Asyiknya Jadi Wartawan (11) : Mencari Yasser Arafat di Tunis, Tunisia

Saya (tengah) diapit mahasiswa Indonesia di Tunis dan Petugas Keamanan Di depan KBRI Tunis, Tunisia.

.

Oleh Luqman Hakim Gayo*

BARU sekali ini saya dimintai uang jaminan. Peristiwa itu terjadi di Airport Tunis, Tunisia. Ketika pemeriksaan passport, petugas meminta jaminan tinggal sebesar 500 US dollar. Saya menolak. “Siapa yang menjamin Anda?”, tanya petugas. “Indonesian Embassy!”, saya jawab. Lalu ia menggelengkan kepala, mempersilahkan saya keluar dari bandara. Untung mereka tidak minta surat-surat diplomatik.

Bukan apa-apa. Kedatangan saya ke Tunisia memang mengemban misi khusus. Saya mendapat tugas, harus menemui Pimpinan PLO Yasser Arafat, sehubungan dengan penandatanganan akta perdamaian di Oslo pada 1993,  antara Yasser Arafat dengan Yitzak Rabin. Saya ingin berwawancara, apa yang mendorong pimpinan Palestina itu mau berdamai.

Sebagaimana diketahui, pemerintahan Palestina boleh dikatakan berada di ‘pelarian’. Pusat pemerintahan dikendalikan dari Tunisia, departemen keuangan dipusatkan di Yordania, sementara  Tentara dan Kepolisian  dilatih di Yaman. Mengapa negara-negara itu yang dipilih, tentu karena menyangkut keamanan Negara Palestina dan pribadi Yasser Arafat sendiri. Itu sebabnya, mengapa saya ke kota cantik ini.

Yang pertama saya lakukan adalah membaca sejumlah etalase dinding di Bandara. Lalu ada daftar kantor kedutaan. Satu diantaranya adalah Kedutaan Republik Indonesia. Penerima telepon dengan gembira menyebutkan alamat Indonesian Embassy, serta warna taksi yang terpercaya. Akhirnya saya meluncur menuju kota.

Saya sudah berdiri di pintu gerbang setinggi tiga meter. Dengan menekan bel, pintu pagar itu terkuak. Lalu melangkah ke teras Kantor Indonesia. Senyum ramah para pegawai kedutaan berbeda jauh dengan kantor-kantor serupa yang dekat ke Indonesia. Terus terang, KBRI yang berdekatan dengan Indonesia rata-rata membatasi diri. Beda dengan KBRI yang jauh-jauh seperti ini, di bibir pantai Utara benua Afrika.

Dalam waktu singkat saya sudah berada di ruang Sekretaris II dan sudah menyampaikan maksud kedatangan. “Oke, pak. Sementara istirahat dulu. Cari hotel yang murah-murah di kota. Besok saya daftarkan bertemu dengan Bapak”, katanya. Maksudnya dengan Dubes RI di Tunis. Setelah passport saya ditandatangani, saya keluar dan mencari hotel murah.

Akhirnya saya temukan, di lantai dua sebuah hotel kecil. Kecil, tetapi praktis. Berada di tepi jalan utama, di tengah kota. Di ujung jalan, berdiri tegak patung Ibnu Khaldun. Bangunan dan gedung mewarnai gang-gang sekitar pinggiran kota. Kehidupan dan budaya mereka hampir menyerupai budaya Barat, padahal mereka orang-orang Arab. Rupanya, inilah yang disebut Arab Maghribi itu.

Sarapan pagi di restoran, jadi kebiasaan baru dan budaya baru. Berdiri melingkari tiang kaca, karena mejanya mengelilingi tiang itu. Sambil minum dan makanan ringan, berkenalan dengan sejumlah pendatang dari berbagai Negara. Umumnya para pedagang dan pelancong. Tak ada yang mempersoalkan, restoran macam apa ini yang tidak menyediakan kursi?

Sesampai di KBRI pagi itu, staf disana langsung membawa saya ke Rumah Indonesia. Pak Dubes menjamu makan pagi di rumah kediamannya. Maaf, keramahan seperti ini jarang saya dapatkan. Lebih dari 20 negara yang saya kunjungi, hanya segelintir Dubes yang menjamu seperti ini. Dapat dihitung dengan jari,

“Saya sudah sampaikan ke sekretaris supaya membantu Anda sampai bisa bertemu dengan Yaser Arafat. Selain dengan surat resmi dari Kedutaan, nanti akan diantar dengan mobil dinas”, kata pak Dubes. Wah, girangnya hati saya. Rasanya, tak cukup sekali berterima kasih. Wartawan kecil mungil begini, lusuh lagi, diantar dengan mobil dinas corp diplomatic, bernomor CD. Baru sekali ini saya alami. Ruaaar biasa….

Bertemu pimpinan PLO

Benar, seperti kata pak Dubes. Sekretaris II KBRI mulai sibuk tilpun ke sana-sini. “Kita di pimpong benar-benar. Masa’ tidak ada yang tahu dimana pimpinannya,” kata pak Sekretaris itu agak kesal juga. Tapi kemudian dia sadar sendiri, bahwa para Pimpinan PLO di Tunis sudah lebih berhati-hati. Baru saja terjadi pembunuhan seorang Aspri Yaser Arafat oleh Mossad di siang bolong dalam ruang kerjanya.

Peristiwa itu terjadi, bersamaan dengan pergantian petugas jaga. Tidak disangka, petugas yang menggantikan di rumah korban adalah Mossad yang menyamar. Membunuh petugas, kemudian membunuh Aspri. Herannya, siang itu listrik padam total beberapa jam. Setelah si Mosad terbang ke Israel barulah listrik menyala kembali. Korban sudah berjatuhan..

Gembar-gembor isu kesombongan Yahudi, kembali memanas dan mengkhawatirkan. “Kalau kami mau, dengan gampang dapat membunuh Yasser Arafat, kapan saja dan dimana saja”, kata isu itu. Hal ini telah membuat semakin hati-hatinya sejumlah pejabat Palestina, baik yang di dalam negeri maupun di luar, Pengawal-pengawal pimpinan PLO itu semakin ekstra ketat bekerja.

Akhirnya, “kita ditunggu, pak”, kata Sekretaris II itu. Saya tak sempat lagi ke hotel untuk ganti pakaian. Ia memberikan jasnya untuk saya pakai, dan bergegas berangkat. Satu keberuntungan yang luar biasa, kalau Yasser Arafat bersedia saya wawancarai. Nama saya akan melambung sejajar dengan Jhon Pieter Arnet, wartawan CNN yang dipecat karena dituduh terlalu berpihak ke Iraq itu.

Akhirnya mobil KBRI  berhenti di sebuah bangunan tua bertingkat. Tampaknya di pemukiman elit, tetapi tidak dalam kota Tunis. Setelah duduk di ruang tamu, hilir mudik beberapa gerilyawan yang terkesan ‘preman’, mengawasi secara diam-diam. Kemudian mereka mengajak pergi dengan mobil milik mereka.

Kejadian seperti ini beberapa kali terulang. Kami diantar ke suatu gedung dan dilanjutkan dengan mobil yang ada di gedung itu. Sampai akhirnya, dipertemukan dengan seseorang berperawakan tinggi besar, setelah di geledah dan interogasi oleh pemuda-pemuda itu. Dialah Sulaiman An-Najb, pembantu khusus Yaser Arafat.

Tampak sangat bersahabat dan gembira menerima kunjungan wartawan dari Indonesia. ”Hanya Abu Amr sendiri yang tahu, dimana ia berada”, kata Sulaiman sambil tertawa. Sulaiman terusir dari Palestina sejak tahun 1948 dan ditugaskan di Tunis.

Dari Sulaiman saya tahu, bahwa dibawah PLO ada belasan organisasi masyarakat Palestina. Termasuk kelompok kristen dan komunis. Dua yang terbesar adalah Al-Fatah dan Hamas. Al-Fatah semacam Golkar-nya Indonesia. Wajar, kalau ketua PLO selalu dari kubu Al-Fatah.    ”Tetapi Abu Amr merangkul semua organisasi-organisasi itu, meski sekecil apapun. Dia tidak mau timbul dendam diantara kubu-kubu masyarakat Palestina”, kata Sulaiman. Abu Amr adalah panggilan kehormatan untuk Yasser Arafat.

Hanya sebuah sandiwara

Menurut Sulaiman An-Najb, perjanjian damai yang ditanda tangani di Oslo itu,  hanya sebuah sandiwara yang diatur oleh Amerika dan Israel. ”Bagaimana perasaan Anda, disatu tempat orang berkumpul menyaksikan penandatanganan perdamaian. Sementara di jalan-jalan Palestina, warganya ditembaki, penduduk bergelimpangan bersimbah darah”, katanya berapi-api.

Selain soal perjanjian damai, Sulaiman juga bercerita soal anggota PLO itu. Meski mereka organisasi massa yang kecil, baik kristen maupun komunis, tetapi mereka tergabung dan bagian dari PLO. Abu Amr tidak pilih-pilih kasih, tetapi sama rata dan sama rasa. Baik posisi maupun bantuan moril dan materiel. ”Ini penting untuk mengamankan posisi Abu Amr sendiri”.

Itulah kata-kata kunci, dari sekian banyak pembicaraan Sulaiman kepada saya. Rasanya betah berlama-lama dengan tokoh yang cerdas dan berapi-api ini. Tak terasa kami sudah menghabiskan waktu beberapa jam. Bagaimana seorang Staf KBRI Tunisia terpaksa meningalkan kantor seharian penuh, hanya untuk saya.

Suatu hari, ketika saya berdiri di jendela kamar hotel memandangi jalan raya. Saya membenarkan apa yang pernah saya dengar. Sekitar enam atau tujuh sedan berkaca gelap saling mendahului, bahkan saling menyerobot lampu merah. Menurut mereka, sengaja seperti itu. Agar tidak ada yang tahu di mobil mana Yasser Arafat. Mereka pergi ke Airport, ketika itu. Benar, seperti kata Sulaiman, dalam waktu dekat Abu Amr akan ke Kairo.

Masyarakat Tunis juga mengikuti perkembangan Palestina. Meski secara diam-diam mereka membenci dunia Barat dan Amerika, tetapi pemerintah tidak mampu ’melawan’. Terkesan menyimpan rasa takut kepada Israel dan Amerika. Itu terbukti dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan kepada penduduk Tunis.

Seorang mahasiswa mengatakan, masjid kampus di Universitas termegah disana, tidak bebas lagi mengadakan kajian-kajian. ”Sekarang masjid benar-benar hanya untuk shalat lima waktu. Sesudah itu, dikunci”, katanya. Berbeda dengan dulu, dimana seminar dan diskusi keislaman bebas dilakukan di masjid-masjid kampus.

Yang lebih mengherankan, pemerintah setempat juga mengawasi kumpulan-kumpulan majlis ta’lim. Bahkan persatuan Hafizh Qur’an ikut dibubarkan. Padahal, beberapa masjid besar di Tunis punya perkumpulan semacam itu. Kini tidak berani lagi beraktivitas. Di masjid sekalipun.

Tunis yang menawan

Lepas dari itu semua, saya ingin menikmati keindahan kota Tunis. Bertengger di pingir utara Afrika. Rumah Indonesia persis berada di bukit pantai laut Tengah, yang airnya berwarna biru. Lepas mata memandang. Di kejauhan, tampak pencakar langit kota-kota Eropah. Hanya beberapa jam naik kapal laut kalau mau ke Roma , Italia. Terus ke Paris, Perancis atau ke Spabyol di sebelah kiri.

Saya menikmati keindahan kota Tunis bersama rekan-rekan Staf KBRI. Satu hal yang mengagumkan saya, adalah kemajuan telekomunikasi. Saya mencoba telepon koin di pinggir jalan, menghubungi rumah di Bekasi. Luar biasa. Dari telepon koin di bibir utara Afrika, bisa langsung ke Bekasi. Saya benar-benar kagum, meski koinnya mahal memang.

Kota Tunis memang bertengger di atas bukit, yang satu sisinya langsung menuju laut. Persis di puncak gunung. Sehingga tebing itu, dibuat jalan berkelok-kelok. Mengingatkan saya pada kelok 44 di Batusangkar menuju Danau Maninjau. Di Tunis, setiap belokan itu ada warungnya dengan beberapa bangku. Disana muda-mudi bertengger menghadap laut biru.

Tetapi bagi pendatang, memang celaka. Belum sempat duduk di bangku panjang itu, gadis kecil sudah memasukkan bunga ke kantong. Kita terpaksa merogoh kantong seberapa ikhlas, berikan kepada gadis itu. Saya tidak terus ke bawah, ke pinggir laut. Sebab, pulangnya akan lebih payah.

Menjelang kepulangan ke Tanah Air, saya memilih tidur di paviliun KBRI. Disana ada seorang Satpam yang berasal  dari Malang, Jawa Timur. Saya pergunakan waktu beberapa hari untuk mencuci pakaian. Karena sulitnya mencuci di hotel. Disana saya berkenalan dengan beberapa juru masak dan juru kebun yang asli Tunis.

Sudah beberapa tahun si Satpam itu tidak pulang ke Indonesia. “Dari pada untuk ongkos, lebih baik uangnya saya kirim untuk isteri dan anak saya”, katanya sendu. Maklum, gaji satpam mungkin tidak seberapa. Untung saja, tidur dan makan gratis karena di lingkungan KBRI.

Bukan soal Satpam saja. Beberapa karyawan KBRI, hidup terpisah dengan isterinya. Ada dintaranya  yang isterinya di Meksiko. Mereka janjian, lalu ketemu di kota yang relatif di tengah, untuk saling melepas rindu. Mereka tidak mungkin tinggal di satu kota, karena harus melepaskan pekerjaan salah satu dari mereka. ”Asal bisa kerja, nggak apa saling berjauhan”, katanya.

Saya ikut terhanyut dengan perasaan mereka. Saya berjanji ingin menuliskan kisah sedih mereka bekerja di luar negeri, seperti yang dialami Bapak dari Malang itu. Hanya sebagai Satpam di luar negeri. Ia menitikkan air mata ketika saya berpamitan. Seakan-akan ia menitipkan salam untuk Indonesia dan keluarganya di Malang, Jawa Timur.

Seperti juga si Mbok di Konjen RI Bombay, India. Ia sudah berkeliling ke sejumlah negara. Tetapi dengan sendu ia jujur kepada saya. ”Yah, tetap saja dari dapur ke dapur, biar di Amerika atau Eropah. Gaji dalam dollar, memang. Tapi, toh tidak bisa berbuat apa-apa. Rindu pulang, tapi gak punya ongkos,” katanya perlahan. Ah, asiknya jadi wartawan….

*Wartawan asal Gayo di Jakarta

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.