Di Gayo, Kopi Disebut “Kawa”

Oleh Fikar W.Eda

Tanaman kopi ternyata telah  tumbuh di dataran tinggi Gayo sebelum Belanda menjejakkan kaki kawasan itu pada 1904. Masyarakat Gayo menyebutnya “kawa.” Daunnya diminum setelah diseduh dengan air panas. Batangnya digunakan sebagai pagar.

Penyair didong, Ibrahim Kadir masih ingat ketika orang tuanya merebus daun “kawa” untuk diminum. “Saya ingat, karena orangtua saya melakukannya seperti itu,” kata Ibrahim Kadir. Ia menyebutkan “kawa” tumbuh liar, batangnya tinggi dengan ranting yang menjalar kemana-mana.  Buahnya seukuran kelereng, berwarna merah menyala.

“Boleh jadi masa itu orang Gayo tidak menyadari bahwa itu adalah tanaman penting dan  membiarkannya sebagai tanaman liar, kecuali daunnya yang diseduh jadi teh,” kata Ibrahim Kadir lagi.

Istilah “kawa” ini juga disinggung  oleh C Snouck Hurgronje, penulis asal Belanda  dalam bukunya “Het Gajoland en Zijne Bewoners” yang terbit pertama kali di Batavia pada 1903. Buku itu  kemudian diterbitkan ulang dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20” oleh Hatta Hasan Aman Asnah, PN Balai Pustaka, 1996.

Sonuck Hurgronje merasa heran karena di tanah Gayo dijumpai batang kopi. “Darimana asalnya, seorang pun tidak ada yang tahu. Sepanjang ingatan, tidak seorangpun mengaku pernah menanam kopi, dan menganggap bahwa tanaman ini tanaman liar,” tulis Snouck Hurgronje.

Masih menurut Snouck,  masa itu orang  mengambil batang atau cabang tanaman kopi untuk pagar (peger) kebun. Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung, kemudian burung itulah yang menyebarkan kopi. “Orang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya yang kemudian dijadikan teh,” kata Snouck Hurgronje.

Penyair Ibrahim Kadir beranggapan, bahwa kopi atau “kawa” sudah lebih dulu ada sebelum Belanda datang ke daerah itu. Budidaya kopi secara besar-besaran boleh jadi dilakukan  oleh Belanda. Sebab segera setelah selesainya pembangunan jalan utama Takengon-Bireuen pada 1916 (mulai dibangun 1903), sehingga bisa dilintasi mobil, kolonialis Belanda langsung membuka tiga perkebunan besar, yaitu perkebunan kopi seluas 20.000 hekatar, perkebunan teh dan perkebunan pinus. Belanda juga membangun kilang pengolahan kopi  terletak di Bandar Lampahan, sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah. Sedangkan areal perkebunan tersebar pada radius 40 Km dari kilang. Perkebunan kopi dan pinus mulai berproduksi pada tahun 1930-an. Keterangan ini diutarakan oleh cendikiawan Gayo, Prof Alyasa’ Abubakar dalam pengantar buku “Catatan Pahala, Muhammad Ali Wari, Bandar Publishing 2010.”

Belanda membangun areal perkebunan teh seluas 15 ribu hektar, terletak Ponok Sayur, Ponok Baru, dan  Redlong,  Ibukota Kabupaten Bener Meriah.  Mulai berproduksi awal 1940-an. Teh “Redlong”  sangat terkenal di Eropa sebelum Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa.

Masyarakat Gayo yang semula berkutat dengan dunia pertanian sawah, nelayan danau, lambat laun beralih ke perkebunan kopi. Tapi usaha perkebunan kopi sempat terlantar menyusul masuknya Jepang pada 1942. Usaha perkebunan kopi rakyat di Gayo baru  berkembang setelah jaman kemerdekaan, terutama setelah selesainya konflik G30S PKI dan peristiwa DI/TII tahun 1960-an. Sejak itu, sampai sekarang masyarakat Gayo  mulai mendandalkan kopi sebagai komoditas utama. Lahan perkebunan berkembang signifikan hingga kini mencapai 80 ribu hektar lebih.

Gairah berkebun kopi kembali  terganggu saat konflik Aceh pada 1997-2005. Gangguan keamanan membuat masyarakat tak berani ke kebun. Diperkirakan lebih dari 20 ribu hektar perkenbunan kopi  produktif terlantar dan menjadi belukar. “Keadaan baru pulih setelah perdamaian Helsinki,” kata Mirwansyah Aman Gadis, penduduk Reje Guru Bener Meriah.

*) dikutip dari rencana buku “Ngopi di Gayo”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments