Oleh Johansyah*
Berpikir bagi manusia merupakan hal yang mutlak dan absurd dihindari. Berpikir adalah salah satu potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia yang secara aklamasi telah diangkat menjadi pemimpin dan pengelola bumi. Dengan itu juga, manusia dapat mengembangkan teks wahyu yang menjadi sumber informasi dan ide-ide kebenaran sebagaimana telah terhimpun dalam sebuah kitab yang bernama al-Qur’an dan sangat berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah.
Secara umum, al-Qur’an mengajak manusia berpikir, merenung, memperhatikan, menela’ah dan menafsirkan ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah maupun kauniyah (alam semesta). Ayat qauliyah merupakan kumpulan teks berupa wahyu yang menjadi landasan berpijak umat muslim dalam segala aspek kehidupan. Di sisi lain, ayat-ayat kauniyah yang begitu bervariasi menjadi objek bacaan yag maha luas bagi manusia. Antara keduanya, memiliki jalin kelindan yang sepadang dan sama sekali tidak kontradiktif.
Salah satu kosa kata yang digunakan untuk mengajak manusia berpikir adalah kata ra’aya (melihat). Melihat di sini mengandung beberapa makna, di antaranya; memperhatikan, memandang, menganalisis, menela’ah dan mencari esensi persepsi dan argumentasi yang mendekati kebenaran dan pada akhirnya mengutarakan pandangan atau pendapat setelah melewati proses dialektika batin.
Kosa kata ini memiliki muradif (sinonim) bila ditinjau dari aspek maknanya yaitu; nazhara (melihat), bashara (melihat) dan fakkara (berfikir). Ketiga kata ini memiliki kemiripan makna dan hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya, meskipun ada beberapa perbedaan dalam penggunaannya. Beberapa kosa kata ini, terutama kata ra’aya, memiliki hubungan yang erat dengan pembentukan daya nalar dan berpikir kritis seseorang. Dengan menyuguhkan berbagai bentuk metafora, cerita-cerita serta bukti ciptaan Allah yang lainnya, sebenarnya al-Qur’an menggiring manusia untuk secara maksimal menggunakan potensi pikiran yang telah diberikan kepada manusia.
Kata ra’aya dalam al-Qur’an kurang lebih berjumlah 199 ayat yang tersebar di berbagai surat. Dari jumlah ini, ayat makiyah berjumlah 111 ayat dan madaniyah berjumlah 88 ayat. Ditinjau dari segi tasrifnya, ada 93 pecahan kosa kata dari kata ra’aya ini yang terdiri dari fiil madhi (kata kerja lampau), mudhari’ (kata kerja sedang/akan), amar (kata perintah) dan mashdar (kata dasar).
Berdasarkan kumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan keempat kosa kata di atas, kata ra’aya, tidak hanya digunakan untuk melihat, seperti makna bashara, tapi juga seseorang dituntut untuk berfikir secara kritis dan mendalam atau menggunakan nalar untuk selanjutnya mengungkapkan persepsi atau pendapat dari apa yang dia lihat. Jadi, selain menggunakan indra mata, seseorang harus melatih dan mengaktifkan otak serta hatinya. Antara mata, otak dan hati memiliki korelasi dan peran penting yang merupakan satu kesatuan.
Adapun objek penglihatan, jika merujuk kepada kumpulan ayat al-Qur’an, tidak ada pembatasan dan sangat luas. Secara umum al-Qur’an memotivasi manusia untuk melihat ayat-ayat yang tersurat atau qauliyah, maupun yang tersirat atau kauniyah. Namun materi yang paling menonjol ditampilkan dalam al-Qur’an, kaitannya dengan kata ra’ya, adalah tentang ciptaan Allah dan kisah-kisah masa lalu yang bersifat komparatif bagi orang yang membacanya.
Bentuk-bentuk ayat yang paling dominan mengajak orang untuk berpikir, menganalisis, mengamati secara seksama, adalah ayat-ayat yang didahului dengan kata-kata istifham (pertanyaan). Alam tara artinya tidakkah kamu melihat?, seperti terekam dalam QS. Al-baqarah: 243, 246, 258, QS 3 ali-Imran: 23, dan seterusnya; afalam yarau artinya, maka tidakkah mereka memperhatikan? , araiatum (QS 6: Al An’am: 46, QS 10 yunus: 50, 59 dan seterusnya).
Kata istifham (pertanyaan) yang digunakan dalam ayat-ayat ini sebenarnya mengandung unsur amar (perintah). Ketika al-Qur’an menyatakan alam tara atau ara’aitum, sebenarnya al-Qur’an mengatakan lihatlah, amatilah, pikirkanlah, dan ungkapkanlah bagaimana pendapatmu. Istifham di sini adalah anjuran dan perintah manusia secara tidak langsung.
Jadi, penggunaan kata ra’aya dalam al-Qur’an mencakup tiga proses yaitu melihat sekilas, memikirkan atau merenung dengan berbagai pertimbangan dan perbandingan yang matang, serta mengungkapkan atau memberi tanggapan, pendapat, saran maupun kritikan terhadap objek yang diamati manusia.
Adapun kata nazhara, memang memiliki makna yang sama dengan ra’aya, namun dari sisi lain, penggunaan dan tututan kedua kata ini berbeda. Perbedaannya adalah, kata nazhara hanya menuntut manusia untuk melihat dan setelah itu memikirkan atau merenungkan. Sedangkan kata ra’aya, di samping kedua tahapan tersebut menuntut untuk mengungkapkan pikirannya.
Artinya, penekanan kata nazhara hanya sampai kepada proses berpikir dengan mendalam dan ketika pikiran itu diungkapkan, sebenarnya seseorang telah berada pada tahapan ra’aya, yang menurut penulis tahapan adalah tahapan mengungkapkan pendapat. Ketika berlangsung dialog antara Ibrahim dan Ismail (QS. 37. Ash-shaffat: 102), terkait mimpinya yang perintah Allah untuk menyembelih Ismail, maka terlihat perbedaan kedua kata ini yang hubungannya sangat erat. Ibrahim mengatakan, fa-unzhur maadza tara? (pikirkanlah dan ungkapkan bagaimana pendapatmu). Jadi nazhara berada pada tingkat fakkara (berpikir) saja, namun ketika pikiran tersebut diungkapkan, maka sudah berubah menjadi ra’ya (menyampaikan pandangan) setelah melalui proses berpikir.
Sementara fakkara, berada di antara nazhara dan ra’aya yang merupakan sebuah proses atau tahapan untuk menghasilkan ra’yu (persepsi dan argument). Artinya fakkara merupakan jembatan pemikiran untuk sampai kepada tahap kesimpulan yang diungkapkan. Hal ini dapat disimak dari bunyi ayat (Q.S. 3. Ali Imran: 191) yang menerangkan ciri-ciri ulu al albab, yang senantiasa mengingat Allah, ketika berdiri, duduk dan berbaring (dalam semua kondisi), dan senantiasa memikirkan dan mencari esensi tentang ciptaan Allah. Sehingga ulu al albab sampai kepada tahapan kesimpulan, rabbanaa maa khalaqta hadza baathila (wahai Tuhanku, tidak ada yang sia-sia dari ciptaannmu). Terlihat bahwa kesimpulan ulu al albab tersebut dihasilkan setelah melalui proses berpikir dan merenung secara mendalam.
Sementara itu, Bashara juga bermakna melihat. Akan tetapi, jika melihat ayat-ayat yang mengandung dan menggunakan kata ini, maka akan terlihat jelas bahwa melihat yang dimaksudkan oleh kata ini adalah melihat secara empiris dan tidak menuntut untuk melibatkan peikiran, perasaan dan pengungkapan pendapat. Memang, seperti bashiir atau bashiiraa yang artinya mengetahui banyak terlihat dalam ayat al-Qur’an, namun makna mengetahui atau maha tau di sana lebih dekat kepada banyak melihat dan mengalami sesuatu yan bersifat empiris sehingga memiliki banyak pengetahuan.
Beginilah di antara cara al Qur’an untuk menjadikan manusia rasional. Al Qur’an memang wahyu, namun pada hekakatnya al Qur’an juga sangat rasional dan mengajak manusia untuk kritis. Keliru jika ada yang mengatakan al Qur’an jangan dicampuradukkan dengan filsafat, karena al qur’an itu sendiri menganjurkan kita untuk berfilsafat. Wallahu a’lam bisawab.
*Penulis adalah Mahasiswa S3 PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh