Oleh : Hanif Sofyan*
“Nama besar di depan kaos lebih penting daripada nama di belakang, mengapa?, karena kita bermain untuk sebuah tim bukan one man show!”.–dialog Munez Santiago dan Pelatihnya Dornhelm dalam film Goal! The Dream Begins. Film tentang personifikasi tokoh sepakbola yang bermuatan filosofi kehidupan.
Muatan dialog tersebut setidaknya memiliki keterwakilan untuk membaca realitas perpolitikan kita hari ini. Talenta memimpin saja ternyata tidak mencukupi untuk membuahkan sukses ketika berhadapan dengan keharusan berkolaborasi dalam sebuah tim. Dalam hal ini Gubernur Doto Zaini Abdullah dan Wakilnya Muzakir Manaf semestinya adalah sebuah skema simbiosis mutualis, saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Butuh tekad, komitmen, konsistensi dan ‘sebuah’ deal politik untuk memaksa dua kepentingan berbeda menjadi satu. Dalam keseharianpun, nilai-nilai kekuatan diri ini menjadi magnet penting yang dibutuhkan untuk bisa menarik ‘buah kesuksesan’.
Ini pula dasar yang mengilhami film besutan Danny Cannon yang dibintangi Kuno Becker, Alessandro Nivola, Marcel Iures, dan Stephen Dillane. Mengangkat sisi talenta, membenturkannya dengan pahitnya tantangan dan mempertemukan dengan ‘kesadaran’ diri dalam sebuah tim.
Cara Pandang
Suatu ketika Dornhelm sang pelatih kembali bertanya, ‘Apa yang kamu pikirkan ketika membawa bola di depan gawang?’. Yang dijawab oleh Munez dengan semangat mudanya, “Menembakkan bola secepatnya ke dalam gawang!. ‘Tapi ingat, bola bisa bergerak lebih cepat dari yang kamu bayangkan’. “ Maka ketika melihat peluang dan temanmu berada di jangkauan paling dekat dengan sasaran gol, operlah!, agar teman membantumu menciptakan goal!. Gol itu adalah gol kamu meskipun melalui kaki kawan, karena kamu adalah bagian dari sebuah Tim Besar sebuah Klub Bola bukan ego pribadi!”.
Ini soal cara pandang, bagaimana melihat peluang untuk mendapatkan hasil optimal. Maka mencapai sebuah kesuksesan pembangunan bisa saja dimulai dari Instruksi Gubernur, kepada wakil Gubernur, kepada SKPA, Dinas terkait yang menjadi perpanjangan tangan menuju capaian dan kesuksesan arah pembangunan. Ketika kepercayaan, komitmen dan hubungan simbiosis mutualis tadi tidak terbangun, maka pemerintahan akan tetap berjalan, namun–tanpa sinkronisasi, tanpa koordinasi dan tanpa arah tujuan yang jelas. Pembangunan tidak memiliki ritme, blueprint Aceh Masa Depan tidak dapat dengan sendirinya menerjemahkan akan menjadi seperti masa depan Aceh kelak.
Doto Zaini dan Muzakir Manaf ini adalah bagian dari sebuah tim besar bernama ‘pemerintahan Aceh’. Sebuah kebetulan keduanya berasal dari latar belakang ideologi partai yang sama. Secara kondisional, pembangunan dalam kawalan pemerintah Aceh saat ini bukan tidak berjalan, namun perlahan. Berkelindan dengan sengkarut masalah, seperti kasus termutakhir perbedaan preferensi kendaraan politik yang menyebabkan perbedaan haluan. Tawar menawar nasib Aceh masa depan, melalui skema ‘bargaining power politis’ soal turunan UUPA.
Dalam menjembatani berbagai alternatif perubahan yang akan kita pilih kelak, sangat tergantung pada pola pikir para pemimpin di puncak kekuasaan, termasuk soal pilihan-pilihan perubahan yang akan dijadikan sandaran kebijakan. Sebagaimana disitir dalam Al Qur’an, Surat Ar’ad ayat 11, yang intisarinya, ‘Allah tidak akan merubah nasib dan keberadaan suatu kaum, hingga kaum itu sendiri yang ‘berinisiatif’ berubah’. Sebagai bagian dari tanggungjawab kolektif keduanya, berbagai perbedaan haruslah disikapi dengan cara yang tak menggiring publik menjadi ‘penonton yang gelisah’. Apalagi jika konstelasi politik mulai memancing berbagai kelompok kepentingan yang pro-kontra untuk terlibat aktif.
Benar bahwa perbedaan adalah sebuah ‘rahmah’. Perbedaan cara pandang dan pemikiran memperkaya imajinasi, gagasan, sebagai bagian dinamika memperbanyak solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan bernegara. Ketika perbedaan menggerus perdamaian, ketentraman, maka seperti ungkapan anak muda sekarang, kita sudah ‘salah rekrut’, salah dalam memilih pemimpin.
Namun pertanyaan besar ini juga harus dikembalikan pada porsi yang win-win solution, karena bagaimanapun keberadaan pemimpin hari ini dipucuk pimpinan adalah atas kehendak kita sendiri (baca; rakyat) yang memillih. Terlepas dari permainan politik, tendensi politik, dan afiliasi politik yang terbangun karena janji politik pilkada. Karena rakyat sebenarnya pada posisi dilematis, ketika krisis ketokohan, kehadiran sosok alternatif yang diharapkan bisa menjadi medium penyampai aspirasi ternyata justru ‘menikam’ dari belakang. Maka seperti memakan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati. Keduanya menawarkan posisi dilematis. Maka satu-satunya jalan, adalah terus menerus mengkritisi, memberi masukan, menawarkan solusi kepada para pemimpin di puncak kekuasaan. Yang bisa jadi saat ini tengah mabuk ‘tumpok’ dan ‘tampuk’. [hans-2014].
Pemerhati sosial politik, pegiat lingkungan*