Suara Itu Sungguh…

Perjalanan menuju Pariaman tidaklah begitu berat, hanya menempuh jarak sekitar 500-an KM atau ditempuh kurang lebih selama sekitar 11 jam dari kotaku. Aku belum pernah kesana dan tidak pernah terfikir akan kesana. Daerah itu terkenal dengan perdagangannya yang luar biasa, ketika pekan menghampiri maka berjibun-jibun banyaknya orang datang. Aku kurang suka dengan keramaian, namun ketika adikku meminta untuk menemaninya ke Desa Koto Marapak yang terletak di Pariaman Tengah aku langsung mengiyakan permohonannya. Aku akan menemaninya untuk menemui keluarga dari sahabat lamanya yang telah tiada.

“Adik harus menyampaikan amanah ini abanganda, karena ini titipan terakhir dari sahabat terdekat adik untuk keluarganya.”

Tak lah susah mencari alamat desa tersebut, bus yang kami tumpangi langsung berhenti di ujung desa. Desa Koto Marapak terasa begitu dekat dan tak asing bagiku. berjejer rumah panggung menyambut kedatangan kami ketika akan memasuki desa yang masih sepi ini. Tepat pukul setengah enam, Adzan mengumandang.

Aku terdiam, sungguh indah suara Adzan itu. Bernari memasuki daun telinganku. Langsung menuju hati dan tenanglah rasanya jiwa ini. Rasa capek di perjalanan hilang sudah, terbayar tuntas-lunas. Seperti isak tangis disana, memecah lamunan yang beku-kaku akan rindu. Ingin secepatnya aku menghadap.

“Kenapa engkau menangis, adikku?”

Lemas badan adikku mendengar suara Adzan yang begitu indah, yang kembali mengingatkan kepada sahabat dekatnya. Kupapah dia, kucari alamatnya, kuurungkan niat untuk Shalat Subuh di Masjid asal suara itu datang.

Ketukan ketiga pak Hasri Caniago membuka pintu, berair matanya. Kami disambut oleh keluarga ramah yang sedang diselimuti duka. Kami langsung berkumpul dengan menghayati cerita adikku tentang sahabatnya. Begitu kental terasa aroma kehilangan.

Dua hari telah lewat, aku ajak adikku pulang namun dia menolak dengan alasan masih ingin menemani ibu sahabatnya. Ada keanehan yang kurasakan, ada yang kurang! Ya…suara Adzan itu kenapa tak terdengar lagi? Kutanyakan kepada pak Hasri.

Ternyata pak Hasri juga tak tahu banyak, akhir-akhir ini saja ada suara Adzan yang begitu indah dan suara itu hanya terdengar ketika subuh, “mungkin hanya suara kaset, nak.” Kata Pak Hasri.

Aku sungguh penasaran, kuceritakan kepada adikku dan dia juga merasa hal yang sama. Ketika mendengarkan suara itu dia merasakan kerinduan yang luar biasa memuncah kepada sang Khalik.

“Abanganda, sudikah abanganda untuk Shalat Subuh di Masjid itu, untuk melihat siapa gerangan pemilik suara emas tersebut.” Pinta adikku. Aku bingung, kenapa dia memintaku untuk melakukannya, tidak aku tanyakan padanya.

Sesuatu memanggilku untuk hadir di Masjid, datang aku lebih cepat untuk menjawab rasa penasaranku. Subuh, aku datang. Masjid Taqwa Muhammadiyah nama tempat tersebut. Suara yang mengajak umat muslim itupun berkumandang mendayu layaknya nyanyian padang pasir, menyihir. Kucari namun tak aku temui asal suara itu. Apa benar ini hanya suara kaset.

***

Kuceritakan pada adikku, namun dia tak percaya. Bahkan dia mengancam takkan mau pulang andai aku tak bisa menemui siapa pemilik suara indah bak zamrud timur itu. Kenapa adikku bisa berubah seperti ini? Kugali lebih dalam, aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Ibu Hasri pun mau menolongku untuk mencari tahu kenapa adikku bisa berubah menjadi keras kepala seperti ini. Tak sampai disitu, tiket untuk seminggu kedepan pun telah ludes terjual. Misteri apa yang Engkau sembunyikan?

Kembali aku datangi Masjid itu, harus aku temui jawaban untuk melegakan penasaranku dan penasaran adikku. Kurang berjalan lancar, ketika aku sampai di Masjid, shalat hampir usai. Kuperhatikan penghuni Masjid, 10 orang, 8 diantaranya adalah sesepuh dan sisanya pemuda baya. Namun tak yakin aku salahsatu dari 2 pemuda itulah pemilik suara sepeti mantra sihir dari langit.

Setelah Masjid sepi, yang tersisa hanya seorang pemuda yang sedang berbincang dengan Imam Shalat Subuh tadi. Berkenalan aku, tenyata dialah pemuda pemilik suara emas nun indah tak tertandingi itu. Bilal namanya. Pemuda yang luar biasa bagiku, tertegun aku melihatnya namun ada kesedihan dihatiku mendengar cerita Imam tentang Bilal. Tak sampai hati rasanya, ingin aku menjadikannya sebagai adik angkatku

Sesampainya di rumah gemuruh hatiku tak mau reda, kenapa bisa seperti ini masalah yang aku hadapi? Sebelum kabar gembira yang akan aku sampaikan kepada adikku tentang pemuda yang aku temui itu, rasa bahagia sirna tanpa jejak. Bimbang dan ragu apa yang akan aku lakukan setalah aku tahu dari bu Hasri; “Adikku mencintai suara itu dan ingin menikahi pemilik suara lembut mendayu tersebut.”

Apa yang harus aku katakan pada adikku? Masalahnya tidak terletak pada layak tidak layak, karena aku masih percaya bahwa jodoh itu di tangan Sang Pangeran. Apa adikku menerima kondisi pemuda yang matanya telah buta dan kakinya yang pincang akibat amputasi.

 “Atau mungkin akulah yang tidak siap?”

Seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang patung handal dengan matanya yang tak mampu melihat/seorang pemuda yang tidak lagi memiliki keluarga, karena telah meninggal akibat kecelakaan saat dia berusia 7 tahun/seorang pemuda yang baru saja datang kekampung ini untuk mencari seorang istri yang mampu menerima keadaannya/seorang pemuda yang tak banyak mau namun bermimpi untuk membahagiakan orang-orang disekitarnya/seorang pemuda yang hafal Al Qur’an namun si pemalu yang bukan main/pemuda yang sungguh sederhana.

Tetap saja, apakah adikku telah siap menerima pemuda itu? Atau aku sendiri yang tak siap. Harus aku cari jawabannya sebelum esok pagi. Karena aku telah berjanji pada adikku untuk menjawabnya setelah aku pulang dari Shalat Subuh di Masjid tempat Bilal mengumandangkan Adzannya.

***

Kuberi kabar ke kota, ayah dan bunda tak keberatan, bapak dan ibu Hasri juga tak keberatan. Kutemui pemuda itu, bertanya aku tentang kesiapannya. Aku tegaskan padanya bahwa tetap adikkulah yang akan mengambil keputusan, aku hanya perantara. Bagaimanapun, pemuda itu harus aku beritahu dahulu sebelum aku menceritakan tentang dia pada adikku. Karena dialah kelak yang memegang tampuk keluarga. Pemuda itu tersenyum dengan meneteskan airmata yang dengan segera dihapusnya. Disalam dan dipeluknya aku.

Kuajak adik keliling kampung. Berbohong aku padanya, karena aku akan mengajaknya ke rumah Bilal. Limabelas KM dari Desa Koto Marapak, hanya dapat dilalui berjalan kaki. Makin kagum aku kepada Bilal, aku tahu dia pasti berjalan setiap hari untuk datang ke Masjid Taqwa mengejar subuh.

Lumayan melelahkan jalan sejauh itu, namun tidak bagi adikku. Dia tetap tersenyum menikmati bentangan alam. Rumah yang cukup rindang di kaki gunung, tak besar juga tak kecil. Dikelilingi pohon damar yang siap dipanen. Anak-anak kecil bermain seolah daerah rumahnya adalah kawasan bermain dan belajar anak-anak desa. Ada sebuah Masjid sederhana yang setengah jadi, kini aku tahu kenapa dia hanya datang pada Shalat Subuh saja.

Kuketuk pintu, disambutnya dengan senyum. Dia tahu aku yang datang. Namun alangkah terkejutnya hati ini, disudut rumahnya ada sebuah patung yang begitu miripnya dengan adikku. Patung yang berwarna kecoklat-merahan, terbuat dari tanah liat. Matanya bulat-cerah, persis sekali. Sungguh indah patung itu.

“Abanganda….”

Dia memanggilku tanpa ekspresi pada wajahnya. Ada harapan yang tak terkatakan disana. Hari itu aku yakinkan, bahwa sesuatu yang besar pasti akan segera terjadi…..entah dengan tawa perpisahan ataupun dengan airmata kedatangan.

——

Yaumil F Gayo

Surabaya, Pagi terik 5 September 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments