur diartikan pula sebagai sistem kekerabatan yang memiliki konsep, muatan, dan simbol sosial tersendiri (al-Gayoni, 2010:5).

Tutur dalam masyarakat Gayo berbeda dengan istilah tutur dalam bahasa Indonesia [speech dalam bahasa Inggris), yang berarti bercakap atau berkata (Pusat Bahasa, 2008:1574). Dengan begitu, istilah tutur dalam bahasa Indonesia lebih luas pemaknaannya. Sebaliknya, tutur dalam masyarakat Gayo merupakan sistem atau istilah kekerabatan yang memiliki konsep dan muatan tersendiri.

Munculnya Tutur

Di Belang Kejeren sendiri [Gayo Lues], terdapat 35 bentuk tutur, seperti ama (bapak), ine (ibu), awan (kakek), empu/enen (nenek), datu rawan, datu benen, dan lain-lain (Tantawi dan Buniamin, 2011: 68). Dalam hal jumlah dan peristilahan tutur, terdapat beberapa perbedaan dengan tutur yang dipakai di Gayo Lut (Takengon dan Bener Meriah) serta Gayo Deret (Isaq, Takengon). Belum lagi tutur yang terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh Timur (Gayo Serbejadi/Lokop) dan Aceh Tamiang (Kalul), yang kemungkinan sedikit banyak memiliki pelbagai perbedaan. Hal tersebut semakin menarik untuk dikaji-banding. Lebih dari itu, pelbagai perbedaan itu menujukkan khasanah kekayaan konsep tutur pada masyarakat Gayo.

Dalam masyarakat Gayo Lues, istilah tutur dikenal dengan pentalun (sistem sapaan). Kemunculan tutur ini tidak berdiri sendiri. Namun, ada kondisi sosio-kultural yang melatarinya. Dari bentuk tutur yang ada, secara umum, ada tiga hal yang melatari munculnya tutur di Gayo Lues, yaitu hubungan daerah, adanya perkawinan, dan hubungan sosial tertentu.

Pertama, hubungan darah, yang mengakibatkan munculnya tutur tertentu, seperti ama (bapak), ine (ibu), win (panggilan anak laki-laki), dan etek (panggilan anak perempuan). Dalam kaitan ini, perbedaan jenis kelamin seseorang baik maskulin (laki-laki) maupun feminim (perempuan) akan membedakan bentuk tutur yang disandangnya. Kedua, perkawinan; perkawinan ini akan berdampak pada penambahan anggota keluarga. Dengan demikian, dua keluarga tersebut akan menjalin hubungan kekeluargaan dan bertutur satu sama lain. Misalnya, ume rawan (besan), ume banan (besan), due (adik ipar istri), kawe (adik ipar istri), lakun (adik istri), era (adik istri), abang lakun (abang istri), aka lakun (kakak istri), kile (menantu), pemen (menantu), tuen [ama] (mertua), dan tuen [ibu] (mertua). Ketiga, hubungan sosial tertentu. Misalnya, sapaan kepada teman sepermainan (sebet atau pong), sahabat (sebet), guru ngaji (tengku), dan pacar (biak).

Di lain pihak, lebih jauh, al-Gayoni (2010: 146) merinci tutur berdasarkan (a) sumber baik dari pihak pedih maupun ralik; (b) gender yang diwakili kata rawan (maskulin/laki-laki) dan banan (feminim/perempuan); (c) kedudukan, yang dilihat berdasarkan kelahiran serta usia, dan terdiri dari tiga yaitu kul (sulung), lah (di tengah-tengah, antara sulung dan bungsu), dan encu, ecek atau ucak (bungsu); (d) status sosial yang didorong akibat perubahan sosial pengguna tutur; (e) jabatan yang ada dalam pemerintahan Sarak Opat; (f) tampilan fisik (physical appearance) yang terdiri atas Ecek, Item, Mok, Onot, Ucak, dan Utih; dan (g) tempat, tempat tinggal pengguna tutur turut menambah variasi be tutur.

Antisifasi Kepunahan Tutur

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tutur menggambarkan jiwa, nilai, dan budaya masyarakat Gayo. Lebih khusus lagi, dalam konteks penggunaan tutur di Gayo Lues, tutur berfungsi untuk menunjukkan kedudukan seseorang, rasa hormat, tingkat kesantunan, identitas, dan keber-agamaan, keber-edetan (punya adat) serta keber-peraturan (punya aturan, etika, dan norma) pengguna tutur. Pada akhirnya, penggunaan tutur yang baik dan benar akan mengurangi konflik. Juga, menciptakan keakraban dan harmonisasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Melihat kayanya nilai-nilai dan fungsi yang dikandungi tutur, penggunaannya harus senantiasa dipelihara, yaitu dengan mengalih-lisankan. Dengan pengertian lain, tutur harus senantiasa digunakan di tengah-tengah kehidupan sosial-kemasyarakatan di Gayo Lues. Disamping itu, perlu ditransmisikan secara tertulis. Dengan demikian, generasi muda dapat mengetahui segala kandungan tutur, selain melembagakannya dalam dunia pendidikan melalui muatan lokal. Untuk jangka panjang, langkah pentransmisian tertulis dan pelembagaan melalui dunia pendidikan ini bertujuan mengantisifasi penyusutan dan kepunahan tutur secara evolutif.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah 2007-sekarang

Sumber: Majalah Lentayon Edisi I Thn ke-I, 2011 (hal 18)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.