petani sere wangi di gayolues ini memang tidak asing lagi, banyaknya petani yang sere wangi di kabupaten gayolues ini,kalau kita mamandang ke perbukitan gayolues hampir sudah semua berisi dengan tanaman sere wangi, mulai dari kecamatan putri betung sampai kecematan lainnya terlihat di pegunungan penuh dengan tanam sere wangi dalam kurun waktu 4-6 bulan sekali melakukan persiapan menyuling minyak sere wangi ke dalam drum/ketel penyulingan. Penghasilan yang kurang memadai ditambah anjlok dan tak kunjung membaiknya harga minyak nilam di pasaran, memaksa petani di Gayo Lues kembali mengalihkan perhatian ke tanaman sere wangi dan cabe merah. Bagi petani di kabupaten yang baru berumur sekitar lima tahun , sere wangi bukanlah tanaman yang asing lagi,bahkan jauh sebelum daerah yang dijuluki negeri seribu bukit itu memekarkan diri dari Aceh Tenggara, sampai akhirnya menjadi kabupaten defenitif, sere wangi merupakan tanaman primadona dan jadi sumber untuk menambah penghasilan petani. Wajar saja, jika hampir di setiap kecamatan yang ada, hamparan tanaman yang aromanya menusuk hidung itu sangat mudah ditemukan, mulai dari pinggiran jalan negara, jalan provinsi dan jalan Kabupaten hingga ke berbagai pelosok di negeri seribu bukit.
Tak terkecuali di Kecamatan Terangon, wilayah di bagian paling barat Kabupaten Gayo Lues yang sempat mengalami masa keemasan karena tinggi dan semakin menjanjikannya harga minyak nilam. Imbasnya, hampir di setiap desa yang berada di lembah sempit dan kawasan pebukitan, tanaman sere wangi seolah menjadi hiasan utama di kecamatan yang menghubungkan Gayo Lues dengan Kabupaten Abdya itu.
Menurut petani , jauh sebelum tanaman nilam hadir dan jadi primadona sampai mencapai masa keemasan, sere wangi telah dibudidayakan petani di Gayo Lues. Namun, karena harganya labil dan tak kunjung membaik, ditambah semakin meroktenya harga nilam di pasaran, petani mulai beralih dan beramai-ramai membudidayakan tanaman nilam. Akibatnya, lahan sere wangi yang kalah populer
dengan nilam, perlahan-lahan mulai ditinggalkan petani. Tapi itu dulu, ketika harga minyak nilam masih mahal dan mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan petani dan
saat Terangon masih menjadi sentra pertumbuhan ekonomi di Gayo Lues, Namun ceritanya jadi lain ketika harga minyak nilam anjlok dari Rp1 juta sampai Rp180 ribu per kg, budi daya tanaman pedulang rupiah itu akhirnya ditinggalkan dan petani kembali beralih ke tanaman sere wangi.Dibandingkan dengan tanaman nilam, papar para petani sere wangi, proses penyulingan minyak sere wangi jauh lebih mudah dan praktis. Selain itu, perawatannya juga tak perlu perhatian khusus, resiko tanaman yang telah di panen lalu busuk karena siraman hujan relatif kecil.Pendek cerita, tanaman sere wangi sama sekali tak terpengaruh dengan cuaca. Selain itu, kayu bakar yang digunakan untuk proses penyulingan atau pemisahan minyak dengan air terbilang minim. Untuk satu hari pengukusan atau penyulingan sere wangi bisa dilakukan 4 kali pengukusan secara alami, bisa didapat dua sampai 3 kg minyak sere wangi perharinya, hasil penyulingan itu bisa bertambah bila yang mengerjakannya tiga sampai empat orang.
Sedangkan harga per kg-nya bila dibeli oleh toke yang datang ke desa atau kekecamatan, laku dijual dengan harga berkisar Rp70 ribu kalau harga lagi naik bisa laku sampai Rp 90 ribu , sementara bila dibawa ke Blangkejeren, Ibukota Kabupaten Gayo Lues, harga minyak nilam akan naik, bahkan bisa mencapai Rp80 per kg sampai Rp 100 ribu/kg. Diakui para petani sere wangi yang memiliki lahan sere wangi masing-masing seluas satu sampaidua hektare bahkan lebih, bila lahan yang tersedia mencukupi, penghasilan mengukus atau menyuling minyak sere wangi sangat membantu menutupi kebutuhan keluarga. Bahkan bila dihemat, sisanya masih bisa untuk disimpan, apalagi harga tetap bertahan dan tak sampai anjlok seperti tahun-tahun sebelumnya, yang per kg hanya dihargai Rp20 ribu sampai Rp25 ribu. Potensi Gayo Lues untuk tanaman sere wangi memang menjanjikan. Masalahnya, tanaman itu tak membutuhkan tanah yang subur dan berwarna hitam, di tanah tandus dan minim kadar air sekalipun, tanaman perdu itu mampu bertahan dan tumbuh dengan subur. Para petani sere di berbagi kecamatan seperti kecamatan Terangon,kecamatan kutapanjang,rikitgaib,pining,belang pegayon, dan masih banyak di kecematan lainnya yang terpaksa mengalihkan perhatian dari budi daya tanaman sere wangi ke tanaman cabe merah yang membuat petani di gayolues sangat tergiur dengan harga cabe merah dipasaran, dan selanjutnya kembali lagi ke tanaman sere wangi, merupakan gambaran sebahagian besar tentang keuletan petani di Gayo Lues yang memanfaatkan lahan tidur jadi lahan produktif, meskipun harus merubah pendirian akibat labilnya harga hasil pertanian dan perkebunan. Jika harga per kg minyak sere wangi terus bertahan Rp70 ribu saja per kg-nya, , para petani gayolues tetap akan membudidayakan tanaman sere wangi. Di samping bertanam cabai, nilam dan beberapa tanaman pertanian lainnya yang mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Harga mulai membaik, semangat petani membudidayakan sere wangi kembali tumbuh, lahan tidur mulai berubah jadi lahan produktif dan menghasilkan, harumnya aroma minyak sere wangi semakin kental menghiasi negeri seribu bukit. Namun, akankah masa keemasan petani seperti saat meroketnya harga minyak nilam kembali pergi dan hanya tinggal kenangan , ataukah harga kembali anjlok atau sebaliknya akan melonjak, hanya Pemkab Gayo Lues dan pedagang tahu kiat dan strateginya.kiranya hasil jerih payah para petani sere wangi dan nilam,cabe,mendapat perhatian dari pemerintah daerah..dan antusias dari kalangan petinggi di daerah gayolues ini dan melakukan penyuluhan dan membudikan tanaman sere wangi ini..(lg)