Oleh: *Mansyur Ramadhan
Persepsi salah tentang biaya pernikahan oleh masyarakat menjadi sebuah dilema dan problematika yang tak kunjung usai. Dalam pandangan masyarakat biaya pernikahan yang dikenakan Kantor Urusan Agama (KUA), dianggap memberatkan calon pengantin dalam melangsungkan pernikahan.
Paradigma yang dibangun masyarakat bahwa urusan nikah diluar KUA sangatlah mahal kalau dalam konteks membayar dana transportasi para penghulu. Sehingga, dalam perkembangannya banyak terjadi miss komunikasi dan tak jarang menjadi ajang silang pendapat antara calon pengantin dan petugas KUA.
Sebenarnya permasalahan ini menjadi lebih krusial tatkala sebelah pihak menyematkan sikap tak simpatik terhadap pihak lainnya dalam hal ini adalah KUA. Padahal keputusan besaran biaya pernikahan ini tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2014. Kesepakatan terdiri dari Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang diterbitkan pada tanggal 27 Juni 2014.
Ketidaktahuan masyarakat ini berakibat terhadap pandangan masyarakat yang memandang Kantor Urusan Agama tidak ikhlas dalam mengemban tugas. Dan condong mengedepankan materi dalam urusan nikah menikahkan, sehingga esensi dari nilai ajaran agama yang disematkan oleh petugas KUA dalam hal ini adalah penghulu dianggap menciderai nilai agama tersebut.
*Kemana Alokasi Dana Nikah
Pertanyaan yang terbesit tentang biaya nikah ini adalah kemanakah alokasi dana pernikahan ini di peruntukan?, dan bagaimana mekanisme penyaluran dana nikah?. Dana nikah yang di anggap masyarakat ini terlalu besar telah diatur tentang mekanisme pemanfaatan alokasi dana tersebut yang masuk dalam katagori Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama.
Mekanisme perutukan alokasi dana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 71 Tahun 2009 BAB IV Pasal 5 ayat (2), Pertama untuk Peningkatan SDM dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan Nikah Rujuk (NR) kepada masyarakat, kedua untuk Pelayanan dan bimbingan dibidang perkawinan serta penegakan hukum, Ketiga untuk Investasi yang berkaitan dengan kegiatan NR, Keempat untuk Pemeliharaan, perbaikan kantor, gedung dan investasi lainnya lainnya yang berkaitan dengan pelayanan NR, dan Kelima untuk Operasional perkantoran dalam rangka meningkatkan pelayanan NR serta transport Penghulu, pegawai dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).
Mengenai peryataan miring masyarakat tentang besaran biaya nikah, sebenarnya masyarakat tidak juga bisa disalahkan. Ada beberapa alasan yang bisa menguatkan hal tersebut yakni:
- Beban nikah dalam tradisi masyarakat yang terlalu eksklusif, seperti beban mahar yang tinggi. Kecondongan kita sebagai bangsa Indonesia, bahwa semakin tinggi mahar yang kita berikan semakin tinggi pula tingkat apresiasi dilingkungan sekitarnya.
- Masyarakat matrealis, bahwa seberapa besar ukuran dari makmurnya masyarakat tersebut. Akibatnya, masyarakat berlomba-lomba dalam melaksanakan tradisi pernikahan meskipun memakan biaya yang besar, dalam upaya untuk pengakuan mobilitasnya.
- Pernikahan dalam pandangan masyarakat adalah sesuatu yang sakral dan merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan oleh agama bahkan penyempurna iman. Sehingga, apabila yang berketerkaitan tentang agama semasa konteksnya bersifat materi, masyarakat menganggap para aktor yang terlibat lebih mengedepankan keinginan manusiawi ketimbang profesi yang diembannya sebagai perantara penyempurnaan keimanan.
Pada konteks masyarakat di atas, bisa dimaklumi karena beban pernikahan yang besar, berakibat terhadap sinisme masyarakat terhadap embel-embel pemerintahan yang membawahi bidang keagamaan.
Padahal alokasi dana tersebut di embankan negara untuk rakyatnya guna keperluan untuk gaji pegawai Kantor Urusan Agama, operasional urusan nikah menikahkan, dana transportasi penghulu serta keperluan yang bersifat infrastruktur.
*Urgensi Penghulu serta manfaat Jasa Penghulu
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, pelaksanaan pernikahan/perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan penghulu. Upacara pernikahan di mana seorang penghulu menjadi pimpinan, adalah suatu kegiatan yang sangat sakral dalam pandangan masyarakat Indonesia. Jika seorang Penghulu harus menikahkan seseorang dengan jarak yang cukup jauh dari kantor dengan alasan membutuhkan biaya transportasi adalah hal yang wajar. Tetapi akan tidak wajar apabila biaya untuk transport itu sendiri tidak terukur, atau tidak ditetapkan oleh Pemerintah atau Kepala KUA sebagai pemegang kewenangan.
Dalam prosesi upacara nikah, sang penghulu biasa didaulat untuk memberikaan khutbah nikah dan membacakan doa. Suatu kegiatan yang tidak ternilai harganya di mata masyarakat. Ini bukan soal titipan, atau pemaksaan, tetapi amanah yang didasarkan pada ajaran agama.
Tugas Penghulu yakni melakukan pendaftaran, pencatatan, dan pengawasan pelaksanaan pernikahan/perkawinan. Dengan demikian fungsi penghulu sangat strategis dan menentukan dalam keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Departemen Agama di bidang pernikahan/perkawinan dan pembinaan keluarga sakinah mawaddah warrahmah.
Sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang harus dilayani oleh penghulu, fungsi penghulu selain melakukan pencatatan dan pengawasan perkawinan, juga memberikan bimbingan terhadap calon pengantin, dan penasihatan perkawinan. Kepadanya pula sering dimintakan tausyiah pembinaan keluarga sakinah dan penyelesaian perselisihan perkawinan. Penghulu dalam pandangan masyarakat, tidak jarang juga dipandang mampu berperan sebagai pemuka agama Islam di wilayahnya dan menjadi panutan masyarakat.
Urgensi penghulu serta jasa-jasanya tersebut tidak bisa dianggap sesuatu yang mengada-ngada bahkan porsinya lebih dari itu. Bisa dikatakan penghulu lah yang menyematkan serta mengesahkan masyarakat untuk bertitel suami dan bertitel istri dalam bingkai berumah tangga, dan saya rasa itu adalah hal yang sangat luar biasa.
*Pegawai Honorer Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kota Takengen Aceh Tengah