Takengen | Lintas Gayo – pengemis memadati ruas-ruas protokol Kota dataran tinggi gayo . Mereka datang dari berbagai daerah untuk mengais rupiah dari pesisir Aceh,
Jika menilik pada penampilan kesehariannya di rumah, saiful (58) , tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa dirinya kerap bereaksi dengan mengharap belas kasihan orang alias mengemis. Bahkan, tetangganya di sigli pun hanya mengetahui pria yang sudah memiliki seorang cucu itu bekerja di Takengen.
Dari perbincangan di sekitar kawasan terminal terpadu paya ilang Takengen, pasar baleatu , saiful pun mengaku sudah bertahun-tahun menjalankan profesi samarannya sebagai pengemis. Ia pun mengaku, tidak seorang pun tetangganya yang tahu pekerjaan sehari-harinya.
Hal itu, memang sengaja ia sembunyikan. Malu, tentu saja, menjadi alasan utamanya. Tapi, di sisi lain, ia pun tak menampik bahwa tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendorongnya menjalani profesi tersebut. (17/04/2016)
Iful menuturkan, dirinya meninggalkan Sigli dan kerap menghabiskan satu hingga dua minggu di Takengen untuk ‘bekerja’. Dalam rentan waktu itu, iful mengaku mampu meraup rupiah setidaknya Rp 3-4 juta.
“Itu sudah dihitung uang makan dan biaya lain-lain selama di takengen,” ujar iful
iful menyatakan, di momen puasa hingga mendekati Lebaran ini adalah momen yang sangat menjanjikan dan sayang untuk dilewatkan begitu saja. Pasalnya, rupiah yang mampu ia bawa pulang bisa berlipat ganda dari hari biasa.
“Ya ngemisnya di sekitar di terminal paya ilang dan pasar paya ilang ini saja. Tidak jauh-jauh,” singkat dia.
Untuk mendapatkan rasa iba dari orang lain, ia pun sudah menyiapkan berbagai ‘perbekalan’ dan merombak habis penampilannya ketika ‘bereaksi’ hingga nyaris tidak bisa dikenali oleh tetangganya dari sigli.
Ketika berangkat dari rumah, ia mengaku mengenakan pakaian yang layak dan tidak terlalu mencolok lengkap dengan sepatu dan sebuah jaket. Tidak lupa, sebuah tas ransel pun kerap dibawanya.
“Isinya ya sejumlah pakaian untuk mengemis di kota takengen. Kalau sudah sampai di sana ya baru ganti bajunya. Kalau dari sini pake baju biasa,” jelas dia polos.
Iful mengaku, ia sengaja melakoni profesi mengemis itu lantaran sulit untuk mencari pekerjaan. Ditambah, dengan mengemis, menurutnya, lebih mudah untuk mendapatkan uang.
“Yang penting tidak mencuri,” kilah dia. Di depan orang-orang, ia memilih untuk kerap beraksi dengan memasang ekspresi memelas. Bahkan, agar lebih meyakinkan, ia pun menambah kesan cacat kaki dan tidak lancar berjalan.
Dengan profesi yang dilakoninya itu, sampai hari ini, baik istri maupun anaknya pun tidak seorang pun mengetahuinya. Dan, ketiga anaknya pun mampu ia sekolahkan hingga lulus serta memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Jauh di dalam hatinya, iful berharap, tidak akan ada keturunannya yang bakal menjalani kehidupan ganda serupa yang ia jalani itu. Karena itu, ia lebih memilih untuk mengumpulkan uang hasil mengemisnya itu untuk diinvestasikan tanah dan sawah.
“Yang bisa memberikan warisan kepada anak-anak saya. Lebih baik saya mengemis dari pada korupsi,” tegas dia.
Berbeda, cut (78) sebut saja demikian, mengaku terpaksa mengemis sejak 2011 lalu lantaran ia memang tidak mampu secara ekonomi. Tapi ia memilih untuk mengemis di sekitar pom binsi di depan Kantor Pemerintah Kabupaten acih tengah.
Sebagai ‘legalitas’ untuknya mengemis itu, ia mendapatkan surat keterangan dari pihak desa tempat ia tinggal sebagai warga yang memang bisa mengkaryakan dirinya sendiri untuk mendapatkan uang.
“Ini selalu saya bawa setiap hari. Ini kan surat keterangan dari kepala desa saya,” ujar dia.
Menurut cut, surat keterangan serupa yang dikantonginya dari kepala desa itu bukan hanya didapatkan oleh dirinya saja. Sepengetahuannya, ada sejumlah warga desa lainnya yang juga memiliki ‘surat sakti’ tersebut.
“Ada warga yang lain juga. Tapi tempatnya mengemis saya tidak tahu di mana,” jelas cut.
Setiap hari, ia pun berangkat dari rumahnya di Kecamatan lut tawar dan bebesen pada pagi hari dan baru akan pulang menjelang maghrib. Dalam sehari itu, ia bisa mendapatkan uang antara Rp 200-Rp350 ribu per hari.
Uang itu, dianggapnya sudah cukup lumayan untuk menutup biaya hidupnya bersama suami, empat anak . Bahkan, terkadang, cut juga bisa menyisihkan sebagian ‘gajinya’ itu untuk ditabung. Tujuannya, ia bisa membeli sawah suatu saat nanti.
“Untungnya anak saya sudah selesai sekolah semua,” kata dia.
Nur (bukan nama sebenarnya,red), perempuan muda usia sekitar dua puluhan tahun yang juga ‘mangkal’ di sekitar Pasar petani paya ilang atau lapu merah sma satu bebesen mengaku sudah lupa berapa lama ia mulai mengemis. Yang jelas, kedua orangtua dan dua orang kakaknya juga menjalani profesi yang sama, yakni pengemis.
“Saya orang tidak mampu. Orangtua dan saudara saya juga mengemis. Suami saya tidak tahu ke mana,” terang dia yang selalu membawa serta anak perempuannya yang berusia kurang dari dua tahun itu.
Nur mengatakan, ia tidak tahu harus bekerja apa untuk mendapatkan uang. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah dengan mengemis, seperti halnya kedua orangtua dan saudaranya yang lain.
“Kalau saya mampu juga tidak mau mengemis seperti ini. Saya malu,” ucapnya lirih (Kayu Kul)