Konsep keberadaan sebuah Negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyatnya (welfare state). Terlepas dari tujuan lainnya,baik itu eksistensi, keamanan warga negara dan hal lainnya, hakekatnya negara terbentuk adalah upaya-upaya memastikan terjaminnya pelayanan negara (public service) terhadap rakyatnya, yang muaranya adalah kesejahteraan dan terwujudnya distribusi keadilan dan kemakmuran secara merata.
Dalam sistem pemerintahan republik Indonesia, terbagi atas satuan-satuan daerah otonom yang meliputi Provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi serta kabupaten/kota adalah bentuk pendelegasian beberapa wewenang pemerintah pusat di daerah yang diamanahkan pada pemerintah Provinsi (pemprov) dan pemerintahan Kabupaten (pemkab).
Menjadi sebuah keharusan bahwa satuan – satuan pemerintahan yang dibentuk adalah kepanjangan “tangan” Negara dalam memastikan bahwa rakyat harus terlayani, rakyat sebagai pembayar pajak adalah satu komponen yang berhak menerima pelayanan yang optimal dari elemen – elemen aparatur negara.
Dimensi pelayanan begitu luas, makna pelayanan hakekatnya begitu mulia. Manakala hal – hal tersebut tidak terpenuhi, maka bukan tidak mungkin akan membuka ruang lahirnya keinginan – keinginan masyarakat yang menuntut akan terjadinya maksimalisasi pelayanan dan optimalisasi “kehadiran” negara dalam sendi – sendi kehidupan masyarakat.
Begitu pula halnya dengan tuntutan Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (Provinsi ALA). Pembentukan Provinsi pemekaran, sebelumnya harus didahului dengan disusunya RUU. Dan pada dasarnya tuntutan pemekaran sama sekali tidak bertentangan dengan UU PA. Dalam ( UU PA)UU No.11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh, pasal 8 angka (2) “Rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan presiden.” Kemudian dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (3)
“Yang dimaksud dengan kebijakan administratif dalam ketentuan ini adalah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya, hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang ini seperti PEMEKARAN WILAYAH, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh”.
Artinya, secara Undang – undang, khususnya UU PA, bahwa Peluang pemekaran Provinsi di Wilayah Aceh adalah satu hal yang sangat mungkin bahkan tidak bertentangan dengan UU PA, lebih tegas lagi bahwa hanya Bersifat Konsultasi dan Pertimbangan dari DPRA dan Gubernur,yang dalam prosesnya didahului oleh PerPres(Peraturan Presiden).
Kemudian dalam konteks kekinian peluang lahirnya Provinsi ALA juga didukung oleh UU No.23 Tahun 2014. Dalam pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa “Pembentukan daerah dan penyesuaian Daerah dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional”. Lebih lanjut dalam pasal 49 disebutkan bahwa “Pembentukan Daerah berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional; berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Artinya jelaslah sudah bahwa,baik UUPA ( UU No.11 Tahun 2006) maupun UU No.23 Tahun 2014 membuka ruang yang terbuka akan lahirnya pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA).
Sejauh ini tentu kita berharap besar bahwa, wakil – wakil rakyat dari tengah tenggara Aceh, dapat memberikan masukan yang berarti pada pemerintah pusat (Presiden) dan kementrian terkait agar upaya – upaya pemekaran Provinsi ALA dapat lebih dikedepankan. Walaupun saat ini RUU Pemekaran Provinsi ALA belum tercantum dalam Prolegnas 2014 – 2019, akan tetapi peluang masuknya RUU Pemekaran ALA masih terbuka luas dalam RUU Kumulatif DPRRI, jadi peluang itu sangat terbuka luas.
Dengan potensi Ekonomi, sosial budaya dan sumber daya alam yang melimpah, serta posisinya yang strategis dalam Negara Kesatuan republik indonesia kiranya seharusnya bukanlah sesuatu yang niscaya manakala rakyat Tengah tenggara Aceh mengingikan pemekaran ALA. Pemekaran bukan semata-mata keinginan elit dan kelompok-kelompok, melainkan sebuah kebutuhan masyarakat ALA.
Pemekaran adalah upaya maksimalisasi pelayanan Negara tehadap rakyatnya,sebagaimana telah diulas diawal tulisan ini. Pemekaran adalah salah satu upaya mempersingkat rentang kendali pemerintahan. Pemekaran adalah salahsatu upaya membuka sentral – sentral ekonomi baru bagi masyarakat. Pemekaran adalah bentuk – bentuk desentralisasi pemerintahan, sebagaimana bunyi UU No.23 Tahun 2014 pasal 31 “(1) Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan penataan Daerah.
(2) Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk: mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah, Serta memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah.
Tentunya, semua proses kita harapkan dengan damai, terjadinya sinegisitas yang harmoni. Karena sedari awal tulisan ini kami sampaikan bahwa, hakekat tujuan negara didirikan adalah guna kemakmuran rakyatnya, guna terlayaninya rakyat secara maksimal. Perlu dicamkan bahwa, pemekaran bukan pemisahan, melainkan adalah mempersempit batas – batas administrasi pemerintahan,guna maksimalisasi pelayanan publik.
Pemekaran ALA adalah Solusi dari kesemua itu, Pemekaran ALA adalah masa depan Tengah Tenggara Aceh,dan itu adalah kebutuhan Masyarakat.
Penulis; Ketua DPD PA GMNI ACEH.
Ide boleh saja berbeda tetapi harus tetap pada bingkai yang sama, ide pembentukan provinsi ALA pada satu sisi adalah seperti yang tercermin pada arikel saudara Yunadi HR, S.IP di atas WELFARE. Namun kita juga harus realistis melihat kemampuan kita SEKARANG. SDM contoh, berapa % kah pelaku usaha penduduk lokal? Pendapatan, berapakah PAD Aceh Tengah saja misalnya? Dari segi infrastruktur hampir 80% lalu lintas barang dan jasa wilayah tengah itu melalui daerah pesisir Aceh bagian Utara. Bukan anti dengan pemekaran, toh masih dalam bingkai yang sama klo pun beda provinsi. Jangan sampai pemekaran hanya menggeser administrasi birokrat dan percaturan politik skala provinsi ke halaman rumah kita, karena sesungguhnya Otonomi itu ada pada level Kabupaten/Kota. Sangat klise ketika kita berfikir bahwa WELFARE dapat dicapai dengan pemekaran. Hal yang paling sederhana, marilah secara jujur kita lihat postur APBK Aceh Tengah Tahun 2015 saja. Cobalah lihat, brp persenkah untuk capacity building? Sebagian besar tersedot ke bidang fisik, gaji PNS dan operasional rutin. Ike nge ken provinsi bolue tamah kol wa, mari kita manfaatkan dulu bolu2 yang ada secara optimal dan tepat sasaran, bangun dulu SDM yg handal, infrastruktur yg kuat. Dorong wakil2 kita di DPRA dari wilayah tenggah untuk memperjuangkan pembangunan dapilnya, jgn cuma mengharapkan aspirasi yang tidak seberapa. Wakil yg di pusat tarik APBN masuk ke wilayah tengah dan Pemerintah lokalpun jemput dengan serius. Ini one male tender baru nos perencanaan teknis, penyerapan anggaran joblok… silva wa si puter2 ton ku ton, ta kune male maju, sen si ara gere temenen, ado ine… bohmi ge. Turah seber…klo lha memang pemekaran sdh menjadi hajat hidup wilayah tengah baru kita gagas dengan pede dan bkn memelas seolah2 kita anak bawang yang butuh jatah makan lbh besar. Malu.