Aku mendapati Inen Owen berada di depan rumah papan bertingkat dua di Simpang Bogor Gelelungi Pegasing Takengon. Dia sedang memegang sebuah alat listrik membersihkan bagian –bagian kayu grupel agar terlihat lebih indah. Tangan kecilnya bergetar menahan alat listrik pembersih lekuk kayu itu .
Sebuah kayu grupel berbentuk bulat dengan tinggi dua meter sedang diolah Inen Owen. Beberapa kepingan kayu grupel berupa papan dan balok terlihat agak berserakan di depan rumah sewa Inen Owen.
Grupel adalah sejenis kayu yang tumbuh di kawasan hutan Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sebuah kayu yang sangat unik dan mengeluarkan aroma wangi karena mengandung minyak atsiri. Selain itu warna dan bentuk serat yang memiliki ciri spesipik dan khusus bagian akar memiliki benjolan yang khas.
Inen Owen menghentikan kegiatannya saat aku tiba dengan Jurnalisa, seorang teman yang memang bekerja sebagai jurnalis sesuai namanya. Aku sudah tahu kalau suaminya Inen Owen, Malio sedang bekerja mencari nafkah keluarganya sebagai pembuat kursi dan meja berbahan grupel.
Karena saat nomor Malio kutelepon yang mengangkat Inen Owen, istri Malio dan menyebutkan Malio sedang keluar. Malio meninggalkan teleponnya. Inen Owen tampak kurus dan tampak lebih tua dari umurnya. Dengan dua anak yang masih sekolah dasar. Laki dan perempuan.
Aku mengenal Malio dan Inen Owen beberapa tahun silam saat dia dan keluarganya masih tinggal di Arul Relem Kecamatan Silih Nara. Malio dan keluarganya hidup sederhana. Bahkan teramat sederhana. Dibawah garis kemiskinan. Begitu bahasa pemerintahannya.
Saat di Arul Relem, Malio tinggal dalam sebuah rumah mungil yang berukuran sekitar 4 x 5 meter bersama dua anaknya. Kala itu Malio mengisi hidupnya dengan berkebun di tanah warisan istrinya yang tak seberapa luasnya. Papan yang menjadi dinding rumah itu sudah tampak tua, berwarna kehitaman. Demikian halnya dengan atap rumah berbahan seng yang berkarat.
Selain bertani kebun kopi, Malio juga membeli kopi luwak partai kecil dan sebuah usaha sampingan lainnya, mencari dan membuat grupel menjadi bahan olahan dijadikan mobiler. Seperti kursi, meja dan lemari.
Grupellah yang menjadi media pertemananku dengan Malio. Dan Maliopun kemudian bisa bertemu, dengan gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dengan kursi perdamaiannya. Juga dengan Wagub, M.Nazar dengan kursi kebudayaan serta Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, perantaraan grupel.
Malio kemudian menjadi populer di Aceh dan menghiasi halaman koran dan radio. Malio sempat bermukim di Banda Aceh dan mengikuti berbagai pameran bersama Dekranas Provinsi.
———-
Perempuan berpostur kecil, Inen Owen menunjukkan hasil kerja Malio. Ruangan tamu rumah sewa Inen Owen tampak dipenuhi grupel. Ada meja, kursi, tempat tivi dan sejumlah perangkat lainnya berbahan baku grupel.
Juga ada kursi paduan kaki meja dan kursi berbahan batang dan cabang kopi robusta dipadu grupel.Sangat indah sekali. “Semua bahan ini belum jadi. Tinggal pinising dan dicat”, kata Inen Owen. Ditengah maha karya Malio mengolah bahan grupel yang dijadikan meja dan tempat duduk bernilai seni yang indah.
Inen Owen tampak murung dan ceritanya mulai miris. Ditengah hasil karya bernilai seni itu, ternyata tak seindah grupel yang dibuat Malio dan keluarganya. Malah dipenuhi kisah pilu bagaimana Malio dan keluarganya tetap bisa mengasapi dapur.
Life goes on. Malio kini bekerja menjadi buruh demi tetap bisa hidup. Bekerja sebagai pembuat bahan kayu dijadikan papan dan ring. Malio menggunakan mesin chinsaw. “Perkepingnya saya dapat Rp.20 ribu”, kata Malio lirih.
Dikisahkan Inen Owen, kisah kesuksesan Malio memberi hadiah grupel pada gubernur, wagub dan Presiden tidak membuat hidupnya lebih baik. Masih miskin dan berkutat bagaimana mencari sesuap nasi .
Rumah masih sewa dan tidak ada penghasilan tetap. Pernah suatu waktu istri Malio, Inen Owen berjualan es krim. Karena Malio belum bisa menjual grupelnya. Inen Owen terpaksa menjajakan es krim. “Saya harus bantu suami saya demi bisa mengasapi dapur. Apalagi anak-anak masih kecil dan butuh jajan serta keperluan sekolah”, ungkap Inen Owen.
Tapi kemudian, modal berjualan es krim habis dipakai untuk kebutuhan dapur. “Kini jualan es krim sudah berhenti karena kehabisan modal”, papar Inen Owen lagi. Aku hanya mengangguk dan mendengarkan semua kisah Inen Owen .
“Kalau abang punya sedikit modal, mungkin abang bisa bantu saya untuk memulai usaha lagi membantu suami saya”, kata Inen Owen lirih. Aku hanya tersenyum mendengar permohonan Inen Owen.
Ingin rasanya aku membantu. Tapi aku harus jujur juga, usaha yang kumulai sebagai pelayan kopi belum mampu memenuhi kebutuhan dapur keluargaku. Bahkan masih kurang dan harus ngutang sana-sini.
Tapi semuanya kusyukuri. Penghasilan dari menjadi barista sedikit lebih baik dibandingkan penghasilan sebagai wartawan. Tapi belum cukup. Apalagi biaya anak-anak sekolah terus meningkat. Aku tak mau berjanji dan memberi harapan pada Inen Owen. Karena memang aku belum mampu. Tidak ada uang ditabungan.
Aku hanya berharap bersama Jurnalisa bisa menjual meja dan kursi grupel Inen Owen. Dengan begitu, masalah keuangan keluarga Malio ini bisa sedikit teratasi. Cuma itu yang aku mampu. Malio yang terkenal sebagai pembuat kursi “perdamaian” grupel dan menghadiahkannya pada Gubernur, Wagub dan SBY, tak sebaik nasibnya. Pun begitu, Malio tetap menjalani hidupnya dengan caranya. Meski terasa berat menapaki hari kedepan.
Tapi Malio dan istrinya tetap optimis ditemani pahitnya napas kehidupan dan kelamnya keadaan demi hanya mengasapi dapur dan membesarkan anak-anak yang menjadi amanah. Malio belum bisa berdamai dengan nasib yang belum berpihak kepadanya, seperti kursi perdamaiannya .(Aman Shafa Nurillah)