Jalan Wisata Danau Luttawar Diblokir–Ribuan masyarakat Kecamatan Bintang yang kecewa karena jalan ke Kecamatan Bintang dibiarkan rusak, Kamis (23/8) sekira pukul 09.30 Wib diblokir warga Karena tak kunjung diperbaiki setelah diprotes warga beberapa kali namun tidak mendapat perhatian Pemkab. Salah satu alasannya karena jalan ini merupakan jalan Provinsi.
Negosiasi–Syukran, salah seorang koordinator demo masyarakat Kecamatan Bintang yang juga ketua HMI, melakukan negosiasi dengan kepala Dinas Perhubungan, Drs. Mirda Alimi. Ribuan masyarakat Bintang memblokir ruas jalan wisata di sisi Utara Danau Luttawar Takengen karena tidak mendapat perhatian pemerintah. Padahal ruas jalan ini banyak dilewati wisatawan lokal dan mancanegara namun kondisinya rusak karena berlubang. Beberapa kali masyarakat Bintang melakukan demo namun hingga kini jalan wisata ini belum diperbaiki.
Menunggu dibuka–Puluhan kenderaan warga yang kemungkinan adalah para pelancong berwisata ke seputaran Danau Lut Tawar terpaksa menunggu pemblokiran jalan dibuka. Beberapa dari mereka memilih putar arah namun sebagian besar lainnya bersabar dan memahami maksud dan tujuan pemblokiran tersebut.
Pemblokiran Jalan Dibuka — Setelah mendapat tanggapan lisan dan tertulis dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan DPRK, ruas jalan Lingkar sisi utara danau Lut Tawar dibuka kembali sekitar pukul 16.00 Wib.
ASSALAMUALAIKUM Wr Wb kalo memang JALAN provinsi kenapa tidak masuk di proyek LADIA GALASKA,ATAU SEKARANG DINAMAKAN LINTAS ACEH ……YANG baru2 ini di bicarakan di hotel mahara
* MA Tolak PK Walhi
BANDA ACEH – Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) RI menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap proyek pembangunan jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak 2002-2007. Menurut MA, proyek itu tidak melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Informasi mengenai turunnya putusan MA tersebut diterima Serambi dari Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh Budiwansyah SH. Menurutnya, beberapa hari lalu PN Banda Aceh menerima pemberitahuan dan putusan PK itu dari majelis hakim MA. Selanjutnya, Budiwansyah atas perintah Ketua PN Banda Aceh mengirim relas pemberitahuan putusan itu kepada Pemerintah Aceh melalui Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, Makmur Ibrahim SH MHum pada 30 Juli 2012.
Ditemui terpisah, Kabag Humas Pemerintah Aceh, Usamah El-Madny membenarkan pihaknya telah menerima berkas putusan MA itu. Dalam putusan bernomor 730 PK/Pdt/2011 yang diperlihatkan Usamah, pertimbangan hukum majelis hakim MA adalah menyatakan tidak terbukti proyek pembangunan jalan Ladia Galaska seperti diungkapkan Walhi, seperti merambah hutan lindung dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), merusak ekologis, mengakibatkan longsor, dan lain-lain.
“Alasan-alasan tersebut (pemohon-red) tidak dapat dibenarkan karena tidak terbukti adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan judex juris. Apa yang dilakukan tergugat sudah sesuai Amdal,” demikian isi putusan majelis hakim MA yang diketuai H Atja Sondjaja SH MH.
Seperti diketahui, awalnya Walhi menggugat Pemerintah Aceh ke PN Banda Aceh karena menilai proyek jalan dan jembatan di kawasan Ladia Galaska telah melanggar UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, merusak lingkungan hidup, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) karena memotong kawasan hutan lindung, mengganggu lingkungan hidup satwa, fauna, dan flora, menyebabkan hutan gundul yang akan mengakibatkan banjir besar dan tanah longsor.
Gugatan Walhi di pengadilan tingkat pertama itu ditolak karena tidak terbukti. Tak terima itu, Walhi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, tapi juga ditolak karena tak terbukti. Kemudian, mereka mengajukan kasasi ke MA, juga ditolak karena alasan yang sama.
Akhirnya, mereka menempuh upaya hukum terakhir, yaitu mengajukan permohonan PK ke MA dengan mengajukan bukti baru, tapi upaya hukum terakhir itu pun juga tak terbukti.(sal)
Yang Prihatin dan
Gembira di Ladia Galaska
PEMERINTAH Aceh dan pihak legislatif sempat sangat girang ketika
Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Surat Keputusan MA Nomor 1343K/Pdt/2007 Tanggal 12 Agustus 2008 menolak permohonan kasasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait tiga proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak tahun 2002-2007.
Seperti diketahui, Walhi mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan proyek Ladia Galaska yang meliputi jalan Jeuram-Beutong Ateuh-Takengon (128 km), jalan Blangkejeren-Pinding-Lokop-Peureulak (170 km), dan jalan Takengon-Ise-ise-Blangkejeren (156 km) yang dilaksanaan Pemerintah Aceh tahun 2002-2007.
Walhi menilai, proyek jalan dan jembatan di kawasan Ladia Galaska itu telah melanggar UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, merusak lingkungan hidup dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), karena memotong kawasan hutan lindung, mengganggu lingkungan hidup satwa, fauna, dan flora, berdampak gundulnya hutan yang mengakibatkan banjir besar dan tanah longsor.
Waktu itu, Sekda Aceh, Husni Bahri TOB mengatakan, penolakan MA tersebut merupakan harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat Aceh di pantai timur-utara, pedalaman, dan pantai barat-selatan Aceh untuk melanjutkan program jalan tembus atau jalan lintas pantai timur-utara dan tengah pantai barat-selatan Aceh yang tertunda pekerjaannya selama tiga tahun akibat gugatan Walhi mulai di tingkat pengadilan negeri, banding ke pengadilan tinggi, hingga kasasi ke MA.
Penolakan kasasi Walhi (waktu itu) juga sempat ditanggapi dengan gembira oleh Pimpinan DPRA. “Penolakan MA itu merupakan info baru bagi masyarakat Aceh pedalaman dan pantai barat-selatan Aceh serta pantai timur-utara Aceh yang telah lama merindukan agar tiga proyek jalan tembus antarkabupaten/kota itu bisa direalisasikan segera,” begitu tanggapan yang pernah disampaikan Wakil Ketua II DPRA, Koordinator Bidang Infrastruktur DPRA, Drs H Sulaiman Abda.
Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Dr Muhyan Yunan juga tak kalah semangatnya.
“Proyek jalan tembus yang dimaksud dalam proyek Ladia Galaska itu tetap akan dilanjutkan hingga tembus. Cita-cita dan misi dari pembuatan proyek Ladia Galaska itu untuk menghapus isolasi transportasi antara wilayah, yaitu Aceh pedalaman dengan pantai timur utara dan pantai barat-selatan Aceh,” kata Muhyan sambil menambahkan, “Nama proyek itu sekarang sudah diganti, tidak lagi Ladia Galaska, melainkan proyek jalan penghubung antarlintas wilayah Aceh pedalaman dengan pantai timur-utara dan pantai barat-selatan Aceh.”
Tidak menyerah
Di tengah kegembiraan eksekutif-legislatif atas putusan MA Nomor 1343K/Pdt/2007 Tanggal 12 Agustus 2008, ternyata Walhi tidak menyerah. Malah, Walhi tetap melanjutkan proses hukum terhadap bagian proyek Ladia Galaska dengan mengambil kesempatan Peninjauan Kembali (PK).
“Walhi sama sekali tidak menolak pembangunan jalan yang akan bermanfaat bagi kemajuan masyarakat Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia,” tandas Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, sebagaimana pernah dilansir Serambi.
Zulfikar menegaskan, terkait gugatan tersebut, Walhi hanya mempersoalkan sebagian dari ruas-ruas jalan Ladia Galaska yakni ruas yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan konservasi seperti Hutan Lindung Burlintang, Hutan Lindung Singgahmata Gayo, Kawasan Ekosistem Leuser, dan dua bagian lainnya. “Walhi telah pernah menyarankan agar ruas-ruas tersebut dialihkan sehingga tidak masuk ke kawasan konservasi dan pembangunan tidak perlu terhambat. Namun pemerintah tidak mengindahkan,” tandas Zulfikar.
Pejabat di Aceh harusnya memperhatikan Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Pasal 150, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang yang diturunkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2007 tentang RTRWN yang mengatur kegiatan dalam KSN berstatus lindung. “Peraturan-peraturan tersebut mengancam pejabat negara yang tidak mengindahkannya dengan pidana penjara antara 3-5 tahun dan denda hingga Rp 500 juta.”
Walhi menyatakan keprihatinan karena selama beberapa tahun belakangan ini di sepanjang ruas-ruas Ladia Galaska telah terjadi rentetan bencana alam, dengan rincian 26 kali di Nagan Raya, delapan kali di Aceh Tengah, 23 kali di Aceh Timur, sembilan kali di Gayo Lues, dua kali di Bener Meriah, dan 19 kali di Aceh Tenggara.
Kini, di tengah belum berakhirnya keprihatinan Walhi, MA kembali mementahkan upaya hukum yang dilakukan organisasi ini melalui Peninjauan Kembali (PK). Akankah putusan terakhir ini benar-benar bisa menjadi ‘jalan’ untuk mewujudkan mimpi masyarakat atau malah sebaliknya? Kita tunggu saja.(nasir nurdin/Litbang SI)
tangapan mereka
Tak Terhalang Lagi
PEMERINTAH Aceh tentu menyambut baik putusan PK majelis hakim MA itu. Dengan demikian pemerintah sudah bisa lebih fokus untuk melanjutkan pembangunan yang sebelumnya terhalang proses hukum. Begitu pun, kita juga mengucapkan terima kasih dan memberi apresiasi kepada Walhi. Dengan adanya gugatan mereka, maka keabsahan tentang pembangunan jalan itu sudah benar-benar diuji proses hukum.
* Usamah El-Madny, Kabag Humas Pemerintah Aceh. (sal)
Tetap Harus Selektif
SECARA resmi Walhi Aceh belum menerima putusan tersebut, tapi mungkin dikirim langsung ke Walhi Pusat di Jakarta. Kita tetap menyambut baik putusan itu dan mempersilakan Pemerintah Aceh melanjutkan pembangunan. Dari awal kita tidak bermaksud menghalangi pembangunan, melainkan mengingatkan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. Karena itu, kita tetap berharap pemerintah mencari jalur-jalur alternatif untuk meminimalisir kerusakan yang akhirnya juga berdampak terhadap masyarakat.
* Zulfikar, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh. (sal)
….
ini berita serambi tanggal 5 agustus kalau tidak salah saya