Yusra Habib Abdul Gani[1]
”Bendera warna putih” dalam bahasa Aceh dinamakan “Kupandji”, dalam bahasa gayo disebut “Pepanyi” dan dalam The Hague Convention dikatakan “white flag”. Mengikut kajian falsafah warna; warna putih adalah simbul kesucian hati, kemurnian, kedamaian, tali pemersatu, cinta sejati,kekuasaan dan menyerah. Betulkah? Untuk membuktikan kebenarannya, cerita di bawah kiranya dapat membantu untuk mengenal pasti bahwa simbul tersebut wujud dalam sejarah peradaban manusia.
Menurut riwayatnya, pemakaian warna putih (bendera putih) sebagai simbul minta perlindungan atau menyerah sudah dikenal dalam peradaban manusia –setidak-tidaknya- pada zaman Dynasti Han (A.D 25–220) dipakai sebagai simbul untuk mengungkap perasaan ingin damai. Begitu pula dalam sejarah emperium Romawi dikisahkan bahwa pada tahun A.D. 109, pasukan Cornelius Tacitus mengikat kain putih pada masing-masing kepala serdadunya sebagai simbul minta dilindungi dan atau dipakai apabila suatu pasukan hendak menyatakan menyerah. [Baca: ”Why Do Surrendering Soldiers Wave White Flags?” Oleh: Koerner, Brendan I, 2003]
Dalam peradaban orang Arab, dikenal pula bendera putih sebagai simbul kekalahan dan perdaiman, misalnya: Dynasty Umayyah memakai simbul warna putih untuk mengenang perang Badr yang meletus pada 13. Maret 624 AD, dimenangkan oleh tentara Islam; dimana Nabi Muhammad, Abu Bakr, Umar, Ali, Hamzah, Mus`ab ibn `Umair, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Ammar ibn Yasir dan Abu Dharr al-Ghifari ikut terjun dalam perang dahsyat ini; berhadapan dengan pasukan kaum Quraisy, dipimpin oleh Amr ibn Hishām, Muhammad (bukan Nabi Muhammad), diperkuat oleh: Walid ibn Utba, Shaiba dan Umayyah ibn Khalaf. Simbul tersebut sekaligus untuk membedakan simbul Bani Abbasyiah yang juga warna putih dan hitam sebagai tanda berkabung.
Selain bangsa Arab, Portugispun punya tradisi, yang dikisahkan dalam kronik Gaspar Correia tahun 1550-an; mengklaim bahwa pada tahun 1502, raja Indian bernama Zamorin telah mengirim juru runding dari daerah Calicut untuk menjumpai musuhnya –Vasco da Gama– dengan cara menyematkan kain putih pada dasinya sebagai isyarat damai (“as a sign of peace“). [baca: Gaspar Correia, Lendas da Índia (written c.1550, pub. 1858),p.300 “mandou hum seu Bramane em huma almadia com hum pano branco atado e um páu per sinal de paz”] Dalam perang kemerdekaan Amerika, bendera putih juga dipakai untuk mengakui kehadiran pasukan asing dan mengelak dari tercetusnya peperangan. Kapal perang Angkatan Laut Perancis misalnya; selalu menyiapkan bendera putih guna menghindari kesalah pahaman dan peperangan. Akhirnya, warna putih (bendera putih) diakui sebagai suatu simbul internasional, dipakai untuk maksud minta perlidungan dan gencatan senjata (cease-fire) atau perjanjian damai guna membuka ruang bernegosiasi. Dalam dunia olah raga tinju, kain putih dilemparkan oleh pelatih ke atas ring, jika jagoannya tidak layak lagi bertanding. Sementara dalam dunia atletik, bendera putih adalah simbul putusan juri yang mutlak sah.
Dalam peradaban orang Sunda, dikenal pula bendera warna putih yang disebut dengan: “Lawon Bodas” yang berasal dari akar kata: “Lawon” =awon bermakna buruk dan ”Bodas” berarti putih dan suci bersih. Kain warna putih ini dipakai sebagai alas sesajian, yaitu: “Alas lawon Bodas” (Kain putih sebagai alas). Secara simbulik bahwa; tindakan dan ucapan manusia, hendaknya dilandasi oleh pikiran jernih dan hati suci. Selain itu, “Lawon Bodas” dipakai pula untuk mengusir jin –meminta perlidungan supaya Jin tidak mengganggu- bahkan dipakai untuk membungkus senjata tajam, seperti: Keris, Kudjang dan Golok.
Dalam precedent internasional, apabila seseorang atau pihak manapun yang mengibarkan bendera putih, ini pertanda bahwa mereka tidak berniat untuk menyerang, tidak pula mengizinkan mereka untuk diserang. Mereka ingin perlidungan dan perdamaian. Precedent ini lantas diabadikan dalam ‘The Hague Convention’, pada 18 Oktober 1907. Pada bab III, ayat 32 menyebut: ”A person is regarded as a parlementaire who has been authorized by one of the belligerents to enter into communication with the other, and who advances bearing a white flag. He has a right to inviolability, as well as the trumpeter, bugler or drummer, the flag-bearer and interpreter who may accompany him.” Inilah kisah bedera putih, simbul perlidungan, perdaiaman dan menyerah itu.
Dalam lembaran sejarah Aceh, tidak didapati pengibaran bendera putih, baik ketika perang melawan Portugis (abad-16), Belanda (1873-1942) dan Jepang (1942-1945). Pada masa gerakan Darul Islam (D.I. Aceh 1953-62) meletus, yang terjadi hanya negosiasi, hasilnya: status Aceh “Daerah Istimewa”, amnesty, kompensasi dan turun menyerah. Sewaktu perjuangan GAM (1976-2005) bergolak, berakhir dengan: mengakui kedaultan Indonesia atas Aceh (preamble MoU Helsinki), TNA bubar(pasal 4.2), serahkan 840 pucuk senjata (pasal 4.3); semua lembaga Tinggi negara Aceh lebur (pasal 1(1.1.2.), status Wali Negara lucut (pasal 1(1.1.7) dan pulang ke Aceh. Jadi, baik D.I. Aceh dan GAM tidak pernah mengibarkan bendera putih. Mungkin saja karena tidak cukup ilmu perang atau malu demi menjaga marwah. GAM sebenarnya boleh kibarkan bendera putih saat Megawati meletakkan Aceh dalam status Darurat Militer pada 19. mei 2003, agar terhindar dari kerugian harta-benda dan korban ribuan nyawa manusia. Mungkin anténa penanggungjawab perang pendèk! Lagipun, mengikut ‘The Hague Convention’ (hukum internasional); bendera putih tidak berarti menyerah total; ianya hanya trompét yang mengisyaratkan supaya tidak saling menyerang sambil menunggu diadakan perjanjian damai. Memang pada zaman HDC ada ”zona Damai” di Aceh; tapi tidak dikibar bendera putih. Mungkin HDC dan GAM tidak tahu aplikasi ‘The Hague Convention’! Pada hal ini ‘rule of the game’ dalam suatu peperangan.
Adalah benar demi menjaga harga diri, orang Aceh tidak mau kibarkan bendera putih; tetapi dalam urusan mystic/tahyul; orang Aceh kibarkan “Kupandji” sebagai simbul minta perlidungan/damai kepada Jin, agar pasukan tikus dan ulat (hama) tidak menyerang tanaman padi. “Kupandji” juga berkibar saat pasukan “ta’un” menyerang warga, maka penghulu kampung segera mengibarkan “Kupandji” dan mempersembahkan “ië bu” buat si dia, yang dipercayai bahwa Jin sebagai dalang di sebalik musibah dan sepakat (MoU) antara warga dan Jin untuk mewujudkan “zona Damai”.
Pada tahun 1978, persis antara “loyang Kaméng” dan “Loyang Koro”, di kaki Burni Birah Panyang, Takengon; penulis melihat sebuah talam berisi: ketan kuning, daging ayam, “selensung” (sirih siap dikunyah) dibungkus daun pisang. Tidak jauh dari lokasi itu, di -Batu Gerèsèk Panakan- berkibar “Pepanyi”, simbul minta perlidungan kepada Jin. Pasalnya; warga kampung Towèran sedang dilanda penyakit “Ta’un” (gatal-gatal dan lukanya bernanah). Sebelumnya (1963), penulis ikut dalam acara “Tulak Bele” saat dimulai musim bersawah di Kampung kenawat, dipandu oleh dua dukun masyhur: Guru Gayo dan Guru Aman Sa’diyah. Seusai upacara, “Pepanyi”-pun dikibarkan di atas pohon di kaki bukit Burni Taris dan “sesajian” di atas Talam besar berisi: paha ayam, nasi, sayur, ketan dan “selensung”, diletakkan di sudut kampung sebagai persembahan buat ”empuni tempat” (Jin) dengan maksud minta perlidungan supaya terhindar dari hama dan penyakit “ta’un”. Saat menghantar “Sesajèn”, kedua dukun mengibas penyapu lidi (puréh) ke kanan dan ke kiri sambil mengitari kampung. Yang jelas, dalam konteks ”bendera warna putih”, Aceh bersikap ‘double standard’ Artinya: di satu sisi jaga marwah kepada manusia, di sisi lain menyerah kepada si dia (Jin). Apa ini perang tak berilmu atau syirik berilmu?