Drama Konflik Pemilu Aceh 2014

Oleh : Surya Apra

Siapa yang menyangka mulai awal tahun 2014 ini dengan julukan tahun pemilu memberi jalan cerita tersendiri terhadap suksesi demokrasi di Aceh, sebut saja ini adalah jilid duanya konflik pemilu legislatif di Aceh. Nuansa politik yang terbangun dari rekam jejak pemilu di Aceh saat ini menggambarkan tentang bagaimana pentingnya kekuasaan parlemen maupun pemerintahan. Melihat hal tersebut, penulis mengulas apa yang sudah terjadi beberapa bulan terakhir mulai Januari-Maret 2014 tentang dinamika politik Aceh.

surya Apra
surya Apra

Pada awal bulan Januari ketegangan partai lokal Aceh antara Partai Nasional Aceh (PNA) dengan Partai Aceh (PA), memberikan gambaran tentang potensi konflik politik yang akan terjadi menjelang 9 April  pemilu 2014 ini. Ketegangan tersebut menunjukkan bahwa  politik Aceh belumlah sepenuhnya menjadi panutan pemilu damai.

Pada hari Jum’at 15 Januari 2014 Kapolda Aceh pada saat itu, Irjen Pol Herman Efendi kepada media nasional, lokal, cetak, maupun media elektronik, mengatakan tentang bagaimana komitmen kepolisian dalam menjaga perdamaian pemilu sesuai intruksi Kapolri Jendral Polisi Sutarma. Begitupula Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Pandu Wibowo menyampaikan kepada media agar menghentikan pertikaian itu secara bersama-sama (Serambinews.com 18/01/2014).

Ketegangan  antara PNA dan PA pada Januari terjadi pengerusakan atribut partai, pencopotan, pembakaran, penyerangan, pemukulan terjadi selama bulan Januari saja. Jelas-jelas ketegangan politik saat itu menjadi salah satu alasan utama tentang eksistensi kedaulatan tujuan visi partai dalam membangun Aceh dengan versi dari setiap pelaku politiknya. Sangat disayangkan jika politik di Aceh tidak dapat mampu mendidik generasi Aceh untuk menikmati kebebasan berdemokrasi sebagai cita-cita kemerdekaan bangsa ini.

Pengrusakan atribut partai tidak hanya terjadi terhadap partai lokal, PNA dan PA saja, namun merebak pada partai nasional diantaranya partai Nasional Demokrat (NASDEM) yang diintimidasi baik posko maupun calegnya yang digonikan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Partai GERINDRA yang diintimidasi dengan pembakaran posko, partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mobil yang dibakar, dsb. Ini keseluruhan adalah ulah oknum tidak bertanggunggjawab yang tidak menginginkan perdamaian di Aceh.

Pada bulan Maret tensi politik semakin meningkat dengan tidak ditanda tanganinya ikrar pemilu damai oleh Partai Nasional Aceh (PNA). Hal tersebut disebabkan oleh proses penegakan hukum belum memihak terhadap keadilan yang diinginkan sebagai cita-cita perdamaian. Ketua umum DPP PNA, Irwansyah tidak ikut serta dalam ikrar tersebut dikarenakan masih merebaknya kekerasan, intimidasi, teror terhadap kader partainya.

Sontak politik Aceh jika dilihat secara perspektif humanis tidak lagi kondusif, ini menunjukkan bahwa kedepannya teror terhadap pesta politik semakin besar. Dan benar saja, kekerasan antara kedua belah pihak semakin kuat menjelang kedekatan masa pemilu usai, bukan lagi teror tapi pembunuhan yang didalangi aktor politik menjadikan kekondusifan yang dijanjikan kepolisian dipertanyakan.

Tidak hanya itu, pecahnya perlawanan para pejuang ALA (Aceh Leuser Antara) akhir-akhir ini yang disebabkan oleh orasi juru kampanye  partai Aceh yang membuat pemicu daftar konflik politik di Aceh sehingga membuat ketegangan partai Aceh tidak hanya dengan Partai Nasional Aceh, namun sudah merambah kepada pejuang ALA salah satunya yang beritakan adalah PETA (Pembela Tanah Air) di wilayah Aceh bagian Tengah. Lemahnya kepanitiaan penyelenggara pemilu Aceh baik KIP, maupun PANWASLU menjadi ujung tanduk terjadinya konflik pemilu kali ini, kembali ketegasan bapak Brigjen Pol  Husein sebagai Kapolda Aceh  yang menjadi kebanggan Gubernur Zaini Abdullah sebagai produk kepolisian asal putra Aceh dipertanyakan. Kekerasan yang dilakukan secara terbuka di depan publik di wilayah Aceh Tengah menunjukkan kepolisian tidak mampu memberikan antisipatif tentang tenjadinya konflik, dan memberikan kenyamanan perdamaian di Aceh, pembiaran arogansi dan kekerasan ini menurut penulis sangatlah disayangkan.

Melihat bagaimana terjadinya gesekan politik di Aceh saat ini tentunya akan mengganggu proses suksesi pemilu 9 April 2014 ini, suara rakyat yang akan muncul nantinya tidak lagi murni sebagai keinginan dari hati para pemilih melainkan suara rakyat yang lahir dari intimidasi, teror yang selama ini terjadi. Sebagai orang yang tidak include dalam partai ialah masyarakat umum seharusnya kita mampu dan cerdas dalam menentukan hak suara yang akan dipilih, masyarakat harus berani melawan segala jenis intimidasi, teror pemilu saat ini, agar produk legislatif yang dipilih mampu berdiri sebagai pemegang penuh aspirasi rakyat pemilihnya.

 Kekondusifan perdamaian di Aceh tidak hanya di ukur dari suksesi pemilu kali ini saja, karna dampak yang akan timbul setelah pemilu ini adalah jawaban sepenuhnya tentang perdamaian Aceh. Seharusnya seluruh elemen partai mampu menarik hati para pemilih dengan memberikan ide, gagasan tentang membangun kesejahteraan masyarakat Aceh, bukan melalui intimidasi dan teror.

Kita harus bijak menilai segala jenis dinamika politik Aceh yang dibarengi dengan drama konflik yang telah berubah-ubah lawan, kawan maupun tujuan mulai dari 2004, 2009, dan 2014 ini. kita berharap  semoga kekerasan dapat di redam oleh kepolisian di aceh. Keberhasilan pemilu damai di aceh merupakan anugerah perdamaian aceh yang dihasilkan dari MoU Helsnky. Kita juga berharap polisi mampu tengungkap oknum yang menjadikan pemilu 2014 ini tidak kondusif.

Penulis adalah seorang warga Panji Mulia Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.