Drs. Jamhuri, MA*
Hari minggu (3/07) pagi saya berjalan kaki selama lebih kurang setengah jam, jalan kaki ini saya lakukan setiap hari dengan ukuran waktu yang relatif sama. Sampai di rumah saya melihat buku-buku tidak tersusun rapi, ada di meja tamu, ada di ruang TV, dan ada juga yang di atas meja belajar tetapi juga tidak tersusun. Semua ini saya benahi sambil menyapu rumah dan membuat tata letak meja belajar yang biasa menghadap ke barat kini berpindah menghadap ke utara.
Saya susun buku-buku itu dengan rapi tanpa memperhatikan letak berdasarkan judulnya, karena buku yang ada tidak hanya untuk satu bidang ilmu, mulai dari buku sosiologi sampai kepada buku filsafat. Banyak juga kertas-kertas yang seharusnya jadi barang bekas tapi masih bergabung dengan lembaran yang harus dibaca.
Anak-anak yang kecil bermain sambil berlari di dalam dan keluar rumah, sambil duduk selesai membersihkan rumah dan menyusun buku saya berpikir, dan bertanya jadi apa mereka nanti ? kalau saudara sepupunya yang hidup di kampung melihat bagaimana orang tuanya menanam caplak, menanam tomat, menanam kol, dan lain-lain. Tapi mereka melihat saya setiap pagi pergi ke kantor, siang dan bahkan sore hari pulang, mereka tidak melihat bagaimana pekerjaan yang saya lakukan sehingga menghasilkan uang, namun apa yang saya pikirkan mereka sudah tahu, buktinya mereka senang dengan apa yang dilakukan.
Setiap orang tua selalu berpikir, jadi apa mereka nanti ? persaingan kehidupan semakin berat, apa yang harus dipersiapkan untuk mereka ? kekhawatiran demi kekhawatiran terhadap masa depan mereka berkecamuk dalam pikiran. Kadang-kadang muncul kesadaran, bukankah Allah lebih tahu akan jadi apa mereka nanti, bukankah Allah telah menentukan rizki mereka. Tapi kegelisahan dalam pikiran muncul lagi, ketika teringat firman Allah nasib seorang manusia tidak akan berubah kecuali manusia itu sendiri yang merubahnya.
Perasaan takut muncul ketika ingin berbuat untuk mempersiapkan masa depan mereka, takut nanti apa yang kita persiapkan terlalu membebani mereka, karena memang belum masanya untuk melakukan itu. Kalaulah kita tidak membebani mereka, sedang dimata kita terbayang terus bagaimana cepatnya perubahan masa ini. Sebagai contoh kita ambil, bagaimana orang Aceh tidak terbayang bagaimana cepatnya perkembangan Aceh setelah tsunami, sekolah yang bertaraf internasional muncul dengan jumlah yang tidak terhitung, makanan-makanan (kuliner) dari luar Aceh masuk dengan berbagai macam nama. Akibatnya orang bersedia mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pendidikan, karena memang sekolah yang mutunya bagus biayanya juga mahal. Orang Aceh hari ini tidak lagi makan pada warung-warung tradisional, yang menyediakan engkut paya, pliek ue, masam keueng dan belacan.
Setelah tanda titik di keybord laptop saya tekan tiba-tiban bunyi hp tanda SMS (pesan singkat) masuk, dalam pesan singkat itu tertulis “pak. Jmpt. Ya”. Pesan ini dari anak tertua, yang kebetulan paginya pergi mengambil Ijazah di sekolah MTsN Model Banda Aceh, saya jawab”tunggu”. Saya dan tiga orang adiknya menjemputnya di sekolah, ketika nilai ijazahnya saya tanya ia menjawab nilainya bagus, saya sahut dengan Alhamdulillah (dalam hati).
Sebelum keluar pengumuman lulus ia telah mengikuti testing di MAN 1 Banda Aceh dan lulus, ini berbeda dengan system sekolah masa-masa kita dahulu, dimana sesorang baru bisa test atau mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi harus memegang ijazah (kertas tanda tamat belajar), dalam benak saya terpikir biarlah anak saya sekolah di sekolah agama sampai jenjang SLTA, sesudah itu nanti diberi kebebasan untuk kuliah di Universitas atau jurusan sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
Tolak ukur kemajuan dunia adalah teknologi, karena itu kita tidak dapat menguasai dunia bila tidak menguasai teknologi. Wapres Boediono menyebutkan dalam Harian Serambi Indonesia ( minggu 3 Juli 2011) hlm. 18, bahwa “kemunduran yang terjadi selama 200 tahun terakhir ini tidak lain karena umat Islam telah lalai mengamalkan ajaran Islam yang memberikan kedudukan tinggi pada ilmu dan iptek”. Namun kekhawatiran akan masa depan anak-anak bukan saja pada jadi apa dia nanti bahkan lebih dari itu bagaimana dia nanti.
Saya pernah mengungkapkan perasaan kekhawatiran ini kepada pak Al Yasa (panggilan akrab Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA), Nampak dari raut wajahnya dia mempunyai perasaan yang sama dengan apa yang saya pikirkan, dan ia menjawab singkat “kita harus bekali mereka”. Pertanyaan yang sama pernah saya diskusikan dengan kawan seasrama ketika kuliah, dan sekarang sudah menjadi guru (pak Abdi : Guru Kimia)di MAN Simpang tiga Redelong, beliau menjawab pemikiran seperti itu beralasan, dan seharusnyalah kita memikirkan hal itu karena masa depan anak sangat ditentukan dari hari ini, malah yang tidak terbayangkan bagi kita bagaimana bila ada orang yang tidak memikirkan masa depan anaknya, tentu saja mereka tidak akan mempersiapkan bekal untuk anaknya.
Di akhir dari tulisan ini saya berpikir, sebenarnya apa yang dicari dalam hidup ini sehingga banyak sekali energy yang dihabiskan untuk memikirkannya. Apakah harta, karena banyak sekali orang-orang yang anaknya masih kecil sudah disiapkan rumah, kebun dan mobil yang dibeli mengatas namakan anaknya, badan usaha yang dibuat juga atas nama anaknya. Pekerjaan atau jabatan, tidak sedikit orang sekarang memadakan pendidikan anaknya dengan mendapatkan pekerjaan. Lalu sebenarnya apa yang dicari ? Sementara saya berpikir ilmulah yang harus dicari, dan ilmu jugalah yang akan kita persiapkan kepada anak-anak kita. Karena dengan ilmu harta akan dia dapat dan dengan ilmu pula pekerjaan dan jabatan akat datang.
Nabi Muhammad berpesan, “jika kamu menginginkan kemewahan dunia maka kamu harus punya ilmu, jika kamu menghendaki kesenangan akhirat harus punya ilmu, juga kamu meraih kemewahan dunia dan kesenangan akhirat juga dengan ilmu”. Dan Allah berjanji : “posisi mereka yang berilmu lebih tinggi dari mereka yang tidak berilmu”
*Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh