Syari’at Islam dan Budaya Aceh Pedalaman

Al Yasa Abubakar*

Bismillahirrahmanirrahim.

I

Panitia meminta penulis untuk menyampaikan makalah seperti tertera pada judul di atas. Tetapi karena keterbatasan bahan dan waktu, penulis meminta izin kepada panitia untuk membatasi makalah ini sesuai dengan bahan yang penulis miliki, terbatas pada Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan sedikit perbandingan dengan Singkil. Makalah ini juga berupaya melihat aspek sejarah dan perkembangan pendidikan di Gayo Lut dalam kaitan dengan perubahan dan pembaharuan faham keagamaan dalam upaya mengejar kemajuan, memasuki zaman modern yang selalu menantang.

Kapan tepatnya Islam untuk pertama sekali masuk ke Aceh, dan kapan pula masyarakat muslim pertama telah terbentuk di daerah Aceh, belum diketahui dengan pasti. Azyumardi Azra, ketika membahas kedatangan Islam yang pertama ke wilayah Melayu (Jawi) setelah mengemukakan beberapa pendapat dan teori, akhirnya cenderung pada kesimpulan bahwa Islam telah datang ke Nusantara sejak abad pertama hijriah, dan masyarakat muslimpun sudah ditemukan di beberapa wilayah di Nusanatara sejak abad kedua hijriah atau abad ke delapan Masehi. Di Aceh sendiri, berkembang pendapat bahwa kerajaan Islam tertua adalah Kerajaan Islam Pereulak, yang sudah muncul sebelum abad ke sepuluh miladiyah. Tetapi catatan tentang keberadaan kerajaan ini relatif sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada. Kerajaan berikutnya adalah Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke tiga belas dan empat belas Masehi, yang kekuasaan dan kebesarannya dicatat dan diakui oleh banyak pihak. Setelah ini kerajaan Aceh yang paling termasyhur adalah Kerajaan Aceh Darussalam, yang berkiprah sejak abad ke enam belas sampai abad ke sembilan belas Masehi, yang hilang karena diserang dan ditaklukkan  Belanda. Pada masa inilah muncul beberapa nama penulis besar tentang Islam generasi pertama di Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniry, Abdurra`uf Syiah Kuala dan seterusnya. Mereka ini menjadi besar dan sangat terkenal paling kurang karena tiga hal. Pertama, mereka adalah generasi pertama yang menulis dan menjelaskan Islam dengan Bahasa Melayu, yang ternyata mampu mendorong kedekatan Islam dengan rakyat pribumi, sehingga terjadilah semacam islamisasi di Nusantara. Kedua, tulisan para ulama ini relatif sangat mencakup, mulai dari tafsir, hadis, ilmu kalam, fiqih dan tasawuf, yang langsung atau tidak talah dapat menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu mereka. Ketiga, nama-nama tersebut merupakan percampuran antara penduduk asli dengan pendatang, yang sampai batas tertentu menunjukkan adanya keterbukaan dan mungkin juga budaya “internasional” di kalangan masyarakat Aceh waktu itu. Catatan yang keempat yang juga perlu kita renungkan, ke empat ulama besar ini tidak menulis dalam bahasa Aceh, tetapi menulis dalam Bahasa Melayu, sehingga seperti telah diuraikan di atas kitab tulisan mereka tersebut beredar dan dibaca luas di sluruh Nusantara. Andainya mereka menulis dalam Bahasa Aceh maka kuat dugaan tulisan mereka akan hilang ditelan zaman, dan tidak akan kita ketahui keberadaannya.

Dua diantara empat nama besar di atas berasal dari daerah Singkil. Tidak banyak catatan yang sampai kepada kita tentang keadaan keluarga dan asal usul mereka. Berbeda dengan beberapa penulis lain, saya cenderung berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dan Abdurra`uf Syiah Kuala adalah asli orang pribumi, bukan keturunan Arab atau India apalagi keturunan Habib. Kesimpulan ini penulis ambil dari kenyataan bahwa mereka tidak menuliskan asal usul dan silsilah leluhur mereka. Hal ini berbeda dengan kebiasaan para ulama pada waktu itu, terutama sekali yang berasal dari Arab, yang senang menuliskan nama para leluhur dan negeri asal mereka secara sedemikian rupa. Karena itu sekiranya mereka merupakan keturunan Arab, tentu mereka akan menuliskan nama para leluhur mereka sampai beberapa tingkat. Seperti terlihat Hamzah dan Abdurrauf bahkan tidak menuliskan nama orang tua, mereka hanya menisbahkan diri kepada daerah yang diduga kuat menjadi asal usulnya yaitu Barus (Fansur) untuk Hamzah dan Singkil untuk Abdurra’uf.

Dengan keyakinan bahwa Hamzah dan Abdurrau’uf adalah asli pribumi, maka layak kita renungkan bagaimana keadaan kehidupan masyarakat di Barus dan Singkil pada waktu itu, sehingga mereka mampu mengirimkan beberapa orang putera terbaiknya untuk belajar ke luar negeri sampai bertahun-tahun lamanya. Saya merasa bahwa dua nama ini adalah puncak dari “gunung es” kemajuan pendidikan pada waktu itu. Kalaupun tidak sampai ke fenomena seperti “gunung es”, penulis yakin bahwa orang terdidik relatif sudah banyak, walaupun tingkatannya relatif lebih rendah dari dua nama besar di atas. Sulit membayangkan hanya dua nama di atas yang terdidik dan selain dari mereka adalah buta huruf dan tidak menganggap penting ilmu pengetahuan. Paling kurang dapat dikatakan layak untuk berpendapat, ada orang Barus dan Singkil yang lain pada waktu itu, yang pergi menunaikan ibadah haji, karena sulit membayangkan mereka menyekolahkan dan mengirim anaknya untuk belajar ke Arab dan mereka sama sekali buta tentang keadaan di sana.

Sebagai perbandingan, di abad ke sembilan belas, ketika Snouck Hurgronje megunjungi Mekkah, dia menceritkan bahwa di Mekkah ada mukimin (imigran asal) Aceh dalam jumlah yang cukup besar dan cukup disegani, karena kecerdasan dan kekayaan mereka, serta keberadaan mereka yang sudah cukup lama di kota suci ini. Salah satu bukti untuk hal tersebut adalah adanya wakaf mereka yang relatif banyak baik dari segi kuantitas dan juga kualitas, hatta dalam ukuran Pemerintah Arab Saudi sekarang ini.

Kalau di Singkil keadaan dan kemajuan umat Islam sudah bermula sejak abad ke tujuh belas, bahkan sudah melahirkan ulama besar yang namanya kita kenang sampai sekarang ini maka bagaimana keadaan di daerah Aceh pedalaman lainnya, khususnya Tanah Gayo?

II

Menurut Snouck Hurgronje, tidak ada catatan tertulis tentang keberadaan suku Gayo dan sejarahnya sebelum kedatangan Belanda. Dengan demikian bolehlah dikatakan bahwa Snouck adalah orang pertama yang memperkenalkan Gayo ke dunia luar.  Dalam kaitan dengan perkembangan Islam, Snouck menulis bahwa di daerah Gayo Lut  (Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sekarang), sudah ada enam buah masjid yaitu: (1) Bebesen, (2) Kebayakan, (3) Toweren, (4) Bintang, (5) Tingkem dan (6) Ketol (di Kute Gelime). Snouck juga menyebutkan bahwa di daerah Gayo Lues pun  sudah ada enam buah mesjid, sedang di daerah Gayo Deret dan Gayo Serbe Jadi belum ada sebuah mesjid pun. Mengenai meunasah (Gayo, mersah) sesuai dengan adat yang berlaku di sana, ditemukan di setiap kampung (dalam Bahasa Gayo sering disebut belah yang arti harfiahnya adalah anak suku) karena mersah merupakan bagian dari kelengkapan kampung yang harus ada. Di daerah Gayo sama seperti di Aceh pesisir, di samping untuk tempat melaksanakan shalat fardhu berjamaah, mersah juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, pertemuan dan musyawarah, serta tempat bermalam bagi anak muda, duda dan bahkan tamu laki-laki. Bermanfaat disebutkan di kebanyakan kampung di Gayo, orang perempuan melakukan shalat fardhu berjamaah di tempat khusus untuk mereka yaitu joyah. Jadi pada setiap kampung ditemukan sebuah mersah dan sebuah joyah. Karena salah satu fungsi utamanya adalah sebagai tempat shalat dan juga pusat aktifitas kehidupan sehari-hari, termasuk sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) semua penduduk, maka letak mersah dan joyah selalu di dekat anak sungai, selokan bahkan parit atau tempat lain yang air bersih bisa dialirkan ke sana. Jadi karena harus berdekatan dengan sumber air bersih (air mengalir), maka tidak selamanya mersah atau joyah berada di tengah kampung.

Berkaitan dengan pengajian atau pendidikan agama, khususnya untuk anak-anak, oleh Snouck dalam bukunya tadi, disebutkan bahwa dalam adat Gayo ada empat tugas utama (sinte) yang harus ditunaikan orang tua terhadap anak-anaknya yaitu: iturun manin (diberi nama, di-`aqiqah-kan), imenjelisen (dikhitan, di-sunat-rasul-kan), iserahan mungaji (diserahkan kepada guru untuk belajar mengaji, membaca Al-qur’an dan belajar pengetahuan praktis tentang ibadat) serta ikerjen atau iluahi (dicarikan jodoh dan dinikahkan). Snouck memberi penjelasan panjang lebar tentang tiga dari empat kegiatan di atas, namun untuk kegiatan mungaji beliau sebutkan secara sangat ringkas, bahwa di Gayo pada biasanya orang tua akan menyerahkan anaknya kepada guru mengaji. Anak laki-laki biasanya diserahkan setelah selesai dikhitan, sedang anak perempuan sudah dimulai pada usia lebih awal,  untuk belajar mengaji dan belajar ibadat praktis yang mereka perlukan di dalam kehidupan nanti. Bagaimana tata cara penyerahan dan bagaimana kegiatan mengaji dilakukan, bagaimana kurikulum, buku pegangan (kalau ada) dan metodenya belum penulis temukan keterangan dan penjelasannya yang memadai.

Dalam beberapa wawancara (antara lain dengan almarhum Tgk Ashaluddin—salah seorang ulama pembaharu dan tokoh yang memahami adat Gayo, almarhum Aman Reminah—Imeum Kampung Akim, almarhum Aman Umer, salah seorang bekas reje di Delung Tue,  (dilakukan antara tahun 1980 – 1983), penulis mendapat penjelasan bahwa kitab yang banyak beredar di tengah masyarakat Gayo sebelum kedatangan Belanda dan di awal kedatangan Belanda hanyalah Kitab Perejan (sebutan lokal untuk buku juz `amma yang dilengkapi dengan tuntunan belajar mengaji metode Bughdadiyyah) dan sebuah kitab jawo yaitu PERUKUNAN. Harus diingat kedua kitab ini pada masa tersebut masih dalam bentuk manuskrip, ditulis tangan, belum ada yang dicetak dan jumlahnya sangat terbatas. Hanya orang tertentu di kampung tertentu yang memilikinya, yaitu dengan cara memesan atau mengupah orang untuk menulisnya. Sebagian kitab ini ditulis di daerah Aceh Utara, sebagian di Pidie dan ada juga yang berasal dari pantai Barat Selatan serta Tamiang. Sedangkan kitab Al-qur’an yang lengkap, juga dalam bentuk manuskrip, kuat dugaan sudah dimiliki paling kurang oleh beberapa belah (kampung), sebagai pusaka yang penting. Al-qur’an tulis tangan ini di simpan bersama-sama dengan bunda pusaka lainnya, terutama bawar, sejenis pisau yang diserahkan oleh Reje Linge atau Sultan Aceh (Dolat I Ujung Acih) kepada reje (raja, kepala) kampung tersebut sebagai tanda bahwa kampung/belah yang bersangkutan sudah diakui sebagai wilayah yang berpemerintahan sendiri (sampai awal kemerdekaan banyak belah yang masih menyimpan kitab Al-qur’an berbentuk manuskrip ini, namun sekarang banyak yang sudah  rusak dan ada juga yang diserahkan kepada pihak luar dengan berbagai sebab). Sebagai contoh, salah seorang informan yang berasal dari Gayo Lues (Mude Aman Ramlan, tahun 1968) pernah memberi tahu penulis (ketika itu penulis masih remaja), bahwa kakek beliau mempunyai sebuah Al-qur’an tulis tangan yang sudah ada sejak sebelum kedatangan Belanda, yang di tulis di pantai Barat Aceh dengan upah menulisnya dua ekor kerbau.

Karena merupakan benda pusaka, kuat dugaan Al-qur’an yang berbentuk manuskrip ini lebih dianggap sebagai simpanan dari pada sebagai buku bacaan yang harus dibuka dan dibaca setiap hari. Dan kalaupun dibaca, hanya orang tertentu dari keluarga pemimpin kampung/belah yang dapat melakukannya.

Menurut Bapak Mude Aman Ramlan dan juga beberapa informan lainnya, mereka mendapat informasi bahwa sebelum kedatangan Belanda, anak-anak belajar mengaji (membaca Al-qur’an) di mersah pada malam hari dengan menggunakan obor batang pinus (suluh uyem) sebagai lampu penerangan, yang kebanyakannya hanya berbentuk hafalan karena ketiadaan buku. Pelajaran lain yang diberikan di mersah adalah membimbing anak-anak menghafal do`a-do`a yang menjadi bacaan shalat (termasuk beberapa surat pendek) serta menghafal ayat-ayat penting (ayat kursi, ayat tujuh,  do`a haykal dsb), untuk digunakan pada waktu kritis seperti ketika ada bahaya atau ketika memerlukan pertolongan. Untuk pendidikan tingkat lanjut, biasanya sesudah seseorang memasuki usia remaja sampai menjelang kawin, penghapalan ini dilanjutkan sampai tamat seluruh Juz `Amma serta surat Yasin. Menurut beliau, murid yang mengaji sampai ke tingkat ini amat sangat terbatas hanya beberapa orang saja, biasanya mereka yang dipersiapkan untuk menjadi teungku imem di kampungnya. Setelah belajar pada setiap malam, menjelang akan tidur (para remaja dan anak-anak tidur di meunasah, sedang mereka yang lebih dewasa tapi belum kawin tidur di “pos pemuda”, serami dalam Bahasa Gayo) biasanya teungku (guru) sekiranya tidur di meunasah, atau salah seorang duda yang tidur di mersah akan bercerita atau mendongeng yang tampaknya dimaksudkan sebagai tuntunan akhlak dan pengajaran moral serta pembentukan kepribadian yang islami mengikuti tatacara adat dan nilai budaya Gayo. Sedang untuk pelajaran menulis, yang biasanya dilakukan secara sangat terbatas, diajarkan pada siang hari secara tidak formal dengan menggunakan neniun (pelepah kering pohon bambu) sebagai kertas dan arang sebagai pinsilnya. Huruf yang digunakan, tentulah huruf Arab Melayu, karena tidak ada catatan bahwa suku Gayo pernah menggunakan huruf lain yang lebih tua. Pada beberapa kampung, karena jumlah rumah dan anak-anak yang sangat terbatas, maka mereka belajar di salah satu rumah, biasanya rumah teungku, bukan di mersah. Perlu ditambahkan, para teungku (guru mengaji) ini karena tidak memiliki kitab untuk digunakan, biasanya hanya mengajarkan doa`do`a untuk dihafal, praktek shalat dan ibadat lainnya berdasarkan ingatan dan pengalamannya ketika belajar dahulu.

Tgk. Ashaluddin juga memberi tahu penulis, bahwa tempat belajar di luar Tanah Gayo yang menjadi tujuan pemuda Gayo untuk belajar sebelum kedatangan Belanda adalah dayah (psrantren) Awe Geutah di Peusangan, Aceh Utara. Namun begitu, dari berbagai wawancara dengan tokoh masyarakat Gayo, dapat diketahui bahwa ada juga putera Gayo yang belajar mengaji di Tamiang, Peurelak, Pidie, Meulaboh dan Aceh Selatan, sejak sebelum kedatangan Belanda. Di pihak lain ada saja orang yang dianggap alim datang dari pesisir untuk menetap di Tanah Gayo, yang pada umumnya sangat dihormati, diangkat menjadi anggota suku (belah) bahkan dikawinkan dengan salah seorang anggota suku–sering sebagai isteri kedua, karena di pesisir di kampung asalnya, sebelum datang ke Gayo dia sudah menikah terlebih dahulu. Dengan demikian, berbagai belah (kampung) di Tanah Gayo relatif tidak pernah kekeringan guru yang akan membimbing dan menjadikan mereka hidup dalam naungan dan kesadaran keagamaan yang kental serta melakukan penyesuaiannya dengan adat Gayo.

Mengenai jumlah orang yang pernah naik haji sebelum kedatangan Belanda, tidak dapat penulis ketahui dengan pasti. Bapak Ashaluddin dan beberapa sumber lain, menyatakan bahwa dari nama panggilan dan gelar yang digunakan beberapa orang Gayo yang mereka ketahui, kelihatannya sudah ada orang Gayo yang menunaikan ibadah haji sebelum kedatangan Belanda, termasuk dari Gayo Lues atau Blang Kejeren, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas.

III

Setelah Belanda menaklukkan Tanah Gayo, mereka kelihatannya ingin mengambil keuntungan dan mengeksploitasi daerah ini secepatnya. Dari catatan yang tertera pada batu peresmiannya, dapat diketahui bahwa jalan yang dapat dilalui mobil, yang menghubungkan Takengon dengan Bireuen  (sepanjang 103 km), mulai dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1916. Secepat itu pula di Tanah Gayo, di sekeliling Danau Laut Tawar, mereka buka tiga perkebunan besar swasta: perkebunan pinus (kilang pengolahannya terletak di Lampahan, sedang areal perkebunannya terbentang dalam radius hampir 100 km dari kilang ini) dan perkebunan kopi (kilang pengolahannya terletak di Bandar Lampahan, dengan areal perkebunan seluas 20.000 ha. yang tersebar dalam radius sekitar 40 km dari kilang). Kedua perkebunan ini sudah berproduksi pada pertengahan tahun 30-an. Perkebunan yang ketiga adalah perkebunan teh, yang kilang dan areal perkebunannya seluas sekitar  15.000 ha, terletak di daerah Redelong, mulai dari Ponok Sayur sampai ke Ponok Ulung, dan baru berproduksi di awal tahun 40-an. Pembukaan tiga perkebunan besar ini menjadikan jaringan jalan untuk mengangkut hasil kebun yang tersebar hampir di seluruh kawasan Gayo Lut dan sebagian Gayo Deret ini, relatif telah membelah dan membuka serta menghubungkan hampir seluruh wilayah tersebut dengan jalan yang dapat dilewati truk. Walaupun  jalan dan jembatan ini dibangun untuk kepentingan perkebunan, bukan untuk kepentingan penduduk, secara tidak langsung masyarakat Gayo Lut merasakan manfaatnya, sehingga sejak saat ini Gayo Lut relatif menjadi lebih “maju” dan lebih cepat bersentuhan dengan Budaya Barat dibandingkan dengan daerah Gayo Deret, Gayo Lues dan Gayo Serbe Jadi. Daerah Gayo Lues yang sebelum kedatangan Belanda relatif lebih maju dalam arti lebih banyak penduduknya, lebih banyak yang berpendidikan dan lebih kaya dari tiga daerah lainnya menjadi tertinggal dan berada di belakang Gayo Lut. Persentuhan Gayo Lues dan Gayo Serbe Jadi boleh dikatakan baru terjadi secara intensif setelah tahun 70-an, setelah jalan tembus termasuk jembatan dibangun oleh pemerintah Indonesia. Sedang Gayo Deret sebetulnya sudah menerima sentuhan budaya luar sejak masa Belanda dengan kedatangan banyak buruh perkebunan. Tetapi daerah ini sukar berkembang karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit dan tanahnya yang tidak terlalu subur; kebanyakannya hanya cocok untuk areal peternakan, bukan untuk persawahan ataupun perkebunan.

Untuk mengelola perkebunan yang relatif sangat luas ini, Belanda mendatangkan buruh yang hampir semuanya berasal dari Pulau Jawa, dan beberapa orang tenaga terdidik dari Sumatera Barat, Mandailing dan suku Cina sebagai tenaga trampil, yang mereka tempatkan secara tersebar di hampir seluruh wilayah Gayo Lut (dan Gayo Deret), sesuai dengan sebaran areal perkebunan tadi. Lebih dari itu banyak juga orang yang datang ke Tanah Gayo atas inisiatif sendiri, utamanya dari daerah Minangkabau. Ada yang menjadi guru, pedagang dan bahkan petani. Sebagian dari mereka ini disahkan sebagai anggota belah dan karena itu dianggap sudah menjadi orang Gayo. Orang Cina pun ada yang datang ke Gayo yang tidak bekerja dengan Belanda. Sebagiannya menjadi pedagang, tetapi menurut cerita orang tua-tua banyak juga yang bekerja sebagai petani, tukang kayu dan bangunan serta membuka bengkel. Mereka pun tidak tinggal pada satu tempat tetapi tersebar secara bergerombol pada beberapa titik di beberapa lokasi perkebunan. Sedang orang Aceh Pesisir, yang sejak masa Belanda sudah mempunyai hubungan dengan masyarakat Gayo, telah datang dalam jumlah yang lebih banyak lagi—ada yang datang untuk menetap tetapi banyak juga yang datang hanya untuk kegiatan semusim dan setelah itu pulang kembali ke pesisir.  Berdasar kenyataan ini rasanya tidak terlalu berlebihan sekiranya dikatakan bahwa sejak masa tersebut masyarakat di Gayo sudah menjadi masyarakat terbuka dan majemuk atau paling kurang sudah mulai belajar untuk menjadi masyarakat majemuk.

Kedatangan Belanda yang tiba-tiba, dan setelah itu adanya jalan raya yang membentang dan membelah Tanah Gayo (Lut) sedemikian rupa (yang mereka niatkan untuk keperluan perkebunan besar mereka), yang kemudian disusul dengan kedatangan “orang asing” yang relatif banyak, dengan berbagai ketrampilan dan kemampuan serta berbagai jenis barang dan peralatan (salah satunya adalah kincir air untuk menumbuk padi), dengan kata lain kehadiran budaya luar yang mungkin amat sangat mengejutkan, mencengangkan dan bahkan menantang ortang Gayo. ”Revolusi” budaya ini kelihatannya menjadikan orang Gayo—yang sebelumnya terlena dengan menanam padi, sedikit perkebunan tembakau, memelihara kerbau dan menangkap ikan di danau atau di sungai, untuk mengisi waktu senggang, seperti terjaga dari tidur yang panjang. Kedatangan Belanda dan perubahan yang dibawanya kelihatannya mendorong dan memberi kesempatan kepada banyak pemuda Gayo untuk “turun gunung” pergi melihat dunia luar dan belajar, agar mereka tidak lagi menjadi katak di bawah tempurung. Beberapa dari mereka memang dipaksa bersekolah oleh Belanda karena keturunan bangsawan (mereka dipersiapkan menjadi penguasa lokal pada masa yang akan datang). Tetapi para pemuda selebihnya, baik yang bangsawan apalagi yang rakyat kebanyakan, semuanya pergi atas inisiatif sendiri atau keluarga. Kebanyakan mereka kelihatannya keluar dari Gayo hanyalah dengan informasi seadanya, sehingga mudah sekali “tersangkut” di banyak kota yang menjadi pusat pendidikan waktu itu, Sigli, Banda Aceh, Medan, Pematang Siantar, Bukit Tinggi, Padang, Bandung, Yogyakarta, Bangil,  dan beberapa kota lainnya. Mereka juga masuk ke berbagai jenis dan model lembaga  pendidikan, baik yang umum ataupun yang agama.

Dalam bidang agama sebagian mereka masuk ke lembaga berkecenderungan modernis yang mengaku tidak terikat dengan mazhab, sedang sebagian yang lain masuk ke lembaga yang berkecenderungan tradisional, yang terikat dengan mazhab Syafi`iyah. Dari hasil wawancara dengan berbagai tokoh, penulis mendapat informasi bahwa kebanyakan mereka “tersangkut secara kebetulan” pada lembaga yang mereka masuki, bukan karena pilihan yang sadar atau setelah mendapat informasi yang cukup tentang lembaga tersebut. Memang sebagian mereka sudah mempunyai pilihan yang mungkin sekali berdasar informasi tidak lengkap (samar-samar) ketika keluar dari Gayo, karena sebagian mereka sudah mempunyai kota dan lembaga yang akan dia tuju sebelum mereka keluar dari Gayo. Tetapi sering karena mendapat informasi lain (yang baru) di tengah jalan, banyak diantara mereka yang secara begitu saja berbelok tidak jadi pergi ke tempat awal yang telah mereka pilih ketika keluar dari Takengon. Ada juga yang sampai ke lembaga yang dituju tetapi tidak puas dengan keadaan, karena itu mereka keluar lagi dan pergi mencari lembaga lain yang dirasa cocok. Banyak juga yang turun dari Gayo tanpa tujuan yang pasti. Mereka pergi mencari dan akan berhenti pada lembaga yang bersedia menerima dengan berbagai keterbatasan yang mereka sandang.

Kelihatannya mereka juga terpengaruh dengan berbagai kegiatan dan aliran politik pada waktu itu, sehingga  berbagai aliran dan ideologi politik yang ada  di pentas nasional ikut terbawa ke Tanah Gayo ketika mereka pulang, sehingga Tanah Gayo sudah ramai dengan ideologi politik sejak awal mereka melek dengan politik, yang atas ulah dan kebijakan Belanda sering menimbulkan benturan yang keras dan kasar antar sesama rakyat. Ideologi komunis dan nasionalis boleh dikatakan sudah masuk ke daerah Gayo Lut sejak masa awal, ada yang di bawa oleh pendatang dan ada juga yang dibawa oleh puera Gayo sendiri yang pulang dari pendidikan.

IV

Angkatan pertama anak muda Gayo yang ”turun gunung” ini, baik yang dikirim Belanda atau yang pergi dengan inisiatif sendiri, baik yang di bidang umum ataupun di bidang agama, telah pulang kembali ke Tanah Gayo pada akhir tahun 20-an dan dapat diduga langsung menjadi tokoh yang dihormati dan disegani. Dalam bidang agama, kelompok berkecenderungan tradisional diwakili oleh Teungku Silang (Kebayakan) yang menempuh pendidikan di Candung Sumatera Barat, pulang awal tahun 30-an. Sedang kelompok berkecenderungan modernis yang pulang sedikit lebih belakangan dari kelompok pertama tadi, diwakili  oleh Teungku Abdul Muthallib (Mukhlis, Isaq) yang belajar di Al-Irsyad Surabaya dan Teungku Abdul Jalil (Bale) yang menempuh pendidikan di Persatuan Islam Bangil  Jawa Timur.  Kepulangan mereka, yang lantas menggalakkan ceramah dan diskusi bahkan perdebatan, yang kelihatannya berlangsung secara bebas bahkan sangat bebas (kasar dan keras), telah menjadikan masalah agama topik yang diminati dan dibicarakan secara luas di dalam berbagai pertemuan. Sering ceramah, debat dan diskusi ini karena dianggap menimbulkan gesekan dan pertikaian diantara berbagai kalangan yang ada di Gayo, diatur dan dipandu oleh aparat Pemerintah Kolonial. Tetapi di dalam kenyataan bimbingan dan panduan tersebut bukannya meredakan gesekan malah sebaliknya semakin memperkeruh keadaan, karena ”sang penengah” ini biasanya mengumumkan siapa yang lebih baik, lebih logis, dan kadang-kadang menyatakan siapa pemenang dan siapa yang kalah sehingga menimbulkan semacam konflik berkepanjangan. Di pihak lain, ceramah dan perdebatan ini kelihatannya telah memberikan semacam pencerahan dan pengaruh signifikan dalam mengubah cara pandang orang-orang Gayo tentang berbagai hal, dan mendorong para pemuda lainnya agar pergi merantau untuk belajar secara sungguh-sungguh, baik pada sekolah/madrasah yang sudah mulai dibuka di daerah Gayo Lut,  atau lebih dari itu pergi ke luar Tanah Gayo.

Pembaharuan yang disampaikan oleh para tokoh, tidak hanya berkaitan dengan ibadah praktis, tetapi juga menyentuh masalah pemurnian akidah, hubungan agama dengan adat istiadat sampai kepada menggugat beberapa bagian hukum adat. Sebagian dari mereka mempertanyakan fungsi belah serta mendorong upaya untuk menghapus atau menggabungkannya sehingga tidak lagi menonjol, begitu juga memperbaharui media untuk berdakwah, anjuran untuk membuka dan memasuki semua jenis lapangan pekerjaan, mengupayakan pembauran antar suku (yang datang dari luar Gayo), misalnya dengan menggalakkan perkawinan antar suku, memperbaiki dan memperkuat kedudukan perempuan dan seterusnya. Diantara pembaharuan yang berdampak luas adalah pemberian kesempatan dan bahkan dorongan kepada perempuan untuk memasuki sekolah atau madrasah serta kesempatan dan dorongan untuk hadir ke mesjid-mesjid untuk melakukan shalat berjamaah termasuk shalat Jum`at. Mungkin dari semua mesjid yang ada di Aceh mesjid-mesjid didaerah  Gayo Lut-lah yang paling banyak memberikan kesempatan kepada orang perempuan untuk mengikuti shalat Jum`at dan shalat berjamaah lainnya. Para ulama ini juga mampu menggeser metode dan perhatian sehingga diskusi dan penjelasan keagamaan harus disertai dalil dari Al-qur’an dan hadis sahih. Pendapat para ulama boleh dipilih sepanjang ada dalil yang memadai dan sesuai dengan kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, beberapa orang tokoh masyarakat Gayo memberi tahu penulis, bahwa setelah kepulangannya ke Takengon, Tgk Abdul Jalil dibantu oleh masyarakat untuk membeli buku referensi keagamaan yang relatif mahal untuk menjadi rujukan para ulama, sehingga dalam waktu yang relatif singkat, perpustakaan yang beliau kelola berkembang menjadi sebuah perpustakaan yang relatif besar. Berbagai kitab hadis dan syarahnya, kitab-kitab tafsir, kitab-kitab fiqih, kitab-kitab kalam dan tasauf, mulai karangan ulama mazhab Syafi`iyah sampai dengan buku para ulama pembaharu seperti Ibnu Taymiyah, Ash-Shan`ani, Asy-Syawkani dan Muhammad Abduh serta kitab dan artikel tulisan ulama Indonesia pada waktu itu, begitu juga berbagai majalah banyak yang menjadi koleksi perpustakaan ini. Salah seorang murid dan pembantu beliau, Aman Reminah, (Imeum Kampung Hakim, di atas sudah disebutkan) mengatakan kepada penulis bahwa masyarakat menyumbangkan kerbau mereka untuk membeli buku. Setiap terkumpul beberapa ekor, maka kerbau itu dijual dan uangnya dibelikan buku. Menurut ingatan beliau, selama masa Belanda ada beberapa kali pemesanan buku dengan uang yang berasal dari harga penjualan kerbau sumbangan masyarakat tersebut. Sayang sekali perpustakaan ini musnah di tahun 60-an, ketika kebakaran besar melanda kota Takengon (setelah kemerdekaan perpustakaan ini menempati lantai dua gedung Kantor PT Aceh Tengah, terletak di Jalan Malem Dewa kota Takengon).

Tokoh-tokoh muda yang baru pulang ini juga memperluas media untuk berdakwah. Menurut beberapa sumber, Tgk Khatib Bensu Gelelungi dan beberapa temannya memperkenalkan sa`er, yaitu bentuk puisi didong yang diubah isinya dengan pesan-pesan keagamaan. Bahkan lebih jauh dari itu, kalau pada didong para pemainnya hanyalah laki-laki maka pada sa`er para pemainnya boleh laki-laki dan boleh juga perempuan (artinya laki-laki bermain atau bertanding dengan sesama laki-laki dan perempuan dengan sesama perempuan). Pertunjukan atau pembacaan sa`er (sama seperti didong) biasanya dilaksanakan pada malam hari, kadang-kadang sampai semalam suntuk, dan para penonton pada umumnya selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Setelah kemerdekaan, beberapa seniman Gayo maju selangkah lagi dalam penggunaan media seni musik untuk berdakwah. Tgk Muhammad Ali Asni—yang menurut beberapa sumber memperoleh pendidikan di Psantren Tanoh Mirah Samalanga, sejak tahun 50-an mulai menulis lagu Gayo “populer” yang berisi pesan keagamaan, yang sangat diminati anak muda dan tersebar luas pada saat itu. Mungkin beliau dapat disebut sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan lagu-lagu Gayo “populer” ke tengah masyarakat. Beliau menulis sya`ir dan melodi untuk lagu-lagu populer Gayo yang berisi pesan dakwah secara tersirat ataupun tersurat, seperti MAULUD (maulid Nabi), RAOM ILANG (padi menguning di tengah sawah), KUKUR (burung perkutut), AMPA LAYANG (padi kosong),  CEDING AYU (tunas muda), JERANG BELANGA (nama sebuah bunga yang tumbuh dalam semak belukar pegunugan Gayo) UYEM (pohon pinus) dan puluhan lagu lainnya. Beliau juga mengarang lagu kampanye untuk kemenangan partai Islam, untuk MASYUMI dalam PEMILU 1955, untuk PARMUSI  dalam PEMILU 1971 dan untuk PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN dalam PEMILU 1977 dan seterusnya.

Di awal tahun 60-an, ketika penulis masih duduk di bangku MIN, sering mendengar orang mendendangkan sa’er dari Masjid Taqwa, setiap selesai shalat Jum`at selama beberapa lama. Penulis tertarik dan senang mendengarkannya, dan setelah penulis remaja penulis ketahui salah seorang tokoh yang mendorong dan menggerakkannya, bahkan menjadi penulis sya’ir dan pencipta lagu (melodi)-nya adalah Bapak Drs. Muhammad Ali Wari, sekarang ini pensiunan dosen IAIN Ar Raniry. Ketika penulis tanyakan tentang pendokumentasian naskah sa`er yang relatif sangat banyak beliau tulis tersebut (setelah penulis dewasa dan memahami kepentingan dokumentasi) beliau menyatakan tidak terfikirkan pada waktu menulisnya dahulu, sehingga sekarang ini tidak mungkin lagi ditulis ulang.

Sekedar untuk mengetahui contoh sa’er ini, penulis kutipkan dua bait dari buku Tafsir Gayo tulisan Tgk. Abdurrahim Daudi alias Tgk.Mude Kala, yang ditulis dan diterbitkan dalam bentuk buku kecil, cetakan Maktabah al-Baby al-Halaby, Kairo, tahun  1938, dengan biaya Tgk Abdul Wahab. Dapat diinformasikan bahwa buku Tafsir Gayo ini tidaklah tebal, hanya puluhan halaman dan berisi tafsir atas beberapa ayat, tidak sampai satu juz Al-qur’an pun. Namun begitu kitab kecil ini mungkin merupakan buku pertama yang ditulis oleh putera Gayo yang dicetak oleh penerbitan resmi. Lebih dari itu mungkin sekali sampai saat ini,  inilah satu-satunya kitab tulisan putera Gayo yang diterbitkan/dicetak di Mesir.

Bagian awal (permulaan kitab):

Ku betih kin atengku kin diringku;
Sungu(h)ni gere ara Tuhen layak isemah;
Melainkan Allah si lebih suci ari kurang urum hine;

Dalil keterangan si lengkap;

Ini denie sekalien alam berkenak bewene ku Tuhen;
Tuhen siberkuasa si lengkap lagi semperne;
Si gere berama le Tuhen gere berine;
Si gere bertubuh le Tuhen gere berupe.

Mugores wani ate bewene ibetih Tuhen;
Sekalien perbueten, Tuhente gere lupe.

Bagian akhir:

Hai Tuhenku, aku muniro, boh iosahko bewene kebajiken;
Tentang ilmu singe kubetih urum si engih kubetih  ilen;
Singe kubetih boh renyel ku amal, boh gelah bener tiep perbueten;
Sigere kubetih renyel kutuntut boh enti aku surut ari pengajinen;
Boh gelah kuamal silagu ilmu kati enti aku bengisi Tuhen;
Boh gelah kutuntut sigere kubetih kati terpilah siberkesalahan
Keta ku Tuhen aku bersilu enti kona ku aku bewene kejahatan
Tentang ilmu singe kubetih urum si engih kubetih ilen
Kejahatan ilmu si gere beramal payah mungenal gere kubueten
Kejahatan ilmu sigere kubetih kerna gere terih ken perintah ni Tuhen;
Ke gere berpaedah ilmu kuaku gelah mi aku imatenen Tuhen;
Enti mutamah umur mutamah dosa naran celaka i hari kemudien.

V

Sebagai penutup, ingin diulangi lagi, bahwa Singkil dan Barus sudah menjadi bgian dari dunia internasional pada pertengahan abad ke tujuh belas masehi, dan pada waktu itu sudah melahirkan paling kurang dua ulama besar yang sangat harum di Nusantara tercinta ini. Sedang Aceh Tengah, Gayo Lues dan Tanah Alas pada waktu itu belum mempunyai sejarah tertulis dan mungkin juga belum diketahui keberadaannya. Tetapi perjalanan waktu menjadikan keadaan berubah. Isolasi dan ketiadaan alat transportasi telah menjadikan daerah Singkil dan Barus relatif tertinggal sama dengan daerah pedalaman lainnya di Provinsi Aceh, paling kurang dalam beberapa bidang. Begitu juga Aceh Tengah relatif sudah maju dalam pendidikan di awal kemerdekaan. Minat untuk belajar dan penghargaan kepada orang pandai (ulama) relatif tinggi sekali. Di Takengon sudah pernah ada perpustakaan yang relatif lengkap, walaupun kita ukur dengan  keadaan sekarang ini. Tetapi mungkin sekali karena kurang perhatian, di Takengon sekarang tidak ada lagi perpustakaan besar apalagi lengkap, bahkan minat baca pun pada masa sekarang kelihatannya tidak lebih baik dari keadaan masa lalu. Majalah ilmiah yang mencerahkan mungkin sekali tidak ada yang masuk secara teratur ke daerah ini. Melalui beberapa wawancara dengan berbagai pihak, penulis menduga tidak ada orang yang berlangganan majalah ilmiah di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Di pihak lain pendidikan pada dua daerah ini tidak lagi menonjol pada masa sekarang. Banyak penyebab untuk ketertinggalan ini dan mungkin juga banyak cara yang dapat dan bahkan harus dilakukan untuk keluar dari ketertinggalan yang dirasakan sekarang. Menurut penulis, salah satu yang harus ditangani secara serius dan sungguh-sungguh adalah perbaikan atas minat dan semangat untuk memajukan pendidikan. Bukan saja pada pemerintah tetapi harus meliputi seluruh lapisan masyarakat. Harus digalakkan kembali kesadaran dan upaya upaya menjadikan generasi muda lebih baik dari generasi yang ada sekarang; bahwa persaingan pada masa yang akan datang lebih ketat dari persaiangna pada masa yang lalu, Generasi mua harus menjadi orang yang lebih sungguh-sungguh, lebih rajin, lebih hemat, lebih kreatif, lebih mandiri, lebih sehat dan lebih percaya diri dalam belajar dan dalam bekerja nanti, sesudah mereka selesai dari pendidikan formal.

Dalam Al-qur’an, disebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kalau mereka tidak mengubah isi dada, apa yang ada dalam diri, atau kesadaran dirinya. Maksudnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu masyarakat kalau mereka tidak mengubah sikap mentalnya dari yang negatif menjadi positif, seperti dari boros menjadi hemat, dari malas menjadi rajin, dari egois menjadi peduli lingkungan, dari tukang tiru (pak turut, membeo) menjadi kreatif dan inovatif, dari berpamrih menjadi ikhlas, dari tidak peduli pada keseatan menjadi menjaga kesehatan dan seterusnya. Syari`at Islam yang kita imani dan amalkan harus mampu menjadikan kita lebih rajin, lebih kreatif, lebih toleran, lebih pandai,lebih percaya diri dan berbagai sifat positif lainnya.

Untuk membangun daerah kita ini marilah kita ber-fastabiq-ul khairat, berlomba-lomba berbuat kebaikan, maju bersama, dalam keadaan saling tolong dan saling bantu. Tidak ada dengki dan iri hati, tidak ada benci dan sakit hati.

Wallahu a`lambish-shawab wa ilayhi-l marja’wa-l ma`ab.

Kepada Allah kita mohon hidayah dan petunjuk,  kepada Nya kita persembahkan amral dan bakti serta kepada Nya pula kita mintakan perlindungan dan keampunan. Amin ya Rabbal `alamin.

Darussalam Banda Aceh, 7 Rabi`ul Akhir 1431 H, bertepatan 23 Maret 2009 M.

Kepustakaan:

Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Prenada Media, Jakarta, edisi revisi, 2004;

Calaude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Gramedia, Jakarta, cet. 1, 2008;

Hurgronje., C. Snouck, Tanah Gayo dan Penduduknya, (terjemahan Budman S), INIS, Jakarta, cet. 1, 1996;

Junus Melalatoa., M, Didong Pentas Kreativitas Gayo, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, cet. 1, 2001;

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta, edisi 2, 2003;

Mahmud Ibrahim., Drs, Mujahid Dataran Tinggi Gayo, Maqamammahmuda, Takengon, cet. 2, 2007;

Mukhlis Paeni, Riak di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah,  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004;

Syukri, MA., Sarak Opat, Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, cet. 1, 2006;

(Makalah ditulis atas permintaan Panitia untuk acara EXPO BUDAYA LEUSER 2010, Takengon, 28/29 Maret 2010)

* Profil Penulis :
Al Yasa’ Abubakar, Prof. Dr. Drs. MA, dilahirkan di Takengon/12 Januari 1953 – 26 Rabi’ul Akhir 1372 H; Bekerja sebagai  Guru Besar Ilmu Fiqih pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar Raniry, dengan Riwayat Pendidikan :

  •     MIN, Kota Takengon, masuk tahun 1959 tamat tahun 1965;
  •     MTsAIN, Takengon, masuk tahun 1965 tamat tahun 1967;
  •     SP IAIN, Takengon, masuk tahun 1967 tamat tahun 1969;
  •     Dayah (Pasantren) Ishlahiyah Lambhuk, Banda Aceh 1970-1976;
  •     Sarjana Muda Fak. Syari’ah IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, masuk 1970 tamat 1973;
  •     Sarjana Fakultas Syari`ah IAIN Ar Raniry (jurusan Qadha’), Banda Aceh, tamat 1976 9, Judul Skripsi; Pandangan Islam terhadap Hukum Waris Adat Gayo.
  •     Dirasat ‘Ulya Fak. Syari’ah Al Azhar (Syu`bah Ushul Fiqih), Kairo, 1977-1980;
  •     Magister Ilmu Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (bidang Syari`ah), Yogyakarta, masuk tahun 1984 tamat 1987 Judul Tesis, Metode Istinbath Fiqih di Indonesia, Kajian atas Fatwa Fatwa Majelis Muzakarah Al-Azhar, Majalah Panji Masyarakat.
  •     Doktor Ilmu Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (bidang Syari`ah), Yogyakarta, masuk tahun 1986 tamat 1989, Judul disertasi, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazaiarin dan Penalaran Fikih Mazhab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.