Catatan dari Seminar Saman Summit 2012 (Bagian 2)
Oleh: Efix Mulyadi
PERBINCANGAN yang hangat tentang keaslian dan perkembangan Saman dalam Seminar Saman Summit 2012, berlangsung di dalam panel pertama yang menghadirkan empat pembicara, yaitu Dr. Rajab Bahry MPd, Ridhwan Abd. Salam, L.K. Ara, dan Jemarin SPd. Tema bagian ini adalah “Saman Gayo dari Pelbagai Persepsi: Dari Gayo Lues masuk pada List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding Unesco,” dengan moderator Dr. Risman Musa.
Para panelis dengan berbagai cara menyodorkan apa yang mereka maksud dengan “Saman yang asli” sambil memberi gambaran tentang filosofi, kaidah, ragam gerak, kostum, syair, dan berbagai fungsi kesenian ini di tengah masyarakat. Makalah yang mereka bawakan tampak dipersiapkan dengan berpijak pada situasi yang gawat karena saman tengah terancam keasliannya.
Tentang keaslian Saman, panelis Ridhwan Abd.Salam mencatat ciri-cirinya sebagai berikut: dimainkan laki-laki; jumlah pemain ganjil; posisi menari duduk berlutut dan berjejer saling bertemu bahu; kostum khas menutup aurat; penari mengendalikan tarian lewat seni suara; tanpa instrumen musik tapi menggunakan tepukan di tubuh; gerakan yang sangat khas dan tanpa jeda; nyanyian diawali gumam dan seterusnya. Secara khusus, tujuan tari untuk menjalin persaudaraan.
Masing-masing butir tersebut mendapat uraian yang jelas dan memadai. Di dalam makalah yang disarikan dari buku karangannya sendiri Tari Saman, Ridwan menyebutkan bahwa Saman tidak boleh dimainkan oleh perempuan karena mereka harus memukul paha dan dada dengan keras untuk mengeluarkan suara seperti suara gendang.
Panelis lain, Rajab, menambahkan alasan yang sifatnya kodrati. Katanya, “Supaya tepukan menghasilkan suara yang diharapkan, tepukan tangan itu harus mendarat di bidang yang datar. Sedangkan perempuan kan begitu …”
Ridwan menyebut alasan mengapa jumlah pemain harus ganjil seperti misalnya 11 orang, karena yang berada di tengah, disebut penangkat, bertugas sebagai koordinator. Posisi penari duduk. Tambahnya, “Kalau dimainkan dengan posisi selain duduk, bukan lagi disebut Saman .” Sedang kostum yang khas berupa baju kantong yang dibordir khusus, menutup badan bagian atas, suel naru yaitu celana panjang dengan motif kerawang, sejenis kain sarung sebatas lutut yang juga dibordir yang disebut pawak, dan sering dilengkapi dengan asesoris lain untuk memperindah penampilan.
Ridwan menambahkan, gerakan utama saman berupa gerakan tangan dari paha ke dada dengan arah sejajar atau bersilang, bertepuk tangan, menggeleng atau mengangguk, menggerakkan badan ke depan, ke belakang, memutar ke samping, selang-seling, dan berguncang. Gerakan itu merupakan satu kesatuan dari awal sampai akhir pementasan. Tidak terdapat jeda antara satu gerakan (lagu atau anakni lagu) dengan gerakan berikutnya.
Sementara nyanyian yang utama diawali dengan rengum berupa gumam sambil menarik nafas panjang untuk meningkatkan semangat, sehingga pemain tidak merasa sakit kena pukul. Itu disusul dengan dering yaitu untuk penghayatan dengan mengucapkan lafal tauhid, dilanjutkan redet berupa nyanyian satu orang, kemudian saur yaitu nyanyian bersama dilengkapi dengan sek yang bernada tinggi melengking.
Tujuan Saman yang sangat penting adalah menjalin tali persaudaraan yang disebut beserinen, tercermin pada Saman yang dipertandingkan atau disebut saman jalu, khususnya pada pesta rakyat bejamu Saman. Setiap pemain akan mendapat seorang saudara angkat, serinen, yang harus ditanggungnya selama pertunjukan (upacara) antar kampung ini berlangsung. Ia juga akan mendapat perlakuan serupa ketika rombongannya melawat tanding ke wilayah saudara angkat tersebut. Tradisi ini menunjukkan kecerdasan masyarakat yang mengolah idiom kesenian menjadi sekaligus perkakas di dalam membangun ikatan sosial.
“Saman jalu merupakan inti dari saman yang ada di Gayo Lues,” kata panelis Rajab Bahry, yang juga secara rinci menguraikan ciri-ciri, asal-usul, perkembangan, dan fungsi Saman di dalam makalahnya. “Hubungan silaturahim yang terjalin akan berlanjut sampai tua. Terlihat Saman mempunyai fungsi sebagai pengerat hubungan sosial atau integrasi sosial,” tulisnya.
Di samping saman jalu, dikenal beberapa jenis yang lain seperti Saman menjik yang dilaksanakan pada acara gotong royong menginjak padi. Ada juga Saman ngerje atau Samanumah sara yang dilakukan di waktu senggang pada upacara perkawinan. Yang sering tampil di dalam acara peresmian gedung atau peringatan sesuatu yang penting adalah Saman biese atausaman pertunjukan. Betapa tari-musik saman memang sudah mendarah daging di dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh Rajab Bahry: saman menjik juga biasa dilakukan sambil berjuntai di pematang sawah, atau bisa juga duduk dengan melipat kaki di tumpukan jerami. Bahkan menurut L.K. Ara, grup dengan tokoh besar seperti Syeh Atif juga sempat berlatih di atas pohon kelapa yang rubuh.
Semua panelis tersebut memang menyebutkan bahwa saman sangat merakyat, membumi di Gayo Lues, yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya di kawasan “seribu bukit” di dataran tinggi Aceh sebelah tenggara. Tradisi saman ini telah tertanam dan berkembang jauh di dalam sejarah tatanan sosialnya yang panjang. Praktis di setiap kampung ada perkumpulan Saman sejumlah klan (belah) yang tinggal di situ. Pernah terjadi di satu kampung hidup sampai enam grup karena penghuninya enam klan.
Menurut panelis Ridwan, saman bahkan sudah diperkenalkan kepada anak balita. Pada masa kanak-kanak di sela bermain mereka duduk merapat untuk menari Saman. Mandi di sungai, bekerja di ladang, atau menggembala kerbaupun mereka menari Saman.
“Di mana ada orang Gayo biasanya di situ tumbuh grup saman,” tulis L.K. Ara di dalam makalahnya mengutip Syeh Atif, seorang tokoh besar saman, yang membawa saman untuk pertunjukan keliling Amerika Serikat dalam Festival KIAS pada tahun 1990. Syeh Atif membentuk banyak grup setiap kali pindah bekerja sebagai pegawai Depdikbud (kini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan). Di Blangkejeren saja ia sudah membangun 8 grup saman dan 12 kelompok tarian wanita yang disebut bines.
Rajab Bahry menguraikan fenomena tari-musik ini yang disebutnya berasal dari kesenian rakyat, kemudian dimanfaatkan untuk menjadi media pengembang agama Islam—di samping sebagai media untuk mengingatkan peraturan atau adat istiadat, serta juga berfungsi sebagai hiburan atau tontonan, bahkan layak tampil di dalam berbagai festival seni. Perkembangan selanjutnya saman menjadi komoditas komersial.
Banyak sanggar tari yang berdiri untuk memanfaatkan jasa tari saman. Belakangan ini Rajab melihat munculnya saman yang tidak sesuai dengan saman yang berasal dari daerah Gayo, termasuk yang dibawakan oleh pemain wanita. Ia mengaku gelisah dengan berbagai penampilan seni yang dianggapnya menyimpang dari sumber aslinya tersebut, seperti juga dikemukakan oleh panelis lainnya.
Pada kenyataannya tarian yang juga disebut “Saman” memang sudah sangat populer di luar daerah asalnya di Aceh. Di Jakarta saja tercatat 200-an grup tari yang mereka sebut Saman–dan memilih tarian itu sebagai model utama—untuk kegiatan ekstra kurikuler SLTA. Belum lagi grup-grup serupa di tingkat mahasiswa. Sejumlah lawatan seni ke berbagai negeri semakin mendongkrak citra seni musik-tari ini di berbagai kalangan masyarakat di luar Aceh. Tapi popularitas ini membawa dampak ikutan berupa (antara lain) berbagai perubahan, penyuntingan, pemangkasan dan pengimbuhan, atau pengembangan, yang boleh jadi dianggap menyimpang dari sumber aslinya.
Kecemasan akan penyimpangan maupun kurangnya penghargaan terhadap “yang asli” mengemuka di dalam ruang seminar. Mereka mendesak agar “pakem” Gayo dihormati apabila ada kehendak untuk mengembangkannya. Kecemasan tersebut juga didasari pada kenyataan yang mereka lihat bahwa telah tumbuh sejenis Saman yang mereka anggap menyimpang dan kebetulan menjadi sangat populer karena dilakukan oleh “orang Jakarta.” Faktor Jakarta menjadi penting karena posisinya yang unik sebagai pembentuk “trend” yang berpengaruh besar dan bisa berdampak buruk.
“Takutnya, apa saja yang dilakukan orang Jakarta, itu yang akan dianggap benar,” kata Rajab. “Karena itu penting untuk memastikan bahwa kalau ada langkah melakukan preservasi, harus jelas [tari] yang mana.”
Menurut panelis Jemarin, orisinalitas sangat penting juga lantaran terkait dengan penetapan oleh Unesco yang memilih saman sebagai warisan budaya dunia tak benda yang mendesak untuk dilindungi. Penetapan itu diambil setelah melewati berbagai penelitian, studi kelayakan, danpembahasan yang rumit, sebelum saman dianggap memenuhi empat kriterianya. Keempatnya adalah keaslian, keunikan pada permainan dan penampilan, mempunyai nilai filosofis dan historis yang universal, dan mempunyai nilai tukar ke dalam masyarakat Indonesia secara meluas.
“Pemerintah harus bertindak tegas dalam menjaga orisinalitas dan keaslian tari Saman. Saat ini bermunculan tari Saman kreasi baru yang boleh dimainkan oleh perempuan atau campuran laki dan perempuan … tari saman kreasi baru atau tari saman baru sudah sangat jauh menyimpang dari keempat syarat yang ditentukan oleh Unesco,” tulis Jemarin di dalam makalahnya.
Para panelis ini umumnya sepakat bahwa warga masyarakat Gayo akan bangga kalau tari Saman menjadi semakin populer dan dibawakan oleh berbagai komunitas di seluruh Nusantara. Namun demikian mereka mengharap agar saman yang dibawakan sesuai dengan pola dasar yang sudah ada. Rajab Bahry juga mengaku setuju seandainya ada yang menampilkan “saman” yang tidak sesuai dengan asli. Tapi hal itu dengan syarat, katanya, “Tari tersebut jangan diberi nama ‘saman’ karena akan mengubah sejarah kebudayaan tari saman.”
Jemarin, yang juga anggota DPRA, mengharap pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk menjaga, mengembangkan, dan melestarikan tari Saman. Ia meminta pemerintah memperhatikan nasib dan kesejahteraan para seniman saman terutama dari daerah Gayo Lues. Katanya, mereka telah bersusah payah menampilkan tarian yang terbaik demi mendapat pengakuan dunia. Kebanyakan dari mereka adalah pemuda kampong alias penganggur. Maka tidak salah rasanya kalau mereka mendapat berkat dari tari yang telah mereka perjuangkan.
Perbincangan tentang originalitas ini membuat seorang peserta seminar mengaku malu karena telah melakukan kesalahan dengan sering berpentas di berbagai tempat dengan menyebut “Tari Saman” padahal ternyata tidak sesuai dengan yang asli.
Di sisi lain, muncul pandangan yang mengingatkan bahwa tindakan preservasi terhadap kesenian yang hidup bisa menuai dampak yang tidak diinginkan. Ia menyebut tentang pengalaman pahit dari sebuah niat baik untuk mengukuhi tradisi yang bersangkutan, yaitu ketika pemerintah Afghanistan pada tahun 1954 meneken kontrak dengan sebuah perusahaan rekaman Amerika Serikat. “Itu pengalaman terkait dengan apa yang disebut lost tradition, di mana yang seharusnya intangible, yaitu kesenian yang “hidup,” kemudian dijadikan tangible, yaitu menjadi benda “mati” di dalam sebuah hasil perekaman. Yang seharusnya “kata kerja” menjadi “kata benda.” Terjadi proses dekontekstualisasi, dibunyikan di luar konteksnya. Itu ada urusan dengan hak cipta, [yang] harus dibawakan persis” kata etnomusikolog Rizaldi Siagian, yang bertugas sebagai moderator pada panel berikutnya namun terpancing untuk ikut menanggapi sebagai peserta.
Menurut Rizaldi, niat baik Afghanistan itu boleh dipandang pararel dengan keinginan melakukan preservasi tari Saman. Ada resistensi yang juga pararel, yaitu kalau Saman mau ditularkan harus fixed, harus seperti yang disepakati. “Sayangnya, menurut saya, itu bertentangan dengan sifat-sifat kebudayaan. Kebudayaan bukan kebendaan melainkan proses yang menjadi. Kalau saman diinginkan terus seperti sekarang, artinya saman sudah mati.
Maka saya menyarankan dalam konsep preservasi sebaiknya diajarkan periodisasi. Misalnya ini lhosaman pada zamannya pak Rajab. Murid harus bisa memainkannya dengan baik, sehingga tidak menutup perkembangannya. Yang lama tidak hilang, yang baru tumbuh terus. Jadi hal yang ditakuti, yang dicemaskan tentang originalitas yang sekarang ada jalan keluar, tidak menyakiti siapapun. Tapi ada syaratnya, yaitu perlu penelitian yang mendalam,” kata Rizaldi Siagian.
Menutup diskusi, moderator Risman Musa mengatakan perlunya para pemangku kepentingan untuk berunding secara bersungguh-sungguh, untuk bisa menyepakati sejumlah soal, termasukdi dalam praktek penyebaran saman. Ia menyebut perlu dibuat patron yang jelas, dititipkan ke pihak Direktorat Kesenian untuk dibagikan ke pengelola 200 ekstra kurikuler saman di sekolah-sekolah di Jakarta.
Ia menegaskan bahwa tim Unesco akan datang untuk melihat apakah empat butir action plan untuk tari saman sudah dijalankan, yaitu saman harus diajarkan di sekolah, bahan ajar harus final, di setiap event daerah saman harus tampil, dan membangun Saman Centre. “Di Saman Centre inilah sebagai tempat untuk berguru tentang originalitas saman.Kalau mau nyantri, di sana!” kata Risman.***