Oleh : Sabela Gayo*)
Hukum adat adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung lama dan turun-temurun yang apabila dilanggar, anggota masyarakat yang lain merasa ada sesuatu yang kurang pas, sehingga kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi hukum bagi masyarakat itu. Cicero seorang filsuf terkenal dari bangsa Yunani pernah mengatakan bahwa “ibi societas ibi ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum. Dari pemikiran Cicero itu kita dapat menangkap bahwa, hukum itu mengikuti masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dipaksakan keberlakuannya di tengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu perbuatan yang dipaksakan maka sesungguhnya hasilnyampasti tidak akan baik.
Masyarakat Gayo, adalah sebuh etnis yang mewarisi nilai-nilai adat dan budaya yang luhur dari nenek moyangnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya literatur-literatur tentang hukum adat Gayo yang masih berlaku di dalam struktur sosial masyarakat Gayo. Ada berbagai banyak aturan-aturan adat yang baik dan masih dipatuhi seperti penyebutan-penyebutan anggota di dalam keluarga. Contohnya; kalau laki-laki yang baru menikah disebut aman mayak, yang wanitanya disebut inen mayak. Penyebutan kail, pon, pon ucak, pon kul, dan lain-lain masih berlaku sampai hari ini.
Menurut teori receptio in compexu dari Van den Berg, ia mengatakan bahwa “hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat adat adalah hukum agamanya’. Pendapat Van den berg itu kemudian dibantah keras oleh Snouck Hugronje yang mengeluarkan teori Receptio a contrario, ia mengatakan bahwa “hukum islam baru diterima oleh hukum adat, setelah diresepsi dengan hukum adat setempat. Jadi,menurut Snouck Hugronje, hukum islam itu yang harus menyesuaikan dirinya dengan hukum adat masyarakat setempat.
Khusus di Gayo, sisa-sisa pemikiran Snouck Hugronje tersebut masih terlihat dalam budaya tutur di Gayo. Contoh; kalau ayah kita memanggil abang kepada orang lain yang juga sebenarnya lebih muda dari ayah kita, maka kita pun harus memanggil abang kepada semua anak teman ayah kita itu, walaupun anaknya masih jauh umurnya dibawah kita. Itu adalah salah satu bukti masih melekatnya sisa-sisa pemikiran Snouck Hugronje di dalam struktur masyarakat Gayo, dimana hukum islam itu yang harus menyesuaikan dirinya dengan hukum adat setempat. Padahal kalau menurut hukum islam, kita wajib menghormati orang yang umurnya lebih tua dari pada kita, bukan sebaliknya. Konkritnya kita harus menghormati orang yang lebih tua umurnya sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Sekarang kita tinggal memilih mau mempertahankan adat dan budaya lama dalam hal tutur kekerabatan sebagaimana yang dicontohkan diatas,yang notabene itu adalah warisan (tenaring) Belanda, atau kita mau merubahnya sesuai dengan prinsip-prinsip islam?. Pilihan ada pada diri kita masing-masing.
Dalam tulisan-tulisan saya yang lain, pernah saya katakan bahwa, Belanda sudah lama hengkang dari Bumi Merah Johansyah Al-Khahar (ACEH) khususnya Tanoh Gayo, tetapi sisa-sisa pemikiran dan peradabannya sampai hari ini masih kita terapkan di tengah-tengah masyarakat kita.
Kalau yang diwariskan oleh Belanda itu adalah etos kerja yang disipilin, berpikir objektif, berpikir ilmiah, kritis positif dan anti korupsi, kemungkinan itu masih relevan sampai hari ini. Karena itu semua adalah nilai-nilai universal yang seharusnya berlaku di dalam setiap kelompok masyarakat. Tetapi sayangnya, justru yang diwariskan Belanda adalah konsep receptio a contrario-nya Snouck Hugronje yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam. Apakah kita masih mau mempertahankan dan melestarikannya?, sekali lagi saya kutip pemikiran Emmanuel Kant tentang pencerahan (Enlightenment), ia mengatakan bahwa “pencerahan adalah keluarnya orang-orang dari ketidakmapanan yang ia ciptakan sendiri”. Kalau kita analogikan bahwa, budaya tutur sisa-sisa warisan konsep receptio a contrario-nya Snouck Hugronje yang masih ada di Gayo sampai hari ini, pendidikan, ekonomi adalah bentuk-bentuk KETIDAKMAPANAN yang dimaksudkan oleh Emmanuel Kant itu, mengapa KETIDAKMAPANAN itu tidak mau kita hapuskan segera?. Padahal ketidakmapanan itu juga bertentangan dengan prinsip-prinsip islam?. Kalau demikian adanya, berarti selama ini ada kelompok-kelompok tertentu di GAYO yang merasa nyaman dengan adanya KETIDAKMAPANAN itu. Artinya selama KETIDAKMAPANAN itu masih ada, selama budaya tutur, kebodohan dan kemelaratan itu masih ada di Gayo maka, kelompok tertentu itu sangat diuntungkan secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Karena mungkin dengan kondisi masyarakat yang bodoh dan melarat, mereka akan memiliki pengaruh yang besar untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Mari kita coba secara perlahan-lahan untuk mentranformasikan diri dari alam pikiran tradisional sempit dan fanatisme buta ke arah alam pemikiran modern terbuka dan ilmiah objektif. Mari kita mulai mencoba berpikir realistis ilmiah dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada. Karena ciri-ciri masyarakat modern adalah berpikir objektif dengan berlandaskan pada teori-teori yang dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk mentransformasikan diri ke arah yang lebih baik, harus dimulai dari diri kita sendiri dan dimulai dari yang kecil-kecil, seperti apa yang pernah di ucapkan oleh Aa Gym. Dan Rasullah SAW pun tidak pernah menyuruh orang lain untuk berubah atau melakukan sesuatu sebelum ia melakukan perubahan/perbuatan tersebut terlebih dahulu.
Hukum adat yang positif konstruktif masih sangat relevan untuk ditumbuh-kembangkan di dalam masyarakat Gayo misalnya jeret naru (hukuman bagi orang yang menikah dengan satu belah). Hukum adat itu dirasakan cukup relevan dalam mengantisipasi pergaulan bebas di tengah-tengah masyarakat. Karena memandang bahwa semua anggota klan/belah adalah saudara sehingga apabila masing-masing desa/kelompok belah menerapkan hukum adat itu maka akan muncul satu kontrol sosial yang sangat ketat dari masyarakat terhadap prilaku menyimpang anggota-anggota klan/belahnya. Prinsip hukum adat jeret naru sebenarnya beranjak dari konsep pemikiran masyarakat adat yang bersifat komunal, berbeda dengan konsep di barat yang bersifat individual.
Hukum adat sebagai salah satu identitas budaya harus dilestarikan oleh rakyat Gayo dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun. Jangan pernah merasa rendah diri, malu atau takut untuk menunjukkan identitas budaya kepada orang lain baik melalui kegiatan seni, upacara perkawinan, jelisen, turun mani, dan lain-lain. Kelompok etnis lain juga akan semakin segan terhadap Gayo apabila rakyat Gayo mempertahankan identitas budayanya ditengah-tengah multikulturalisme global yang menginfiltrasi sendi-sendi budaya dan norma-norma sosial masyarakat setempat melalui teknologi, inovasi, fashion, dan lain-lain.
*) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA) dan Direktur Eksekutif Biro Bantuan Hukum – Sentral Keadilan (BBH-SK) Banda Aceh.