Ayo Menulis Berbahasa Gayo

Dr.Domenyk Eades, yang menyelesaikan Ph D dalam bidang linguitik di University of Melbourne pernah mengingatkan masyarakat Gayo. Domenyk mewanti-wanti kepunahan basa Gayo yang harus segera diantisipasi dengan berbagai cara.

Ungkapan Domenyk disampaikan beberap tahun silam saat bertemu dengan beberapa kalangan masyarakat Aceh Tengah di Bale Pendari Takengon yang digagas Zulfikar Ahmad dan Iwan Bahagia.

Domenyk adalah  penulis tata bahasa Gayo, ( A grammar of Gayo, a language of Aceh, Sumatera) yang dikarang Dr.Domenyk Eades.BA (Hons) Ph D (Melb) , Asistent Professor, Lecturer in Linguitic and Translation Studies. College of Arts and Social Sciences, Sultan Qaboss University, selama tujuh tahun.

“Minimnya literature tentang Gayo membuat saya tertarik mempelajari bahasa Gayo”, ujar Yusuf nama Islam Domenyk setelah mengucap syahadat dihadapan puluhan peserta tidak resmi malam itu.

Guna melestarikan bahasa Gayo, menurut Yusuf, saat ini perlu ditulis buku dalam bahasa Gayo dan kembali menuliskan dongeng, sejarah dan budaya dari nara sumber yang masih hidup, bila tidak ingin bahasa Gayo hilang.

“Begitu banyak sudah bahasa hilang di dunia. Akankah bahasa Gayo juga demikian”, tanya Yusuf pada Zulfikar Ahmad ST , staf Bappeda kala itu yang mendampingi Yusuf dalam bahasa Inggris.

Gayo bisa disebut sebuah bangsa karena memiliki wilayah (Kerajaan Linge) , bahasa (Basa Gayo) dan sistim pemerintahan sendiri dengan apa yang disebut “Sarak Opat”.Dalam buku Syukri,MA, terbitan Hijri Pustaka Utama, Jakarta tahun 2009, disebutkan,  Seorang Raja berkewajiban menegakkan dan memelihara keadilan dalam memimpin rakyat. Imam berkewajiban dalam melaksanakan Syariat Islam secara kaffah dan Istiqamah.

Petua (Petue-Red) berkewajiban menyelidiki dan meneliti keadaan rakyat. Dan Rakyat berkewajiban melaksanakan musyaawarah atau demokrasi untuk mencapai kata mupakat bulat.

Ditulis Syukri,MA, sistim politik pemerintahan Sarakopat di Gayo adalah sustu sistim berdasarkan hukum adat yang selaras dengan Syariat Islam. Kedudukan Reje (Raja) adalah pemangku adapt.

Semua kekuasaan  berada di tangan Reje. Reje sebagai kepala Pemerintahan, juga sebagai kepala Agama. Suatu pemerintahan berdasarkan “sistim feudal” yang dilaksanakan secara “Monarchiheridetis” (Kerajaan turun temurun)

Susunan pemerintahan berdasarkan republic-republik yang “patrilineaal” (Melalui keturunan garis bapak) dan “Patriachaal” (melalui nenek moyang). Pun begitu, Reje tidak boleh bertindak sewenang-wenang, karena dia harus mentaati hokum adapt dan prinsip musyawarah atau disebut, “keramat mupakat behu berdedele” (mufakat atau musyawarah adalah sumber kekuatan dan demokrasi dan merupakan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat Gayo).

Masalahnya kemudian adalah kekayaan Gayo sebagai sebuah suku bangsa nyaris tak mampu dipertahankan oleh generasi terkini bangsa ini. Kenapa ?. Seperti yang diungkapkan Domenyk, saat melakukan penelitian di Takengon puluhan tahun silam, masyarakat Gayo yang permissive tak kuat menahan budaya asing.

Lalu melupakan jatidirnya dengan tidak lagi menggunakan bahasa Ibu (Gayo) dalam kehidupan sehari-hari. Tapi malah memakai bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari ditengah keluarga Gayo.

Alasannya sangat simple, takut dibilang tidak modern atau kampungan?.Iklil Ilyas Leube , dalam sebuah kesempatan mendeklarasikan pencalonan dirinya menjadi calon bupati , menyatakan secara lebih tegas bahwa satu generasi Gayo sudah hilang. Iklil Ilyas Leube memberi bukti saat ini begitu sulit mencari tokoh atau orang ditengah masyarakat Gayo yang bisa dijadikan pemangku adat (tokoh adat) dan imem (imam). Satu generasi Gayo hilang.

“Gayo tidak mempersiapkan diri mengisi sendi-sendi hokum adat dan agama. Berbeda dengan di Pesisir Aceh yang masih menjaga adat dan tradisi”, kata Iklil. Ini adalah sebuah bentuk kekuatiran. Kekuatiran yang dibuktikan fakta.

Domenyk alias Yusuf memberi solusi mempertahankan adat dan kebudayaan Gayo , khususnya basa Gayo tidak hilang dari peta bahasa dan adat dunia. Caranya dengan mulai menulis buku atau apa saja berbahasa Gayo.

——————————–

Guna menulis dalam bahasa Gayo tentu harus ada kesepamaham dalam menggunakan hurup-hurup, baik konsonan maupun vocal. Masalahnya adalah, penggunaan hurup hidup dalam bahasa Gayo, seperti a, i, u,e, dan o.

Kesulitan utama menggunakan hurup hidup dirasakan pada beberapa hurup. Misalnya e. Úéë ə . Demikian halnya O.Ada Ö. Dalam buku Kamus Bahasa Gayo-Indonesia yang ditulis M.J.Melalatoa, Jakarta tahun 1982, masih menggunakan mesin ketik, dituliskan juga hurup “ng” dengan tanda khusus seperti y. Tapi dibaca ng.

Menurut Ipol, seorang antropolog dari Universitas Padjajaran, hurup – hurup hidup  tersebut sudah ada dan baku.Tinggal menyatukan persepsi dari masyarakat Gayo untuk menyepakati penggunaan bersama hurup-hurup tersebut. Sehingga baku dan tidak multi tafsir.

Artinya, ada kesepakatan penggunaan hurup hidup Basa Gayo yang menjadi acuan pemakaian.Hendaknya hurup ini dikeluarkan badan resmi. Karena bila tidak, akan selalu multi tafsir akibat tidak adanya tanda hurup yang digunakan.

Contoh, sedep yang bermakna alat pemotong padi dengan sedep, yang artinya enak.Nah apakah kata sedep, yang berarti alat pemotong padi  = sedəp atau = sedĂšp atau sedĂ©p atau sedĂ«p?. Perlu seorang ahli merumuskan penggunaan e dengan bunyi yang berbeda-beda. Dan tentu saja bermakna berbeda.

Inilah salah satu kendala menuliskan bentuk tulisan berbahasa Gayo yang saya alami. Lebih jauh saya tentu saja ada generasi muda Gayo yang ahli IT yang mau membuat perangkat lunak guna menerjemahkan basa Gayo kedalam bahasa Gayo didunia. Seperti Google translate.

Kembali ke pertemuan dengan Domenyk di Takengon beberapa waktu lalu, seorang warga Takengon, M.Jihad, penduduk Bintang Kecamatan Bintang Aceh Tengah yang mengkuatirkan hilangnya bahasa Gayo dari bahasa di dunia.

Menurut Jihad, bahasa Gayo adalah asset atau harta yang kaya akan kosa kata. “Bahasa Gayo kaya nama”, ujar Jihad sambil mencontohkan, satu kata bahasa Indonesia untuk duduk saja, dalam bahasa Gayo ada tiga padanan. Yaitu, kunul, tempoh, semile.

Dikatakan M.Jihad meski tidak diundang dalam acara tersebut, namun dia sengaja hadir setelah mengetahui acara tersebut dari orang lain karena dianggapnya penting. Bahkan lebih esktrim, dikatakan Jihad, sebelum Rasulullah SAW lahir, tutur bahasa Gayo yang lebih dikenal dengan sebutan “peri berabun”, sudah ada.

Meski sudah 10 tahun lalu Domenyk melakukan penelitian tentang bahasa Gayo, namun dalam acara tidak resmi membahas buku tata bahasa Gayo karya Domenyk alias Yusuf, disepakati dengan bahasa Gayo.

Dalam diskusi berbahasa Gayo tersebut, tenyata banyak kalangan mahasiswa dan para hadirin yang justru kesulitan berbahasa Gayo secara penuh dan masih mencampurnya dengan bahasa Indonesia .

“Ini suatu bukti dan argument, sudah banyak kosa kata bahasa Gayo yang tidak lagi digunakan dan cenderung hilang”, papar M.Jihad.

Menurut Domenyk, sejak melakukan penelitian sepuluh tahun silam, sudah ada masyarakat Gayo yang tidak lagi peduli akan budaya , bahasa dan sejarah Gayo karena dianggap tidak berfaedah.

“Kalau bahasa Gayo hilang, maka identitas Gayo juga akan hilang.Masyarakat Gayo akan kehilangan identitas”, tegas Domenyk. Untuk itu, karena bahasa adalah identitas, mulai sekarang, lanjut Domenyk orang Gayo mulai sekarang harus ajarkan anak-anak generasi Gayo berbahasa Gayo dan mulai mengajarkan budaya Gayo.

“Buku dalam bahasa Gayo bisa mendidik anak-anak Gayo untuk tidak kehilangan jatidirinya”, papar Domenyk. Kini, dengan bukunya Yusuf, A grammar of Gayo, a language of Aceh, Sumatera, bahasa Gayo sudah dipelajari di sebuah universitas di Jerman dalam program Linguistic.

Yusradi AlGayoni, salah seorang mahasiswa terbaik USU versi Sampoerna yang kini sudah menyelesaikan Biografi seniman terkenal Gayo, Drs. AR Moese, menjelaskan dia pernah mengumpulkan 60 koleksi buku tentang Gayo dan sekarang sedang membuat kamus bahasa Gayo yang dikumpulkannya berjumlah 6670 kata.
Yusradi meminta agar buku Domenyk tentang tata bahasa Gayo diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia .

Namun menurut Domenyk, hal itu harus diminta ijinnya dengan penerbit yang menangani bukunya.

Kebanyakan para mahasiswa dan peserta yang hadir merasa malu karena bahasa Gayo diteliti bukan oleh masyarakat Gayo, tapi justru diteliti oleh orang luar seperti Domenyk.

Zamzam Mubarak, seorang warga Takengon, mempertanyakan asal muasal bahasa Gayo karena Gayo dianggap mempunyai sebuah peradaban yang besar. Menurut Domenyk, bahasa Gayo masuk dalam kelompok Austronesia . Bahasa Gayo berhubungan dengan bahasa Nias, Mentawai dan Bahasa Batak.
Iwan Bahgie, penyelenggara acara sharing dengan Domenyk menyatakan bahwa acara digelar demi melestarikan bahasa Gayo.

“Setelah mendapat informasi dari Zulfikar Ahmad tentang kehadiran Domenyk bersama keluarganya di Takengon dalam rangka liburan, kami ditawari menjadi fasilitator”, ungkap Iwan.

Di tempat terpisah, Yuhdi Saffuan, alumni Universitas Indonesia yang kini menetap di Takengon, menyatakan, Almarhum, Prof. Yunus Melalatoa, pernah menyatakan dalam sebuah forum mahasiswa Gayo se Indonesia di Yogyakarta tahun 2002 bahwa bahasa Gayo termasuk salah satu bahasa yang akan hilang karena dipengaruhi budaya dan bahasa luar.

“Menurut Prof. Yunus Melalatoa, diperkirakan tahun 2010 keatas bahasa Gayo telah sampai pada titik kritis. Salah satu contohnya jika bertanya pada anak-anak masyarakat Gayo yang berada di perkampungan, sebutan Ama untuk panggilan Bapak, sudah tidak lagi diketahui anak-anak lagi”, ungkap Yuhdi menirukan kekuatiran Prof. Yunus Melalatoa, seorang Antropolog UI, yang kini sudah wafat.Dan belum ada generasi muda Gayo yang menggantikan keahlian Prof M.J.Melalatoa.

Dikatakan Yuhdi Saffuan, apa yang diramalkan Prof. Melalatoa kini sudah terbukti. Hal ini didasarkan pada fakta saat ini, lanjut Yuhdi, anak-anak sekolah dasar di Takengon sudah tidak bisa berbahasa Gayo bahkan orang tuanya menyarankan anak-anak mereka berbahasa Indonesia sehari-hari agar tidak malu bergaul bersama temannya di sekolah.

“Bisa dibayangkan beberapa tahun kedepan, bahasa Gayo sudah tidak lagi popular dan tidak lagi digunakan di Takengon dan akan dilupakan sejarah”, tegas Yuhdi.

Saat ini, meski belum maksimal, para pelajar di Takengon sudah mulai diperkenalkan dengan bahasa Gayo dalam muatan local.

Paling tidak sebuah proses memulai penyelamatan basa Gayo sudah dimulai. Tinggal membesarkan upaya ini secara top down dengan pemrakarsa Pemda melalui Dinas Pendidikan. Agar upaya ini lebih cepat berhasil.

Selain itu, kalangan Pemda dan legislative diharapkan mulai menggunakan bahasa Gayo dalam acara resmi di daerah. Upaya ini pernah dicanangkan Pemda, konon. Tapi hingga kini belum pernah dilakukan dalam sehari membiasakan diri berbahasa Gayo.

Fauzul, seorang pelajar kelas enam di Paya Tumpi Takengon, coba menerjemahkan puisi Fikar W.Eda, Rencong berbahasa Gayo. Aku sempat berpikir bagaimana jika mulai membuat semacam lomba menerjemahkan cerita kedalam bahasa Gayo.

Fauzul menerjemahkan puisi Fikar W Eda terbata-bata dari bahasa Indonesia kedalam bahasa Gayo. Banyak kosa kata bahasa Indonesia, tidak ada dalam memori Fauzul sehingga tetap diucapkan dengan bahasa Indonesia dan dicampur basa Gayo.

Betapa indahnya apabila upaya menyelamatkan basa Gayo segera direalisasikan dalam bentuk nyata, sekecil apapun demi generasi muda Gayo dihari depan. Betapa asyiknya jika lima atau sepuluh tahun kedepan anak-anak kita mampu berbahasa Gayo dengan fsih dan kosa kata yang hilang kembali ke pemiliknya. Umpamanya, tingkep, satni, laneh,kelop, bang (azan), nete (muniru), bersere, belanga kancah, keletek, muselgep, berjunte, sak (kantong) kelati, gomoh, rupe, salak, jongor, langis, tengil, edes, tasik, tetajuren, lompong, mujek, mejek, sogom, kite, tete, bejamu, jingki, alur, dora-dora kilik, mudongkor, muropa, musentat , serlah, kelamun, sesongoten, agur,singil, mujarel, lumpe, tikon, luge,sige,mujeje,  dan sejumlah kata yang hilang ditelan jaman (Win Ruhdi Bathin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.