DALAM buku Pengantar Arsitektur Kota, Hestin Mulyandari menyebutkan, defenisi kota adalah barisan pertemuan semua kepentingan manusia dalam sebuah kolase ruang besar sehingga kota dapat dikatakan sebagai sebuah organism yang merupakan pusat industri, perdagangan, pendidikan, pemerintahan atau mencakup semua kegiatan tersebut.
Dalam sudut pandang teknis seorang enggineer lebih menekankan aspek kota secara fisik dengan memperhatikan hubungan antara ruang dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya. Sejarah perkembangan kota ada yang tumbuh secara alami namun cenderung tidak akan tertata dengan baik ditambah lagi dengan laju pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi akan memberikan warna tersendiri dari permasalahan kota.
Sedangkan perkembangan kota yang terencana dengan baik yang diikuti dengan pengendalian perkembangan kota dan aturan yang baik pula akan memberikan nilai positif terhadap kota itu sendiri.
Apabila kita pelajari lebih seksama, memang teori-teori perencanaan tentang kota cukup banyak sekali karena memang kota telah mulai ada sejak zaman Yunani sampai kota moderen saat ini. Tidak dapat dipungkiri ilmu itu sangat menentukan keberhasilan karena sudah dipelajari orang sejak dulu dan teruji dalam aplikasi pembangunan.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan perencanaan tidak dapat dibuat hanya berdasarkan akal pikiran seketika lalu dibangun tetapi tentu harus dengan ilmu dan studi, karena pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan yang kompleks dari berbagai disiplin ilmu dan dari beberapa sudut pandang antara lain ekonomi, budaya, lingkungan dan lain-lain yang terintegeral dalam sebuah perencanaan. Sebuah perencanaan ideal mungkin sesuatu pekerjaan pelik untuk dilaksanakan karena hal yang sudah terlewati, yang perlu kita cermati adalah hal-hal yang sederhana saja dalam realita.
Kota Takengon yang pondasi perancangannya telah dibuat sejak masa kolonial Belanda. Belanda sebenarnya telah memberikan perencanaan yang baik terhadap akses kota, namun sayang konsep tersebut tidak dilanjutkan lagi sehingga kota cenderung berkembang secara alami.
Apabila kita cermati pendapat Kevin Lynch dalam pembagian citra kota bahwa dapat dibaca Simpang Lima (Simpang Surabaya) merupakan Node atau simpul lingkaran strategis dan dengan adanya pengembangan kota maka seputaran terminal menjadi bagian dari part atau rute sirkulasi yang melakukan pergerakan secara umum ke wilayah penyebaran.
Maka penentuan jalur lalu lintas dalam kota sangat mendukung sirkulasi kota itu sendiri, sehingga dalam pengaturan arah lalu lintas perlu diperhatikan akses jalur transportasi ke pusat penyebaran dan sebaliknya dengan kondisi yang seimbang dan merata terhadap keseluruhan kawasan penyebaran.
Apabila ini tidak dilakukan maka terjadi kecenderungan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan dan bahkan dapat menimbulkan keributan sesama pengguna jalan ataupun dengan petugas yang tentu akan merepotkan petugas itu sendiri dalam pengendalian berlalu lintas.
Salah satu contoh adalah penerapan arah lalu lintas kendaraan satu arah untuk dua jalan paralel menuju terminal (Jalan Sengeda dan Pasar Inpres) tanpa memperhatikan arus balik dari terminal ke kawasan timur dan selatan.
Seharusnya pengguna jalan hanya menempuh jarak dalam hitungan 500 meter (ke wilayah Pasar Pagi, Tetunyung dan sekitarnya). Tetapi disini harus ditempuh sepanjang 2 Km karena harus berputar ke Simpang Wariji, Simpang Polres dan Simpang Lima.
Apakah ini bukan merupakan suatu pemborosan dan apakah pernah kita survey bagaimana kekesalan para pengguna jalan yang nota bena setiap tahunnya membayar pajak kendaraan.
Pada perinsipnya perhitungan arus pergi dan balik yang tidak seimbang adalah hal yang tidak lazim diterapkan dalam pengaturan manajemen lalu lintas kota.
Bahkan pengaturan arah lalu lintas sebelumnya dianggap lebih baik dibanding saat ini. Dimana antara Jalan Sengeda dan Pasar Inpres adalah arus lalu lintas dua arah, hanya saja di Simpang BPD dari Jalan Pasar Inpres tidak memberikan akses ke kota lama (Simpang Lima). Sehingga masyarakat cenderung melanggar rambu yang ada, namun masih ada alternatif dapat berbelok ke Simpang Baletu dari Jalan Pasar Inpres.
Dalam penanganan permasalahan ini, Pemerintah yang salah satu tugasnya pengendalian ruang dalam kota harus mencari pemecahan masalah. Salah satunya adalah dengan melebarkan jalan dari Simpang Lima sampai Simpang Jalan Bom dan menjadikan jalan tersebut menjadi dua arah dan memasang trafic light di Simpang BPD.
Dengan demikian akan dapat memberikan akses arus lalu lintas dari Jalan Pasar Inpres ke wilayah timur maupun ke kota lama dan sebaliknya dari simpang lima ke Jalan Sengeda yang dapat berputar kembali ke Jalan Pasar Inpres (sircle).
Bank BPD sebagai kantor pelayan publik harus rela memberikan ruang untuk pelebaran jalan dan penyedian lahan parkir bagi nasabahnya sehingga tidak menggangu arus lalu lintas umum. Solusi ini akan dapat memberikan sedikit kenyamanan bagi pengguna jalan walaupun disadari belum dapat memberikan pelayanan yang optimal mengingat perkembangan laju penambahan kendaraan yang tidak seimbang dengan kondisi prasana jalan.***
*Bekerja Pada Perbantuan di Satker DTBU Kemenhub