Cerpen : Suratan Gala

Cerpen | Lintas Gayo | Yaumil F Gayo

 

“Harus aku tuntaskan malam ini, tanpa harapan bahwa engkau akan selalu mencintaiku.”

“Semoga surat ini mampu mewakilkan cintaku, gundahku, rinduku, mimpiku tanpa air mata.” Bisik Gala kepada malam.

……………………………………………………………………………………………………………..

Meulaboh, malam 24 Desember 2004

Untuk Istriku, Tarla.

Salam cinta untukmu dari aku nun jauh.

Bagaimana kabarmu kekasih bermata coklat? Apakah engkau masih sering merawat bunga kasturi dan anggrek kesayanganku? Apakah engkau masih sering mengumpulkan anak-anak kecil untuk kau dongengkan seperti kecintaan kita kepada keceriaan mereka? Apakah pagimu bahagia seperti dulu kala ketika engkau terbangun dari tidur lelapmu? Apakah engkau masih sering ke puncak Penanggungan untuk menyapa malam? Yang aku yakini engkau amat sangat merindukanku.

Masih teringat jelas dalam Cerebeum otak, kisah yang kita jalani selama tujuh tahun. Kita lewati tanpa ada kata cinta disana, namun tujuh tahun engkau jaga hatimu untukku, begitupun aku. Hari-hari kita lewati berdua hanya melalui bahasa mata. tentunya tanpa bahasa verbal dari sebuah cinta. Sangat terasa dari perilakumu, bahwa engkau sangat mencintaiku dan akupun begitu, lagi-lagi tanpa ada ungkapan “aku cinta kamu” saat itu. Aku rasa, hanya sedikit manusia yang mampu melakukannya. Dan aku beruntung memilikimu.

Karena cinta tidak membutuhkan banyak ungkapan kata.

Gadisku. Mempelaiku yang sederhana.

Rinduku begitu besar kepadamu, sungguh aku sangat merindukanmu seperti semesta yang merindukan alam dipengasingannya, namun rinduku sedikit kaku karena aku tak mampu menciummu saat ini, tapi jangan bersedih, telah aku titipkan kepada Jibril untuk menyampaikan kecupanku kepadamu.

Gadisku, pemilik senyum Cleopatra.

Aku tau, engkau wanita yang sangat keras kepala, wanita yang sangat mudah menumpahkan air mata namun cepat melupakan amarah yang meluap dihatimu, wanita yang aku puji karena engkau tidak pernah menyimpan dendam. Wanita yang sangat paham keinginan orang-orang di sekelilingmu, sehingga engkau selalu berusaha untuk selalu ada. Dan engkau sangat dicintai oleh orang-orang disekitarmu. Engkaulah wanitaku masa lampau-saat ini-dan masa depan..

Tahukah engkau, wanita berambut hitam panjang.

Kelak aku tidak membutuhkan bidadari disurga, karena bagiku engkau telah mewakili mereka. Dan kerana itu pula, aku sangat berharap melewati akhir hidupku bersamamu. Kekasihku, apakah engkau merasakan detak jantungku di setiap malam yang aku lewati tanpamu? Jantung yang berdetak tak seimbang dengan nafas, tak juga seimbang dengan cucuran keringat dingin yang kuterima.

Sayangku, satu kisah yang tak akan pernah aku lupakan ketika kita sedang menelusuri pantai Papuma. Tanpa alas kaki engkau permainkan anak-anak ombak, baju putih yang kita kenakan tak tenang di tabrak angin, rambutmu tergulai indah. Kulitmu bak daun iren yang baru keluar dari inangnya. Suara tawa lepas yang tak pernah aku lupakan. Watu-ulo pun ikut bernyanyi. Namun saat itu juga engkau menghilang begitu saja. Engkau tau, aku seperti di hantam lava panas dari gunung yang meletus, jantungku remuk, langit muntah nanah, otakku memanas, darahku membeku. Ku cari kesegala penjuru pantai. Ke hutan pesisir, dibalik susunan karang coral dihadapan bibir pantai, dibawah stalakmit. Tak kutemui sosokmu. Namun ternyata engkau tertawa puas dibalik bukit berbatu. Engkau mengerjaiku. Tetapi aku tidak marah sama sekali. bahkan aku puas meraba senyummu dari bathinku.

Wanita bersuara parau.

Aku meminta maaf kepadamu. Aku harus meninggalkanmu dimalam pertama perkawinan kita. Di malam setelah kita melewati Tujuh tahun, yang pasti takkan terlupakan. Engkau melepasku dengan senyum ikhlas, pelukan lembut dan genggaman tangan yang hangat. Dengan berbisik, jagalah rinai cinta kita.

Aku harus pergi melaksanakan tugas. Sebagai seorang dokter di medis TNI, aku harus menuju Aceh. Ya, kekasihku. Engkau pasti banyak mendengar kabar tentang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan DOM (Daerah Operasi Militer) yang menyelimuti Aceh. Akan kuceritakan sedikit keadaanku, namun aku sangat tak ingin engkau menangisi keadaanku. Skaklah air matamu. Engkau hanya boleh menumpahkan air mata untuk Tuhanmu. Jangan buat Dia cemburu. Berjanjilah istriku.

Berjanjilah….

Perkiraanku hampir setahun aku pergi, baru kali ini ada kesempatan untuk mengirimkan kabar. Hal tersebut dikarenakan ketatnya waktu dan situasi di barak. Setelah dua hari melewatinya tanpa tidur dan makan yang cukup, aku tertangkap dan dijadikan sandera di Kandang –pusat konflik-. Tidak ada penyiksaan terhadapku, sayang. Namun hampir 10 bulan aku lalui menjadi tawanan dihutan, hanya kepedihan yang setia menemani. Suatu hari, terjadi kontak senjata yang begitu luar biasa. Korban terbanyak yang pernah bergulir. Akupun dibebaskan oleh pasukan TNI dengan kaki terhempas dua peluru -Ah, aku merasa menambah bebanmu-. Tapi itu sudah jauh berlalu. O ia, badanku sangat kurus kata Sodhik, pipiku membusung ke dalam rahang, urat tangan jauh lebih terlihat. Dan aku yakin masih segagah Gala yang dulu.

Wanita yang sangat setia hati dan pikirannya.

Suamimu ini sekarang memiliki jenggot dan kumis yang tumbuh lebat, seperti tuan Thakur dalam film India. Aku tau engkau sangat tidak menyukai jenggot dan kumis yang tak rapi sama sekali, tapi percayalah. Pasti secapatnya akan aku cukur. Dan aku akan makan sebanyak mungkin. Aku berjanji.

Wanita berwajah teduh saperti hatinya

Setelah lima hari aku terbebas dari tawanan, sedikit kabar gembira bahwa aku akan dikembalikan, dan masa tugasku telah selasai. Aku merasa mulai kembali merajut hadir di pelukmu. Wajahmu semakin kontras dibenak dan relung hatiku.

Tetapi saat itu di luar dugaan, barak kami di Peurlak diserang habis-habisan. Pasukan tidak lagi utuh, infantri itu terkoyak-koyak. Aku dan sahabatku Sodhik yang juga dari tim medis melarikan diri tanpa arah hingga matahari membawa kami ke Meulaboh. Pintu keluar Aceh dijaga ketat tanpa celah. Hampir satu bulan setengah perjalanan kami lalui. Sembunyi dari rumah ke rumah, makan senemunya. Yang aku tau hanya malam dan siang, yang aku dengar hanya suara adzan dan yang aku lihat hanya mayat manusia bergelimpang luka tembak.

Sedikit hikmah dari GAM buat kami di negeri tanpa tuan, Meulaboh. Alam yang indah, pantai yang telentang mengingatkanku padamu, bintang yang bertabur menghadirkan engkau di sampingku. Angin asin timur yang gerah membelaiku. Rinduku semakin mengepal, senyummu bagai luka dihatiku, matamu kembali menikam tepat dijantungku. Apa aku semakin jauh darimu? Entahlah.

Istri yang selalu aku rindukan.

Di Meulaboh, kami di tampung di sebuah rumah warga di pinggir pantai Bidari, tepat seperti namanya Bidari yaitu megah, pantai tersebut bak lingkaran khatulistiwa yang merobek pantai dan menjadikannya sebagai bibir batas antara darat dan lelautan. Pasir putih, bentang laut nun biru menantang hutan lebat hijau. Dan sebuah keluarga sederhana. Pak Abdullah, Bu Aminah dan dua orang anaknya Wen dan Aulia. Ramah menerima kami. Keluarga itu sedikit banyak membuatku iri. Keluarga yang menjadi impianku sejak lama bersamamu kekasihku. Dengan dua pasang anak yang pintar dan nakal.

Sayangku, aku yakin tidak ada yang melarang seseorang untuk berharap. Bahkan aku sangat percaya kekuatan mimpi. Walau hidup adalah permainan dari kenyataan. Doaku agar engkau selalu sabar dalam menghadapi segala cobaan-Nya. Karena kita tidak pernah tau cara Tuhan bekerja. Tidak semua yang kita harapkan bakal terwujud, kecuali yang kita butuhkan. Teruslah menjadi wanita yang kuat karena engkau adalah calon seorang ibu. Dan jadilah wanita yang tangguh karena engkau adalah istriku.

Tarla, nama yang tak pernah lekang dari hatiku semenjak aku mengenalmu.

Akhir-akhir ini alam Aceh tak bersahabat, siang panas terik dan malam berubah ganas. Menjadikan kesehatanku turun drastis. Aku memang seorang dokter yang payah, kekasihku. Andai engkau bersamaku pasti engkaulah yang menjadi dokterku. Angin pantai datang tanpa kompromi dan bahkan air asin itu lebih sering singgah ke rumah Pak Abdullah diwaktu yang sangat tidak tepat. Sungguh sesuatu yang sangat membuatku resah, tapi aku bingung dari mana sumber keresahan itu.

Sedikit kabar gembira dibalik kekacauan hidup yang aku alami. Pak Abdullah akan ke Medan, ada keperluan mendadak. Namun Pak Abdullah tidak berani membawaku karena kondisiku yang tidak memungkinkan. Disamping itu Pak Abdullah mengatakan bahwa wajah jawaku akan menjadi sasaran empuk bagi GAM. Hingga akhirnya Sodhik-lah yang diputuskan untuk ikut Pak Abdullah, karena Sodhik sendiri memiliki paras Arab yang hampir persis dengan paras orang-orang Aceh. Lalu aku titipkan surat ini kepadanya.

Tarla, wanitaku di bumi dan surga.

Maaf, karena belum mampu membuatmu bahagia sebagai istriku.

Maaf, karena harus meninggalkanmu secara mendadak dengan cinta yang terbelenggu.

Maaf, karena engkau pasti tenggelam dalam kekecawaan

Maaf, atas pertemuan yang tertunda ini.

Maaf, atas malam yang kaulewati menjadi sepi.

Maaf, karena aku belum sempat mengecupmu.

Aku harap kita bisa bertemu secepatnya..

Wass..

Tertanda, kekasih mu

Langit Menggala

…………………………………………………………………………………………………………………………

“Aku harap engkau membacanya. Dan sedikit menggugurkan rindumu” tegas Gala dalam hati setelah menulis isi surat. Sodhik membawa amanah tersebut ke Tarla didaratan Jawa.

Tsunami menghantam Aceh tepat tanggal 26 pagi saat Desember Berkuasa dan ditemani haru Natal. Pesisir pantai timur tenggelam ditelan air. Daratan Banda dan Meulaboh sekitarnya hancur berkeping. Tanpa menyisakan secerca harapan. Musnah.

Hari berlalu…

Surat telah sampai ditangan Tarla. Air mata diskak karena telah berjanji kepada Gala untuk tidak mengeluarkan airmata walau setetes. Surat dari Gala telah berulang-ulang dibaca. Takut ada yang terlewat dari kabar suaminya itu. Kabar dari alam Aceh pun begitu menguras perasaan dan meremukkan hati.

Surat dan bencana alam sudah cukup membuat Tarla kalah telak. Nyawa Tarla bagai dicabut dalam sekejap. Diam tak bersuara bahkan tidak bergumam, namun bukan mati. Ditengadah wajahnya dari tutupan jemari tangannya. Tak akan secepat itu. sebuah tunas kekuatan cinta muncul dengan seikat janji.

“aku harus mencarinya”.

 

 

Surabaya, malam 24 April-2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.