Oleh. Dwi Setiawan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) “Rakyat yang merasa tertekan dengan keadaan dan aparat yang berusaha menjalankan tugas sesuai kebijakan yang diterapkan. Siapa yang harus disalahkan karena ini? Ini petanyaan promblematik, ketika Bagi Rata (Bara) di terapkan pada saat pandemi.
Upaya memutuskan rantai penyebaran virus corona terus dilakukan di semua level. Masyarakat bersatu padu menjalankan dan mematuhi intruksi baik dari pemerintah pusat dan daerah.
Dampak virus corona hampir semua mengena pada Semua aspek kehidupan. Sehingga mendorong masyarakat pentingnya menyadari kesehatan. Tapi disisi lain timbul masalah ekonomi dan sosial. Secara ekonomi dampak terlibat pada usaha masyarakat, kemiskinan, bahkan sebagaian tidak lagi memiliki pekerjaan. Secara sosial berpotensi menimbulkan konflik sosial yang cukup besar disebabkan kemiskinan dan kebijakan pemerintah tidak aspiratif dan tepat menangani masyarakat terdampak pandemi.
Saat yang sama kurang optimalnya pemerintah dalam meminimalisir dampak khususnya ekonomi. pemerintah kerap dianggap gagal dalam mengendalikan ekonomi terkait dengan harga kopi yang menjadi komoditas penghasilan rata-rata terbesar masyarakat Bener Meriah. Resi Gudang yang telah lama dijanjikan sebagai solusi utama, namun hingga kini belum ada bukti kejelasannya.
Kemudian kebijakan yang ditempuh pemerintah lainnya adalah menyangkut ketahanan pangan yang lebih banyak direspon negatif oleh masyarakat karena seolah akan meniadakan BLT.
Belum lagi menyangkut tentang pelaksanaan penyaluran bantuan tersebut. Jika tidak dilakukan secara baik, adil, dan bijaksana, maka akan timbul stigma saling menyalahkan dan akan muncul sikap kecemburuan sosial. Ujungnya bisa mengarah pada konflik sosial. Mungkin juga konflik vertikal karna sebagian masyarakat akan menuduh pemerintah tidak adil dan tidak benar dalam menyalurkan bantuan tersebut.
Salah-salah dalam memberikan kebijakan bantuan, ujung-ujungnya yang dikhawatirkan adalah risiko konflik sosial di level bawah. Ini sangat mungkin terjadi, terutama antara aparat atau birokrat dengan Rakyat terdampak. Rakyat yang merasa tertekan dengan keadaan, aparat yang berusaha menjalankan tugas sesuai kebijakan yang diterapkan. Ini yang disebut dengan pemerintah yang dilema.
Akhirnya masyarakat juga menjadi korban dari kebijakan yang diterapkan. Kriteria yang selama ini jadi acuan di level nasional harusnya jadi pertimbangan penting. Karena kondisi sosial, jarak dan lokasi yang berbeda adalah bagian penting untuk dilihat. Kriteria miskin seharusnya ditetapkan oleh Desa, sehingga tak menimbulkan kecemburuan sosial. Dan pemerintah desa desa melalui musyawarah desa untuk menetapkan penyalurannya.
Hal ini harus dibarengi dengan pengawasan sehingga tidak menimbulkan penyelewengan kepentingan.
Karenanya, perbaiki dan akurasi data kelompok rentan harus dilakukan, agar dalam implementasi tidak menimbulkan konflik sosial atau kecemburuan sosial di level masyarakat bawah.
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bener Meriah dan Takengon (IPMABEMTA) Kota Langsa.