Oleh : Muhammad Nasril*
Perayaan maulid yang dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 1435 H. bertepatan dengan hari selasa 14 Januari 2014 M dilaksanakan umat Islam bermacam variasi, bahkan di Aceh perayaannya sampai tiga bulan. Tradisi perayaan ini juga berbeda diantara umat-umat Islam yang merayakannya, tergantung daerah masing-masing. Sebagian daerah perayaannya dengan majlis ilmu dalam bentuk dakwah, pengajian di Mesjid atau di kantor-kantor, sebagian daerah lain merayakan dengan kenduri kemudian pada malamnya dilanjutkan dengan dakwah dari da’i-da’i ternama di daerah tersebut. Permasalahan perayaan maulid Rasulullah SAW sering terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat, Sebagian kelompok mengatakan perayaan maulid itu bid ah, atau tidak perlu dilakukan, namun sebagian kelompok yang lain berpendapat bahwa perayaan maulid ini boleh dilaksanakan dan sangat dianjurkan.
Perbedaan pendapat ini tidaklah menjadikan perpecahan dan saling menghina di antara kita, apalagi saling menjelekkan. Dalam hal ini Kedua kelompok memiliki dalil masing-masing dalam mengungkap argumen pendapatnya. Namun ada hal lebih penting yang perlu kita perhatikan, bagaimana cara membuktikan cinta kepada Rasalullah SAW, mengimplementasikan norma-norma kehidupan Rasullullah SAW dalam kehidupan kita. Sehingga maulid itu tidak hanya menjadi perayaan seremonial, ajang gengsi dan ajang perbaikan gizi ‘makan-makan’ saja. Tapi, mari kita jadikan momentum ini untuk membangkitkan kembali semangat dan kecintaan kita kepada Rasullullah SAW, meningkatkan ‘Gizi’ Spritual kita, menelaah sirah Rasullah SAW, kemudian mengikuti semua syariat yang di bawanya, menjadikan Rasulullah Idola dan tauladan dalam kehidupan kita, sehingga nutrisi “menjalankan Sunnahnya” terepenuhi.
Meninggalkan perbedaan adalah mustahabbun ( dianjurkan ), kaedah fikih ini sangat cocok untuk diterapkan pada saat ini yang menganjurkan keluar dari perbedaan demi menjaga persatuan dan menjauh dari perpecahan. Seperti halnya dalam masalah maulid ini, terus menerus berbeda dalam melahirkan pandangan masing-masing dengan argumennya. Namun pada moment maulid ini kita kembali kepada ”Muhasabah cinta” kepada Rasulullah SAW. Menjadikan ajang perbaikan ‘Gizi’ spiritual menambahkan keimanan dan kecintaan. Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi SAW adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal keteladanan Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad SAW adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Perayaan maulid ini dengan bentuk menghadirkan makanan, atau khanduri molod, juga melahirkan nilai positif, yaitu ajang memperkuat silaturrahim dan untuk perbaikan gizi dengan menu khas yang ada pada musim maulid, dan ini sangat di anjurkan oleh rasulullah. Bahkan memutuskan silaturrahim ini yang menjadi bid ‘ah dalam kehidupan kita. Inti dari ihtifal bi maulid ini yaitu moment mengingat , mengatur kembali serta menatanya tentang kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, dan pada moment ini juga menjadikan ajang perbaikan ‘Gizi’ Spritual untuk lebih mencintai dan meneladanni Rasulullah, kadang selama ini kita terus berjalan, tanpa mau mengikuti amalan-amalan dan perkataan-perkataanya. Dengan adanya moment semacam ini, satu hikmah paling besar, kita jadikan muhasabah cinta kita kepada Rasulullah SAW.
Bagi yang membolehkan merayakan khanduri maulid, juga berbeda tatacaranya sesuai dengan adat daerah masing-masing, ada sebagian daerah khanduri di mesjid dan di meunasah, masyarakatnya membawa bu kulah, dan ada juga masyarakat membawa nasi kotak. Disamping para panitia mengundang desa tetangga. Disini juga sudah terbentuk silaturrahim antara satu gampong dengan gampong yang lainnya dan santunan anak yatim. Kemudian dirumah-rumah mengundang sanak famili, tetangga dan shahib-shahibnya untuk berkenan hadir dan menyantapi sedikit hidangan dari tuan rumah. Ini tentu hal yang sangat positif untuk menyambung dan mengikat silaturrahim. Kadang saudara yang jauhpun merapat, utuk memenuhi undangan.
Perlu diketahui bahwa khanduri molod itu sebagai wasilah atau cara saja, berbeda generasi berbeda cara mengungkapkan cinta kepada rasulullah SAW. Namun yang perlu di perhatikan, acara-acara seperti ini boleh saja dilaksanakan dengan menolak terjadinya kemungkaran-kemungkaran, seperti “ tinggai sembahyang , khanduri untuk ajang gensi, dan hal-hal lain yang dilarang oleh syariat, orang-orang yang merayakannya juga perlu diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran tersebut bertentangan dengan tujuan utama acara mulia tersebut.
Tentu saja proses perayaan kita dengan para sahabat berbeda, berbeda bentuk dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah. Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani, kemudian diakhir acara dengan makan-makan bersama ( khauri Molod).
Ada suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu ketiadaaan perayaan semacam ini pada masa-masa awal islam yang istimewa (alqurun al ula al mufadhalah). Argumen ini, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang perayaan itu. karena tidak ada seorangpun yang meragukan kecintaan mereka radhiyallahu ‘an hum terhadap Nabi SAW. Namun, kecintaan ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan cara-cara yang berbeda itu sama sekali tidak dilarang untuk dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagi dan bergembira dengan adanya Nabi Saw. merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan itu hanya merupakan washilah ( sarana ) yang di perbolehkan untuk digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan dirinya untuk mengungkapkan hal itu. Perbanyaklah shalawat kepada Rasulullah SAW. Wallahu alam bissawab.