KADANGKALA kita sering mengabaikan makna suatu kata, karena kata tersebut sering diucapkan dan apabila ada kata yang mirip kita beranggapan sama maknanya, seperti kata PEJABAT dengan PENJABAT, karena huruf N diletakkan di antara E dan J dan jarang diucapkan maka maknanya dianggap sama, anggapan tersebut benar karena memiliki fungsi yang sama tetapi berbeda dalam kewenangan. Kenyataannya masih ada Penjabat kurang memahami atau sengaja melanggar kewenangan tersebut karena impiannya menjadi Pejabat telah tercapai walau hanya sampai Penjabat.
Tulisan tentang Penjabat dan Demokrasi Aceh terinsfirasi dari aktivitas penjabat Bupati Aceh Tengah Ir. Mohd. Tanwier,MM alias Baong dalam melaksanakan tugas Penjabat yang over dosis di Aceh Tengah, gayanya sama dengan Gus Dur tatkala menjadi Presiden, bedanya Gus Dur Presiden yang dipilih sehingga apapun yang dilakukannya tetap konstitusional, sebaliknya Ir. Mohd. Tanwier ditunjuk jadi Penjabat yang kewenangannya dibatasi oleh peraturan pemerintah, kenapa DPRK diam, rakyat diam, gubernur diam, aparat penegak hukum diam?, diamnya semua institusi ini mungkin karena lupa ada perbedaan kata Pejabat dengan Penjabat.
Membedakan kata Pejabat dengan Penjabat dalam istilah hukum untuk membedakan kewenangan pejabat Gubernur/Bupati/Walikota yang mendapat jabatan melalui tahapan yang panjang dengan mengeluarkan energi mental dan dana yang luar biasa. Sedangkan jabatan Penjabat diperoleh secara sederhana, PNS aktif dan kedekatan, penjabat Bupati/Walikota diangkat oleh Gubernur maka diperlukan kedekatan dengan Gubernur, kalau Penjabat Gubernur memerlukan kedekatan dengan Mendagri, sejak era orde baru sampai era reformasi peraturan perundang undangan, seperti syarat calon penjabat diajukan oleh DPRK/DPRD sudah tidak diperlukan, karena dianggap haram, yang halal adalah kedekatan.
Dalam hal waktu, Penjabat hanya memerlukan waktu maksimal satu minggu untuk menjadi Bupati/walikota, sehari untuk bertemu Gubernur sisanya untuk proses pembuatan SK dan pelantikan, sedangkan untuk jabatan Bupati/Walikota memerlukan waktu yang panjang untuk mengikuti tahapan pemilihan, tahap awal mempelajari syarat-syaratnya, negosiasi dengan Partai Politik pemilik hak mencalonkan, memilih calon wakil, membentuk Tim Sukses, jika perlu membayar konsultan pemenangan pilkada, sosialisasi pencalonan, seleksi dokumen persyaratan, kampanye, pencoblosan, perhitungan suara, tunggu SK dan Pelantikan. Belum lagi jika terjadi putaran kedua atau adanya calon yang kalah melakukan tuntutan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena adanya perbedaan latar belakang tersebut, maka kewenangan Penjabat tidak boleh sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh jabatan yang diperoleh melalui proses pemilihan, pembatasan ini diperlukan dalam rangka menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki legalitas yang kuat dan berkesinambungan antara kepala daerah hasil pemilihan.
Jabatan Penjabat di Provinsi Aceh
Tahun 2006 pasca konplik Aceh memperlihatkan ke seluruh dunia bahwa Aceh mampu dan suskses melaksanakan Demokrasi Liberal sesuai kebijakan pemerintah rezim orde Reformasi yang merobah demokrasi tidak langsung menjadi langsung, dan Aceh menyempurnakanya dengan lahirnya Partai Lokal (Parlok) serta calon dari jalur Independen yang sekarang menjadi mode diseluruh wilayah Indonesia.
Hasil Pilkada tahun 2006 dianggap telah memenuhi harapan dan sesuai aspirasi rakyat Aceh dimana 70 % dimenangkan oleh calon-calon yang dilahirkan oleh rakyat Aceh dan pernah berseberangan politik dengan Penguasa Pemerintah Indonesia, Pemilikada Aceh membuktikan calon pemimpin tidak mesti direstui atau meminta restu dari rezim penguasa di Jakarta dan Gubernur seperti di era Orde Baru.
Pilkada tahun 2012 adalah tahap kedua dari Pilkada 2006 yang semestinya kita mampu mempertunjukkan ke dunia luar dan Provinsi lainnya bahwa Aceh sukses menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota lima tahunan secara demokratis. Sayangnya perangkat negara baik yang di Aceh maupun Pusat/Nasional tidak mampu melanjutkan Pilkada putaran lima tahunan itu secara tepat waktu, akibatnya jabatan Gubernur dan Bupati/Walikota di beberapa Kabupaten/kota kembali diisi oleh Penjabat, semestinya kondisi ini tidak perlu terjadi, namun dapat kita fahami munculnya Penjabat ini bukan karena rakyat Aceh baru melek politik akibat konplik yang berkepanjangan atau baru belajar berdemokrasi, tetapi memang di era reformasi ini Kepentingan adalah kekuasaan yang mutlak bagi orang atau sekelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi atau golongan.
Penundaan Pilkada menyebabkan maraknya para Penjabat masuk ke Kabupaten/Kota dan demokrasi yang bagaimana yang akan terjadi apabila sang Penjabat berpihak atau menjadi tim sukses salah satu kandidat yang berseberangan dengan incambent dalam Pilkada, tentu tahap pertama semua kebijakan incambent yang dianggap berkaitan dengan pilkada akan dirobah, pemakaian keuangan daerah/negara dipergunakan sesuai kebutuhan situasi yang dirancang oleh sang penjabat.
Untuk mencegah hal-hal seperti inilah maka negara mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 49 tahun 2008. Khusus untuk pembatasan kewenangan diatur dalam Pasal 132A, ayat (1). Penjabat Kepala Daerah atau Pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 130 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah DILARANG : a. Melakukan mutasi pegawai; b. Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan /atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya. c. Membuat kebijakian tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Larangan tersebut ternyata tidak kaku, tentu dalam kondisi tertentu atau bersifat darurat sang Penjabat diberi juga pengecualian atau diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang dalam ayat (1) diatas dengan catatan “ harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri “ sesuai ketentuan ayat (2) yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri“. Ketentuan ini bukan berarti si penjabat terlebih dahulu mengambil kebijakan baru meminta persetujuan dari Mendagri, akan tetapi sebelum melakukan kebijakan terlebih dahulu menyampaikan permintaan izin tertulis dari mendagri akan melaksanakan kebijakan tersebut.
Study Kasus Penjabat Bupati Aceh Tengah Ir. Mohd. Tanwir MM yang Spektakuler.
Kehadiran Ir. Mohd. Tanwier disambut dengan unjuk rasa generasi muda Aceh Tengah karena merasa aspirasi rakyat Aceh Tengah melalui lembaga perwakilan rakyat tidak dipenuhi oleh Penjabat Gubernur Ir. Tarmidji Karim, padahal sebelumnya untuk Kabupaten Bener Meriah (kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah) DPRKnya mengajukan calon PJ, Drs. T. Islah pejabat Sekda dan disetujui oleh Penjabat Gubernur, mengapa yang diusulkan DPRK Aceh Tengah atas nama Drs. Taufik pejabat Sekda dan Drs. Ismariska MM,. Pejabat Sekwan DPRK Aceh Tengah yang alumnus STPDN tidak disetujui Penjabat Gubernur Aceh ?.
Adalah sangat aneh Penjabat Gubernur Ir. Tarmiji Karim mengangkat Ir. Mohd. Tanwier jadi penjabat Bupati yang baru 10 hari diangkatnya menjadi Staf Ahli Gubernur yang sebelumnya posisinya tidak jelas, kebijakan seperti ini terkatagori adanya unsur KKN ( gaya rezim Orde Baru), masih segar dalam ingatan masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah hubungan mantan Gubernur Aceh Prof. Syamsudin Mahmud dengan Ir. Tarmiji Karim saat menjadi Direktur Perusahaan Daerah LTA 77 yang memproduksi bubuk kopi berlebel Gayo Mountain Coffe dan biji kopi untuk dieksport ke Jepang, perusahaan daerah ini pernah mendapat suntikan dana milyaran rupiah yang sampai hari ini tidak jelas penggunaannya, disaat kasus suntikan dananya ini mencuat timbullah konplik di Aceh dan Ir. Tarmiji Karim diangkat menjadi Bupati Aceh Utara dan Perusahaan Daerah LTA 77 menjadi kolep. Jika Ir. Tarmiji Karim dikenal dengan anak masnya Prof. Syamsuddin Mahmud, ternyata Ir. Tanwier katanya menantu Prof. Syamsudin Mahmud, jadi tidak heran mengapa Penjabat Gubernur mengabaikan usulan DPRK Aceh Tengah.
Seandainya Ir. Mohd. Tanwier, MM, memahami tugas yang diemban dalam rentang waktu yang singkat dengan kondisi kekinian di Aceh dan peserta calon Bupati/wakil bupati ada incambent yang memperoleh banyak penghargaan tatakala menjabat Bupati saya yakin lebih aman menjadi Staf Ahli Gubernur. Akan tetapi siapakah di jaman yang sulit mendapat pekerjaan dan uang ini tidak tergiur dengan jabatan Gubernur/Bupati/walikota ?, setidak-tidaknya untuk dicatat pernah menjadi Penjabat Bupati walau hanya 2 sd 3 bulan. Apabila si penjabat tidak memahami bahwa kewenangan penjabat itu dibatasi, dan mempunyai ambisi diluar batas kemampuannya maka dia akan mengekspresikan dirinya Bupati hasil pemilihan dengan keseluruhan kewenangan, kewenangan mempergunakan SPPD untuk keluar daerah dengan alasan di undang rapat atau membawa proposal untuk meloby ke Jakarta adalah hal yang lumrah baginya, pertanyaannya apakah setiap minggu Bupati mendapat undangan, apakah yang diloby akan seketika diberikan ?, dan sebatas apa legalitas seorang Penjabat meloby proyek yang APBN dan APBNP 2012 palunya sudah diketok ?.
Kewenangan yang patut dipermasalahkan adalah pengakuannya di messmedia Harian Orbit terbitan Mei 2012 yang menyatakan benar meminta fee 3 sd 5 % dari Otsus SKPD, dan menyatakan apabila kepala dinas mengizinkan maka sang penjabat yang akan meloby ke Banda Aceh ( maksudnya Kadis Dinas tingkat I ). Mengakui menolak uang 10 juta yang diberikan Sekda untuk kado pernikahan anak Penjabat Gubernur di Jakarta, penolakan tersebut karena malu hanya 10 juta, penyimpangan kewenangan dilanjutkan dengan memberhantikan Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Aceh Tengah tanpa alasan jelas dan dapat diduga pemberhentian tersebut karena Kepala Dinas Budparpora dengan keras menolak pengambilan fee dana otsus yang diinsfirasikan sang penjabat, kewenagan sepektakuler dilanjutkan dengan merubah 6 hari kerja menjadi 5 hari kerja dan memerintahkan semua pejabat eselon II di Kabupaten Aceh Tengah tes urine, kita tidak tahu apakah yang si penjabat ikut tes urine ?, yang masih dalam persiapan adalah kewenangan uji kemampuan semua Kepala Dinas yang sedang menjabat, sayangnya Ir. Tanwier tidak memperlihatkan hasil tes uriennya dan tidak menyatakan mengapa dia di bangku panjangkan apakah karena korban tes kelayakan ?, dan lupa apakah dia jadi penjabat bebas KKN ?.
Semestinya Ir. Mohd. Tanwier belajar dan membaca Ketentuan peraturan perundang undangan yang memberikan kewenangan kepada Gubernur/Bupati/ walikota untuk mengangkat pejabat daerah disemua eselon termasuk kewenangan memperpanjang usia pejabat eselon II yang pensiun untuk masa usia 2 x 2 tahun atau sampai 60 tahun dan ketentuan menentukan 6 hari kerja adalah “Kebijakan” Bupati yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan berorientasi kepada peraturan perundang undangan RI dan perhitungan anggaran belanja daerah yang disetujui oleh DPRK, oleh sebab itu tidak boleh dirubah oleh Penjabat Bupati.
Kebijakan Penjabat Gubernur Aceh Ir. Tarmiji Karim dan Penjabat Bupati Ir. Mohd. Tanwier, MM terhadap Kabupaten Aceh Tengah, mengingatkan kita kepada potret kebijakan rasialis yang pernah diterapkan oleh mantan Gubernur Aceh, Prof. Ali Hasyimi, Prof. Ibrahim Hasan, Prof. Syamsudin Mahmud, terhadap Kabupaten Aceh Tengah yaitu kebijakan belah bambu atau rasialis yang menimbulkan antipati ras dan memotivasi gagasan untuk menjadi Provinsi ALA, sejarah Aceh mencatat berapa lama hak orang Gayo dikebiri oleh pejabat di Provinsi Aceh yang keturunan ras Caucasoid, (umumnya masyarakat Aceh pedalaman dan pesisir adalah turunan ras Mongoloid ; melayu tua dan melayu muda). kebijakan rasialis di Aceh sudah saatnya dihilangkan karena tidak sesuai dengan isi MOU Helsenki yang menyatakan Aceh adalah keseluruhan masyarakat yang ada di Aceh baik di Pedalaman Aceh maupun di Pesisir Aceh.
Belajar dari percikan pesta demokrasi di Aceh, ternyata kita masih memerlukan waktu untuk mencapai terminal pesta demokrasi Aceh yang sempurna, kita generasi yanghari ini terlibat dalam pembaharuan Aceh harus mampu mewariskan nilai-nilai patriotik dan nasionalisme ke Acehan kepada generasi baru Aceh dengan salah satu cara; jangan timbulkan situasi yang menghadirkan “penjabat-pejabat” di wilayah Aceh, dengan demikian penyelanggaraan demokrasi harus bercontoh kepada aliran air yang bergerak terus dan tidak terputus, Selamat jalan para Penjabat terimakasih atas dedikasimu dan merenunglah untuk menilai apa saja yang telah dilakukan selama menjadi Penjabat agar anak cucumu mengenang nilai-nilai yang telah dilakukan.
*Pemerhati politik dan pemerintahan, tinggal di Takengon
betul….betul….betul…betul…
Rok dan celana dalam wanita segala macam jenis masih banyak dijual di pasar inpres Takengon.
Alangkah terpujinya kalu ada yang mau mendonasikan uangnya untuk membeli Rok dan celana dalam wanita dan rame-rame antar kepada ke rumah-rumah pejabat-pejabat di Aceh Tengah, aktivis-aktivis mahasiswa, orang-orang yang duduk di DPRK Aceh Tengah, aktivis-aktivis anti korupsi, kepada KPA/PA, kepada ketua-ketua partai nasional dan lokal, kepada ulama, ketua-ketua OSIS, kepala-kepala sekolah yang tidak peduli kepada “Jisnya” Baong (Ir. Tanwier Pj. Bupati Aceh Tengah) yang telah menginjak-injak harga diri “Urang Gayo”. Jadi sangat pantas untuk saat ini disebut, “Urang Gayo Banci!!!!”
Jis di Tarmizi Karim ken urang Gayo (Mantan Pj. Gubernur Aceh)
Jis di Syamsudin Mahmud ken urang Gayo (Mantan gubernur Aceh)
Jis di Ali Hasyimy (mantan Gubernur Aceh)
Apakah Zaini-Muzakkir (Gubernur dan wakil gubernur Aceh sekarang) juga akan jis ken urang Gayo?
Kite nampin mulo……
Indonesia adalah gudang ketidakjujuran dan ketidakikhlasan.
Jakarta tidak jujur dan tidak ikhlas kepada Propinsi Aceh,
Propinsi Aceh tidak jujur dan tidak ikhlas kepada Kabupaten Aceh Tengah.
Saatnya kita sampaikan: “Good bye Jakarta, Good bye Aceh”